Pekan lalu, sebuah material misterius berwarna oranye muncul di kutub utara Bumi. Para ilmuwan belum dapat memberikan jawaban yang pasti untuk menjelaskan material tersebut.
Material tersebut tersapu gelombang di sepanjang pesisir  Arktika di Kivalina, Alaska dan membanjiri Desa Inupiat, Eskimo. Di  sana, matahari mengeringkan material dan angin menyebarkannya bagai  debu. Ketika ditemukan beberapa kilometer di kawasan air tawar Sungai  Wulik, material oranye itu berubah menjadi liat dan lengket serta  mengeluarkan bau seperti gas.
Anehnya, saat diambil dari laut,  substansi itu tidak memiliki bau dan ‘sangat lembut. "Bentuknya seperti  minyak bayi," kata Janet Mitchell, seorang pejabat kota Kivalina.
Setelah  gelombang tinggi menyapu material oranye itu pergi, masyarakat setempat  baru menyadari bahwa material mungkin pula beracun. Pasalnya, sejumlah  ikan kecil mati setelah material itu hadir di pantai. Akan tetapi,  ilmuwan belum dapat memastikan hal tersebut.
Sampel material  dikirimkan ke Auke Bay Laboratories milik NOAA Alaska Fisheries Science  Center di Juneau untuk diidentifikasi. Di bawah mikroskop, tampak  struktur seluler yang berbentuk seperti manik-manik, memberi petunjuk  bahwa material jingga itu merupakan serangkaian telur-telur ikan.
Akan  tetapi, ahli biologi kelautan tidak menganggap ikan-ikan kecil yang  mati merupakan induk telur-telur tersebut. "Kami telah menentukan bahwa  ini merupakan telur hewan invertebrata kecil meski kami tidak bisa  menyebutkan spesiesnya secara pasti," kata Jeep Rice, seorang ketua  ilmuwan NOAA di laboratorium Juneau.
"Saat ini kami perkirakan  bahwa material jingga merupakan telur atau embrio sejenis binatang air  kecil berkulit keras. Tetesan molekul yang larut dalam lemak di bagian  tengah yang menyebabkan munculnya warna oranye," ucapnya.
Kivalina  Village dan lab NOAA di Juneau kini menunggu kabar dari laboratorium  lain di South Carolina yang memiliki spesialisasi di pertumbuhan  fitoplankton untuk mempelajari identitas induk dari telur-telur yang  menginvasi itu. "Kami sangat tidak sabar untuk mengetahuinya," kata  Julie Speegle, juru bicara lab Juneau. 
(National Geographic Indonesia/Abiyu Pradipa)                              
                                                                                                                        Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar