Rabu, 05 Oktober 2011

Merpati Bisa Kenali Wajah Manusia


Burung merpati bisa mengenali wajah manusia. Demikian hasil sebuah penelitian terbaru mengenai perilaku hewan yang dilakukan oleh Dalila Bovet dari University of Paris Ouest Nanterre La Défense dan timnya.
Penelitian dilakukan di sebuah taman di Paris. Dua peneliti yang secara fisik mirip tetapi mengenakan jas laboratorium berbeda warna memberi makan pada sekelompok merpati. Seorang peneliti membiarkan merpati memakan umpan yang diberikan, sementara peneliti lainnya mengusir merpati yang hendak makan. Percobaan ini dilakukan beberapa kali.
Hasilnya, merpati selalu menghindari peneliti yang mengusir meskipun peneliti itu sudah tidak lagi mengusir mereka. Kedua peneliti sempat mencoba saling bertukar jas. Akan tetapi, hasilnya tetap sama. "Sepertinya merpati, tanpa latihan khusus, bisa mengenali karakteristik wajah orang, bukan jas lab yang menutupi 90 persen tubuh," kata Bovet.
Para peneliti berteori bahwa kemampuan merpati ini tumbuh setelah merpati berhubungan dengan manusia dalam waktu yang cukup lama. "Sejak awal penjinakan hingga hidup bertahun-tahun di kota," ujar Bovet.
Beberapa penelitian sudah menemukan bahwa ada spesies burung yang memiliki kemampuan ingatan dan pengenalan. Pada tahun 2009, burung sejenis gagak dapat mengenali isyarat mata manusia yang sudah dikenalnya. Ia juga bisa mengenali gerakan tubuh seperti menunjuk. Burung tersebut bisa mengenali makanan ketika mata seseorang melihat bolak-balik dari makanan ke burung. Spesies tersebut juga merespons ketika orang menunjuk ke arah makanan. Meskipun demikian, burung itu tidak merespons ketika orang asing yang memberi petunjuk.

Sumber :
(National Geographic Indonesia/Alex Pangestu
National Geographic Indonesia
,

160 Tahun Hilang, Jamur Hantu Ditemukan


Spesies jamur Neonothopanus gardner berhasil ditemukan kembali di wilayah Brasilia pada 2009 oleh tim ilmuwan yang dipimpin Dennis Desjardin dari San Fransisco State University. Sebelumnya, spesies itu dinyatakan menghilang sejak tahun 1840.

Penemuan kembali spesies tersebut dimuat dalam jurnal Mycologia bulan Juli 2011. Neonothopanus gardner unik karena bisa bercahaya (bioluminescence) dalam gelap seperti kunang-kunang. Jamur yang bisa memproduksi cahaya acapkali disebut jamur hantu.

Untuk menemukan spesies ini, Desjardin dan rekannya harus keluar pada malam hari, mengarungi hutan, serta waspada dengan serangan ular dan jaguar. Dengan kamera digital, mereka memotret jamur yang diduga bioluminescence dan menganalisis sinarannya, kadang yang tak bisa dilihat mata.

"Jamur ini bercahaya 24 jam sehari selama oksigen dan air ada," kata Desjardin. Hal itu berlainan dengan hewan bioluminescence yang hanya mengeluarkan cahaya dengan pola semburan. Menurut Desjardin, hal itu menunjukkan bahwa senyawa penyebab cahaya tersedia dalam jumlah melimpah.

Menurut Desjardin, cara jamur ini memproduksi cahaya sama dengan cara kunang-kunang, yakni dengan senyawa luciferin. Enzim luciferace akan memacu interaksi senyawa tersebut dengan air dan oksigen sehingga menghasilkan senyawa baru yang mengemisikan cahaya.

Luciferin dan luciferace pada jamur sampai kini belum diidentifikasi. Alasan jamur mengeluarkan cahaya juga masih misteri. Ilmuwan menduga, cahaya berperan menarik serangga, tetapi pada kasus jamur foxfire yang mengeluarkan cahaya di mycelium-nya (unit vegetatif jamur yang terdiri atas benang-benang halus), cahaya justru membahayakan.

"Kami belum tahu mengapa hal itu terjadi. Mungkin mycelium (dalam kasus foxfire) bercahaya untuk menarik pemangsa serangga dan akan memakannya sebelum serangga sendiri berhasil memakan mycelium. Namun, sejauh ini kita belum punya data pendukung pendapat ini," urai Desjardin. 


Sumber :
,

Katak Pelangi Muncul Lagi di Kalimantan


Ilmuwan yang menyisir pegunungan di Borneo menjumpai spesies kodok pelangi Borneo yang sudah tidak pernah didapati sejak 87 tahun terakhir. Kali ini, mereka berhasil mengabadikannya dan foto itu menjadi foto kodok pelangi Borneo pertama di dunia. Sebelumnya, dokumentasi kodok itu hanya merupakan gambar ilustrasi
Conservation International, organisasi nirlaba yang fokus pada kelestarian lingkungan memasukkan kodok pelangi borneo (Ansonia latidisca) dalam daftar "Top 10 Most Wanted Lost Frogs." Lembaga ini juga sempat mengungkapkan kekhawatiran bahwa kodok tersebut mungkin sudah punah. Kodok itu terakhir kali terlihat oleh penjelajah Eropa pada tahun 1924.
Menurut Indraneil Das, profesor asal Sarawak Malaysia University yang memimpin ekspedisi, mereka melakukan pencarian sejak Agustus lalu namun tidak berhasil menemukan kodok tersebut. Setelah memfokuskan pencairan ke kawasan pegunungan Penrissen yang jarang dieksporasi selama seabad terakhir, akhirnya mereka menemukan tiga ekor A. latidisca tinggal yang hidup di tiga pohon yang berbeda. Kodok-kodok yang ditemukan terdiri dari merupakan seekor kodok jantan, betina, dan seekor anak kodok.
"Sangat menyenangkan mengetahui bahwa alam bisa memberikan kejutan ketika kita sudah hampir menyerah, apalagi di saat krisis kepunahan terus meluas di planet kita," kata Robon Moore, peneliti spesialis amfibi dari Conservation International saat mengumumkan temuan tersebut.
Meski berhasil menemukan, Das dan timnya menolak untuk mengungkapkan posisi pasti kodok itu demi menghindari penangkapan liar karena tingginya permintaan atas amfibi berwarna-warni tersebut. Namun demikian, para peneliti akan terus mencari tahu seputar populasi kodok ini di Penrissen. 

Sumber :
(National Geographic Indonesia/Abiyu Pradipa
National Geographic Indonesia
,

Spesies Katak Mini Ditemukan di Australia


Spesies katak mini yang hanya berukuran 2 cm ditemukan di areal berbatu dan kering di dataran Australia. Nama spesies katak tersebut adalah Uperoleia saxatilis. Adalah peneliti dari Australia National University (ANU), Western Australia Museum, dan University of Western Australia yang menemukan katak tersebut. 
Renee Catullo, peneliti dari ANU, mengatakan bahwa spesies ini unik. "Katak ini memiliki kelenjar yang besar dan bintik coklat di sekujur tubuhnya. Katak ini juga punya nyanyian panggilan yang berbeda dari spesies lain," kata Catullo.
Meski merupakan spesies baru, katak ini sebenarnya sudah sering dijumpai. Ilmuwan mengetahui kebaruannya setelah mengobservasi katak yang dijumpai di daerah kering Australia. Analisis genetik memungkinkan ilmuwan tahu kebaruan spesies walau karakteristiknya sangat mirip dengan spesies lain.
"Masih sedikit yang diketahui tentang katak kecil coklat ini. Namun, katak ini ditemukan mengikuti hujan siklon dan terdapat di wilayah berbatu dan anak sungai. Penemuan ini menunjukkan masih perlunya penelitian lebih lanjut tentang biodiversitas di gurun Australia," kata Catullo seperti dikutip International Business Times, kemarin (27/7/2011).     


,

Ratusan Spesies Sudah Diidentifikasi


Tim gabungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan University of California-Davis, Amerika Serikat, yang melakukan penelitian di Pegunungan Mekongga, Sulawesi Tenggara, menemukan ratusan spesies baru flora dan fauna.

Wakil ketua tim peneliti dari LIPI, Elizabeth A Widjaja, mengatakan, selama sebulan penelitian di Mekongga, pihaknya berhasil mengidentifikasi sekitar 950 spesies flora dan fauna.
"Terdapat ratusan sampel lain yang belum teridentifikasi dan kemungkinan jenis baru," katanya saat ditemui di Kendari, Sabtu (23/7/2011).
Beberapa spesies baru yang ditemukan adalah 4 jenis ikan air tawar, 2 jenis udang, 1 jenis kepiting, 1 jenis cecurut, dan sekitar 100 jenis serangga.
"Kami sudah membawa sampel flora dan fauna itu untuk diteliti lebih lanjut di laboratorium di Bogor," kata Elizabeth

,

Evolusi Ciptakan Serangga Berhelm


Serangga yang memiliki helm? Mungkin kedengaran aneh. Tapi, spesies itu memang ada dan ditemukan di Ekuador. Struktur serupa helm pada spesies yang termasuk golongan treehopper itu memanjang dari segmen pertama bagian dada hingga belakang tubuh.
Tim ilmuwan dari Institute of Developmental Biology di Perancis, Benjamin Prud'homme and Nicolas Gompel, baru-baru ini berhasil mengungkap peranan evolusi dalam membantu menciptakan spesies tersebut. Hasil penelitiannya dipublikasikan di jurnal "Nature".
Seperti diuraikan di New Scientist, Senin (1/8/2011), sebelumnya, helm diduga hanya pertumbuhan keluar dari dada, bagian tengah tubuh serangga yang juga disebut thorax. Tapi, penelitian Prud'homme dan Gompel menunjukkan bahwa helm ternyata juga kelengkapan tubuh serangga yang sama seperti sayap, kaki, dan antena.
Jadi, ketika serangga pertama kali berevolusi 350 juta tahun lalu, mereka memiliki sayap yang tumbuh dari ketiga segmen dadanya. Namun 100 tahun kemudian, gen Hox menekan pertumbuhan sayap dari segmen pertama dada dengan menghambat kinerja gen terkait. Sayap dari segmen itu pun tak tumbuh sekian lama.
Nah, 40 juta tahun yang lalu, pada treehopper, aksi gen Hox bisa dihambat sehingga sayap tumbuh. Tapi, karena sayap di segmen pertama tak berfungsi membantu serangga terbang, maka dengan bantuan gen Nubbin, Distal-less and homothorax, sayap itu bermodifikasi menjadi struktur serupa helm.
Petunjuk bahwa helm adalah modifikasi sayap terlihat dari kesamaan cirinya, misalnya sama-sama memiliki urat-urat. "Kesamaan itu membuktikan bahwa sayap dan helm punya asal usul yang sama, baik perkembangan maupun evolusinya, walaupun anatomi dan fungsinya berbeda," kata Prud'homme.
Struktur serupa helm diketahui berfungsi untuk mimikri, memungkinkan treehopper berlindung dari predator. Dengan bantuan helm ini, treehopper bisa tampak seperti tanduk, biji, bahkan semut. Helm mungkin juga berfungsi mengamplifikasi suara, membantu serangga berkomunikasi.
Michalis Averof, pakar evolusi dari Institute of Molecular Biology and Biotechnology di Heraklion, Yunani, yang tak terlibat penelitian ini mengatakan, "Apa yang dijumpai pada treehopper adalah contoh menarik bagaimana evolusi bekerja, menciptakan variasi dari program-program yang sudah ada." 


Sumber :
,

Tanaman Unik Ini Bisa Memandu Kelelawar


Sejenis tanaman merambat yang hidup di wilayah Kuba, Marcgravia evenia, kiranya merupakan tanaman yang paling menarik. Tanaman ini memiliki bentuk daun seperti piringan parabola sehingga mampu menggemakan gelombang bunyi ultrasonik yang memandu kelelawar untuk lebih mudah mengenali mangsa.

"Tanaman ini bisa menghasilkan gema yang sangat spesial. Gema yang dihasilkan sangat keras dan konstan dari berbagai sisi," Ralph Simon, ahli biologi dari University of Ulm di Jerman, seperti dikutip dari situs web The New York Times, Jumat (29/7/2011) lalu.

Berdasarkan penelitian Simon yang dipublikasikan di jurnal Science bulan lalu, daun tanaman ini bisa membantu kelelawar menemukan feeder atau buruannya 50 persen lebih cepat. Jika feeder diletakkan di daun lain, maka kecepatan berkurang 6 persen.

Daun berbentuk piring ini rupanya juga memberi keuntungan tersendiri bagi Marcgravia evenia. "Bagi tanaman, daun yang dimiliki juga membantu meningkatkan kesuksesan penyerbukan," kata Simon. Kelelawar yang datang bisa membantu menjatuhkan serbuk sari.

Diketahui, saat ini ada ratusan spesies di zona Neotropical yang bergantung pada 40 jenis kelelawar untuk membantu penyerbukannya. Masing-masing memiliki adaptasi morfologi dengan mengembangkan ciri-ciri yang mengundang kelelawar datang.

Karakteristik daun Marcgravia evenia adalah ciri pertama yang berhasil diidentifikasi berkaitan dengan adaptasi morfologi untuk mengundang kelelawar.

,

Fosil "Mayfly" Petunjuk Evolusi Serangga


Fosil serangga purba yang ditemukan di Amerika Selatan (AS) akan diteliti untuk mendapatkan petunjuk mengenai evolusi serangga bersayap. Bentuknya menyerupai lalat capung (mayfly), salah satu jenis serangga yang tergolong primitif dengan periode hidup hanya sehari.
Spesimen baru yang diteliti para ilmuwan dari Stuttgart Natural History Museum tersebut merupakan serangga purba dari kelas Cretaceous tingkat rendah yang dapat ditemukan di Amerika Selatan.
"Serangga ini memiliki perbedaan yang besar, baik dalam hal anatomi maupun cara hidup, dibandingkan jenis serangga lain," jelas peneliti.
Menurut tim peneliti yang dipimpin dua ahli serangga, Arnold Staniczek dan Günter Bechly, serangga diperoleh dari fosil misterius yang disebut Coxoplectoptera. Namun, serangga jenis tersebut dipastikan telah punah.
"Masih merupakan kerabat dari lalat capung yang ada sekarang," kata Staniczek. Lalat capung yang hidup sekarang termasuk dalam ordo Ephemeroptera, yang berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ephemeros yang berarti hidup singkat dan pteron yang berarti sayap. Serangga ini menjalani siklus metamorfosis tak sempurna dalam waktu sehari.
Karena perbedaan hidup dan kekerabatan itulah, penelitian di masa depan diharapkan dapat memberikan petunjuk bagi evolusi serangga bersayap yang saat ini masih menjadi perdebatan.
Penelitian mengenai serangga purba ini diterbitkan dalam jurnal ilmiah Insect Systematics & Evolution pada sekitar pertengahan Juli lalu.

Sumber :
(National Geographic Indonesia/Gloria Samantha
National Geographic Indonesia
,

Udang Mungil Ini Suka Makan "Rumahnya"


Udang kecil spesies Typton carneus tidak hanya memanfaatkan bunga karang sebagai tempat tinggalnya. Hewan yang berukuran cukup kecil dibandingkan jenis udang lainnya  itu juga suka memakan rumah mereka.
"Petunjuk pertama yang membuktikan T. carneus mengonsumsi rumahnya adalah pada capit yang dimiliki," kata Adam Petrusek, ekolog dari Charles University, Republik Ceko. Alat khusus tersebut tidak seperti capit hewan pada umumnya. "Fungsi capit pada spesies ini lebih mirip gunting," jelas Petrusek.
Bukti yang lebih kuat ditemukan setelah peneliti membuka perut udang. Para peneliti mendapati adanya jaringan tubuh milik bunga karang tersebut. “Saat udang ini lapar, mereka tinggal menggunting sedikit bagian dari sponge,” kata Petrusek dalam laporannya yang dipublikasikan di jurnal PLoS ONE.
Bunga karang yang jadi tempat tinggal tidak terganggu oleh konsumsi udang. Bunga karang tersebut terus-menerus menumbuhkan jaringan baru sehingga gigitan kecil T. carneus tidak akan mengganggu, malah menguntungkan. Selain gunting, udang jantan memiliki capit besar dan kuat untuk melawan predator.
"Spesies udang ini membela rumah dari invertebrata pemakan bunga karang, seperti bintang laut," jelas Petrusek.
Temuan T. carneus dan hubungannya dengan bunga karang ini awalnya ditemukan para penyelam di Belize Barrier Reef, Belize. Udang kecil dengan ukuran tak lebih dari 1,5 sentimeter tersebut hidup dengan bersembunyi di dalam rongga-rongga milik bunga karang.
Peneliti telah mengkatalogkan keanekaragaman udang yang ada di sana. Mereka menemukan bahwa salah satu spesies udang membentuk koloni seperti semut di dalam bunga karang.

Sumber :
(National Geographic Indonesia/Abiyu Pradipa
National Geographic Indonesia
,

Kelelawar Vampir Punya Sensor Panas Peka


Kelelawar vampir menggunakan sensor panas yang sangat sensitif di dekat hidung dan mulutnya untuk mengetahui adanya darah. David Julius dari Universitas California, San Francisco, Amerika Serikat, meneliti sensor itu dan dikutip situs web Livescience, Rabu (3/8/2011).

Kelelawar vampir mengincar binatang yang tidur, seperti burung dan mamalia, bahkan manusia. Penelitian menunjukkan, kelelawar memiliki sel di otak yang sensitif terhadap suara napas hewan yang tidur.

Sensor panasnya membuat kelelawar bisa membedakan kulit yang menutup bagian tubuh berisi darah segar dan hangat dengan area rambut. Mereka menggunakan gigi yang tajam untuk membuat lubang 5 milimeter persegi pada kulit dan mengisap darah binatang tanpa membangunkan.

Kelelawar menggunakan reseptor yang ditemukan pada mamalia, termasuk manusia, untuk merasakan suhu panas dan pedasnya cabai. Namun, reseptor kelelawar mampu mendeteksi tingkat panas lebih rendah, sekitar 30 derajat celsius, dari jarak 20 sentimeter. (Livescience/ICH)

,

Unjuk Gigi, Bikin Burung Cepat Mati


Makin banyak berpikir, mengonsumsi alkohol dan rokok, makin cepat manusia mengalami penuaan. Hampir sama dengan manusia, makin sok unjuk kegantengan di depan betina, jantan dari spesies burung Chlamydotis undulata juga makin cepat mengalami penuaan.
Setidaknya, itulah hasil penelitian Brian PrestonPreston dari University of Burgandy, Perancis. Ia meneliti kaitan perilaku Chlamydotis undulata jantan untuk menarik betina dengan jumlah dan kualitas sperma burung yang dihasilkan.
Diketahui, jantan Chlamydotis undulata memiliki kebiasaan memamerkan bulu putih di bagian depan tubuhnya sambil berlari memutar dengan kecepatan tinggi. Kegiatan itu bisa berlangsung selama 18 jam per hari dan bisa menyita energi 10 persen dari massa tubuh.
Dari analisa 158.799 ejakulasi spesies burung itu, didapatkan hasil bahwa burung berusia muda yang gencar menarik perhatian betina memiliki jumlah dan kualitas sperma yang lebih baik. Ini berlangsung hingga burung berusia 6 tahun.
Setelah itu, walaupun burung mati-matian menarik perhatian betina, namun jumlah dan kualitas sperma menurun hingga 85 persen. Sperma kurang aktif dan banyak sel yang kurang sempurna. Akibatnya, kemungkinan membuahi pun lebih sedikit.
Preston mengatakan, apa yang terjadi pada Chlamydotis undulata membuktikan bahwa jika berlebihan saat muda, maka di hari tua akan menuai hasilnya. "Ini adalah burung yang setara dengan mereka yang suka menghabiskan waktu di bar dan nightclub tiap akhir pekan," kata Preston.
Hasil penelitian Preston dipublikasikan dalam versi online jurnal Ecology Letters yang terbit Senin (1/8/2011) lalu. Preston menggambarkan hasil penelitiannya sebagai salah satu bentuk penuaan yang didapatkan pada hewan. 

Sumber :
,

Sperma Tikus Atasi Kemandulan


Pengobatan kemandulan pada manusia bisa jadi terinspirasi dari seekor tikus. Setidaknya, hal inilah yang tengah diteliti oleh sekelompok ilmuwan di Jepang.

Mereka menggunakan sel induk embrionik tikus untuk membantu pengobatan kemandulan pada manusia. Para ilmuwan dari Universitas Kyoto ini memindahkan sel induk dari embrio tikus, mengubahnya menjadi sel awal, lalu mengembangkannya ke dalam indung telur maupun sperma tikus.

Sel ini lalu ditransplantasikan ke testis tikus mandul. Berdasarkan hasil uji coba, tikus mandul akhirnya menghasilkan sperma yang sehat. "Setelah inseminasi, kami membuat dua set embrio yang kemudian ditransfer ke kandungan induk tikus. Nantinya akan lahir tikus yang sehat melalui reproduksi normal," ujar Mitinori Saitou, peneliti senior di Universitas Kyoto, sebagaimana dikutip Newsdaily.com, Jumat (5/8/2011).

Keberhasilan uji coba pada tikus mandul mendorong para peneliti untuk mengembangkan metode yang sama pada manusia. Dengan menggunakan sel induk manusia, mereka akan mencoba mengatasi kemandulan pada manusia. Saitou percaya bahwa sel induk manusia dewasa bisa juga dikembangkan menjadi sperma manusia.

"Bahan yang kami dapat sangat banyak. Sekarang kami akan mempercepat penelitian kami untuk mempelajari penyebab kemandulan pada manusia," ujar Saitou.

,

Simpanse Punya Sifat Dermawan


Simpanse ternyata punya sifat dermawan di antara sesamanya. Mereka lebih suka membantu daripada menjadi egois. Penemuan ini dikemukakan oleh tim ilmuwan dari Yerkes National Primate Research Center di Amerika Serikat, seperti dilansir AFP, Senin (8/8/2011).

Ilmuwan mengetahuinya setelah melakukan tes pada tujuh simpanse. Hewan primata yang memiliki ciri genetik mirip manusia itu diberi dua pilihan peraga. Satu menjamin adanya pisang untuk dua individu dan satu lagi hanya menjamin kebutuhan sendiri.

Hasilnya, ternyata simpanse lebih memilih peraga yang menjamin adanya pisang untuk bersama. Ini bukti bahwa simpanse juga mempertimbangkan kebutuhan kawannya. Hasil studi ini dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences, bulan ini.

Selain itu, ilmuwan juga menemukan bahwa simpanse lebih memiliki kepedulian jika kawannya memperingatkan keberadaan dan kebutuhannya secara halus daripada terkesan memaksa meminta bagian makanan.

"Kami sangat kagum melihat simpanse-simpanse betina menjatuhkan keputusan yang memungkinkan simpanse dan rekannya mendapatkan makanan," kata Victor Hormer, pemimpin proyek penelitian ini.

Studi ini membantah hasil penelitian ilmuwan lain yang mengatakan, simpanse adalah hewan yang egois. "Saya selalu skeptis dengan hasil negatif yang mereka peroleh dan interpretasi berlebihan yang dilakukan, " kata Frans de Wall, ilmuwan lain yang juga terlibat dalam penelitian ini.

Sumber
,

Laba-laba Langka Dilepas ke Alam


Laba-laba langka asal Inggris, yang juga dikenal dengan nama "laba-laba ladybird", dikembalikan ke alamnya di Dorset, Inggris, pada Kamis (11/8/2011). Sebelumnya, laba-laba ini diperkirakan akan punah, namun penelitian terbaru mengatakan bahwa jumlah dari laba-laba ladybird mulai meningkat.
Sekitar 30 laba-laba telah dilepaskan oleh Royal Society for the Protection of Birds (RSPB) ke daerah yang kaya akan berbagai spesies. Laba-laba diletakkan dalam botol plastik kosong berisi lumut sebagai sarang sementara mereka di alam bebas.
"Mengenalkan spesies langka ke alamnya sangat menyenangkan, kami berharap spesies ini akan berkembang di kemudian hari," kata Toby Branston dari RSP.
Menurut data RSPB, pada tahun 1994, hanya tersisa satu koloni yang ada di Inggris-jumlahnya 56 laba-laba. Namun, populasi laba-laba dengan ciri warna merah dan hitam yang cerah ini, telah meningkat beberapa tahun setelahnya. Populasinya sekarang mencapai sekitar 1.000.
Walaupun jumlahnya mencapai 1000, di Dorset sendiri hanya sedikit yang tersisa, karena itu pelepasan 30 laba-laba ini diharapkan dapat memperbanyak populasinya.

Sumber :
(National Geographic Indonesia/Arief Sujatmoko
National Geographic Indonesia
,

Molekul DNA Ditemukan di Meteorit


Peneliti Badan Antariksa AS, NASA, menemukan DNA, molekul inti kehidupan, dalam meteorit yang jatuh ke Bumi. Penemuan ini mengindikasikan bahwa benda luar angkasa seperti asteroid pernah menghantam Bumi dan membantu terbentuknya kehidupan.

Molekul DNA tersebut ditemukan pada 12 meteorit, 9 di antaranya berasal dari Antartika. Berdasarkan analisis, ada 2 basa nitrogen, yakni adenin dan guanin, yang terdapat pada meteor tersebut. Ada pula hipoxanthine dan xanthine, molekul yang ditemukan di jaringan otot.

Selain itu, ilmuwan juga menemukan 3 molekul yang berkaitan dengan basa nitrogen, disebut analog basa nitrogen. Namun, dua molekul ini tidak pernah ditemukan dalam biologi atau makhluk hidup. Ini menantang para ilmuwan untuk menguraikan apakah molekul ini terbentuk di antariksa.

Pimpinan penelitian, Michael Callahan mengatakan, "Manusia telah menemukan komponen DNA di meteorit sejak tahun 60an. Tapi, peneliti tidak yakin apakah itu terbentuk di luar angkasa atau hasil kontaminasi kehidupan di Bumi."

Lebih lanjut, seperti dikutip CNN, Kamis (11/8/2011) Callahan menuturkan, "Jika asteroid adalah pabrik kimia yang mengeluarkan material prebiotik, Anda akan mengharapkan mereka memproduksi banyak variasi basa nitrogen, tak cuma yang biologis, terkait dengan kondisi masing-masing asteroid."

Penemuan basa nitrogen yang bervariasi, termasuk yang tak terdapat dalam biologi sesuai dengan harapan. Dengan kontaminasi yang minimal dari sampel meteorit lain, Callahan dan timnya yakin bahwa material yang terdapat pada meteorit ini terbentuk di luar angkasa.

Penemuan ini semakin menguatkan teori bahwa kehidupan di Bumi berasal dari luar angkasa. Hasil penelitian dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences, Amerika Serikat. Callahan adalah peneliti di Goddard Space Flight Center, NASA.

13 Katak Bertaring Ditemukan di Sulawesi


Ben Evans, pakar hewan dari McMaster University di Hamilton dan ilmuwan Indonesia menemukan 13 spesies katak bertaring di Sulawesi. Sejumlah 9 dari 13 spesies itu belum pernah ditemukan sebelumnya. Penemuan ini dilaporkan dalam jurnal The American Naturalist bulan ini.
Katak bertaring termasuk dalam genus Limnocetes, disebut bertaring karena memiliki tonjolan tulang di rahang bawah. Taring yang dimaksud bukan berarti gigi taring yang sebenarnya, sebab tak memiliki akar gigi atau ciri-ciri gigi lainnya.
Dalam papernya, Evans menulis, seluruh spesies katak bertaring yang ditemukan memiliki variasi adaptasi yang berbeda, sesuai kondisi lingkungan dan iklim mikro masing-masing, mulai dari yang terbasah hingga terkering dan dengan beragam vegetasi yang ada.
Beberapa spesies punya kaki berselaput tebal untuk beradaptasi dengan arus sungai yang deras. Sementara yang lain berselaput tipis, sesuai dengan lingkungan darat. Yang unik, ada katak yang melakukan fertilisasi internal, meletakkan telurnya jauh dari air dan mengawasinya.
"Penemuan ini menjadi contoh bagus bagaimana spesies pada akhirnya menggunakan taktik yang sama untuk survive dan melakukan diversifikasi ketika diberi kesempatan," kata Evans seperti dikutip CBCnews, Jumat (12/8/2011).
Evans mengatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian, tak ada genus katak lain di Sulawesi yang bisa berkompetisi dengan genus katak bertaring. Ini menjadi bukti bahwa katak bertaring berevolusi untuk mengisi kekosongan relung kehidupan yang ada di Sulawesi.
Sampai saat ini, ilmuwan belum mengetahui manfaat taring pada katak genus ini. Beberapa kemungkinan adalah sebagai senjata melawan pejantan lain untuk mempertahankan wilayah, menangkap mangsa seperti ikan dan serangga serta sebagai senjata melawan predator.
Untuk menemukan katak ini, Evans dan timnya harus melakukan ekspedisi di sepanjang sungai dan hutan dengan resiko gigitan ular berbisa. Hasilnya, ada 683 ekor katak yang berhasil ditangkap. Peta distribusi katak lalu dibuat, sekaligus perbandingan ciri katak dengan lingkungannya.
Saat ekspedisi, Evans berusaha menangkap katak di hutan yang belum tersentuh illegal logging. Namun, ia mengatakan, "Ada banyak hutan dimana kami mengambil sampel yang kemudian hilang ketika kami mengunjunginya beberapa tahun kemudian."
Sejauh ini, Evans mengatakan belum ada dari spesies yang ditemukan punah. Tapi ia mempercayai, distribusi katak-katak tersebut telah berkurang. Perlu usaha pelestarian lingkungan untuk menjaga katak-katak ini tetap eksis.

Sumber :
,

Tiga Tewas Akibat Amuba Pemakan Otak


Dua orang anak dan seorang pemuda dilaporkan tewas sepanjang musim panas kali ini di tiga negara bagian Amerika Serikat. Kematian mereka dicurigai akibat serangan amuba pemakan otak, yang biasa hidup di air.

Laporan itu disampaikan otoritas kesehatan Atlanta, Georgia, Kamis (18/8/2011). Secara rinci disebutkan, korban pertama tewas menimpa seorang remaja perempuan warga negara bagian Florida berusia 16 tahun. Dicurigai dia terinfeksi amuba berbahaya itu setelah berenang.

Korban kedua teridentifikasi sebagai anak laki-laki berusia sembilan tahun. Menurut ibunya, dia tewas setelah sebelumnya jatuh sakit di hari pertama mengikuti kemah memancing selama seminggu.

Diyakini, kasus-kasus tersebut merupakan kelanjutan dari peristiwa serupa yang pernah terjadi sebelumnya. Kebanyakan korban berjenis kelamin laki-laki dan masih berusia anak-anak atau remaja. Biasanya mereka terinfeksi setelah sebelumnya berinteraksi dengan lokasi amuba biasa hidup seperti berenang di kolam atau danau yang airnya hangat.

Sementara itu kasus kematian ketiga terjadi di negara bagian Louisiana dan menimpa seorang pria muda yang tewas Juni lalu. Diperkirakan dia terinfeksi dari sebuah alat penyemprot kecil berbentuk teko teh, yang biasa dipakai untuk membersihkan hidung dengan air garam. Petugas kesehatan belakangan menemukan keberadaan amuba mematikan tersebut di saluran air rumah tempat tinggal pria muda tersebut.

Namun begitu pakar penyakit menular pemerintah negara bagian Louisiana, Dr Raoult Ratard, menyatakan amuba itu tidak ditemukan di contoh air yang dikonsumsi warga kota. Dengan begitu disimpulkan air yang terinfeksi amuba pemakan otak tadi hanya terdapat di sistem air rumah tempat tinggal si korban, yang cuma diidentifikasi sebagai seorang pria berusia 20 tahunan asal kawasan tenggara Louisiana.

Ratard menambahkan, pria muda itu dipastikan tidak pernah berenang sembarangan atau melakukan kontak dengan air permukaan lainnya. Selain itu diketahui alat penyemprot yang biasa dipakai tidak pernah digunakan dengan air mentah melainkan air steril atau melalui proses penguapan.

Susunan Gen Ganja Berhasil Dipetakan


Susunan kode genetik atau genom tanaman ganja berhasil diurutkan oleh tim peneliti dari Medicinal Genomics, perusahaan farmasi yang berbasis di Belanda. Temuan ini diharapkan bisa menjadi perintis untuk penelitian efek tanaman ganja dalam pengobatan kanker.
Susunan gen tersebut sekarang masih "mentah", belum pada bentuk yang sudah dapat digunakan. Namun, saat proses itu selesai, tiap gen yang aktif menyusun tanaman ini akan terurai dan dapat diisolasi.
"Memahami gen-gen ini serta karakteristiknya akan memungkinkan kita mengontrol berbagai kandungan di dalam tanaman ganja," ujar Kevin McKernan dari Medicinal Genomics.
Penelitian ini diharapkan bisa menjadi terobosan baru bagi dunia pengobatan karena merintis jalan menuju penelitian efek tanaman ganja untuk pengobatan kanker dan peradangan.
Ganja telah dikenal manusia sejak lama dan digunakan sebagai bahan pembuat kantong karena serat yang dihasilkannya kuat. Biji ganja digunakan sebagai sumber minyak. Tumbuhan ini sering pula disalahgunakan untuk mabuk-mabukan. 


Sumber :
(National Geographic Indonesia/Gloria Samantha
National Geographic Indonesia
,

Bumi Diperkirakan Punya 8,8 Juta Spesies

Katak pohon jenis baru (Litoria sp. nov.) yang ditemukan di Papua belum lama ini unik dengan bagian tubuh memanjang di mukanya sehingga seperti hidung Pinokio.

Studi baru para ilmuwan mengungkap bahwa Bumi ternyata memiliki 8,8 juta spesies. Namun baru seperempatnya saja yang berhasil ditemukan. Hasil studi ini dipublikasikan di jurnal online PLoS Biology yang terbit Selasa (23/8/2011).

Boris Worm dari Dalhousie University dan Camilo Mora dari University of Hawaii adalah peneliti yang melaukan studi ini. Mereka menggunakan model matematika rumit untuk mendapatkan jawaban. Studi tidak hanya menjawab potensi penemuan pada tingkat spesies, tapi juga takson lebih tinggi.

Worm dan Mora mengungkapkan, dari 8,8 juta speies ada di Bumi, sebanyak 6,5 juta spesies hidup di darat dan 2,2 juta hidup di laut. Sementara, 7,8 juta spesies yang ada adalah hewan, 611.000 adalah jamur serta 300. 000 adalah tumbuhan.

Ilmuwan mengatakan, hingga saat ini baru 1,9 juta spesies saja yang baru ditemukan. Ia mengatakan, "Banyak spesies yang belum ditemukan sebenarnya berada di lokasi yang mudah dijangkau atau halaman belakang rumah kita."

Eksplorasi pada keragaman spesies perlu dilakukan. Beberapa penemuan terakhir, seperti lobster mini buta, ikan katak dan kadal kecil, menunjukkan bahwa spesies tidak hanya unik, tetapi juga punya potensi untuk didayagunakan mengatasi masalah yang dihadapi manusia saat ini.

Biolog Harvard University dan juga pemenang Pulitzer Prize, Edward O Wilson, yang tidak terlibat studi ini mengatakan, "Kita tidak akan tahu keuntungan spesies bagi manusia (jika tidak mencari). Jika kita mau maju di di ilmu medis, kita perlu tahu apa yang ada di lingkungan."

Sejauh ini, jumlah penemuan spesies semakin meningkat. Wilson sendiri telah menemukan kadal terkecil di Dominika pada tahun 2011. Sementara 3 tahun lalu, ia juga berhasil menemukan ular terpendek yang memproduksi telur yang panjang namun jumlahnya hanya 1.

Dari sebanyak 1,9 juta yang ditemukan saat ini, hanya 1,2 juta spesies saja yang sudah masuk daftar Encyclopedia of Life, suatu upaya ilmuwan tingkat intenasional yang berusaha mendata setiap spesies yang ada di muka Bumi.

Erick Mata, direktur eksekutif Encyclopedia of Life mengatakan, jika jumlah spesies 8,8 juta memang benar, hal itu adalah angka yang luar biasa. "Kita bisa menghabiskan waktu 400 sampai 500 tahun untuk mendokumentasikan spesies yang ada di planet kita," katanya.

,

Inilah Monster "Garuda" dari Sulawesi


Ahli serangga dari University of California menemukan spesies baru tawon dalam ekspedisi ke Sulawesi. Tawon tersebut dijuluki tawon monster sebab penampakannya yang menakutkan, memiliki mandibula bak ninja dan rahang yang lebih panjang dari kaki depannya.

"Rahang hewan ini begitu besar sehingga menutup bagian samping kepala. Jika rahang terbuka, akan tampak lebih panjang dari kaki depan tawon jantan ini," ungkap ahli serangga Lim Kimsey, seperti dikutip Daily Mail, Kamis (25/8/2011).

Kimsey yang juga kepala Bohart Museum of Entomology mengatakan bahwa ia berencana memberi nama tawon tersebut "garuda", sesuai lambang Indonesia. Ia mengatakan, tawon ini cenderung memilih untuk memakan serangga lain. Namun, jika terancam, tawon ini juga bisa menyerang manusia.

Tawon ini ditemukan di pegunungan Mekongga. Menurut Kim, kawasan Mekongga dan Sulawesi pada umumnya memiliki keanekaragaman yang besar. Ia mengatakan, selama tiga kali perjalanan ke Sulawesi, ratusan spesies mungkin bisa dikatalogkan.

Kimsey mengatakan, di Sulawesi, banyak ditemukan spesies langka dan belum pernah dilihat di belahan dunia lain. Ia berharap penemuan spesies tawon ini bisa menggugah kesadaran warga masyarakat terhadap perlunya melestarikan biodiversitas di kawasan itu.

,

Spesies Baru Burung Ditemukan di Hawaii


Spesies burung laut baru bernama Puffinus bryani ditemukan di Hawaii, Amerika Serikat. Penemuan jenis burung ini merupakan yang pertama di Amerika Serikat sejak 30 tahun terakhir. Jenis baru ini ditemukan lewat analisis spesimen yang diambil di Midway Atol pada tahun 1963.
Burung tersebut sering disebut golongan shearwater. Diketahui, Puffinus bryani memiliki ukuran terkecil dibanding 21 jenis shearwater yang lain. Spesies baru ini juga memiliki ekor yang lebih panjang dan lebih gelap dibandingkan burung sekerabatnya.
Rob Fleischer, Kepala Center for Conservation and Evolutionary Genetics Smithsonian Conservation Biology Institute, mengatakan bahwa P bryani telah lama diduga sebagai spesies baru, tetapi analisis genetik belakangan baru bisa berhasil membuktikan kebenarannya.
"Kebanyakan orang yang melihatnya berpendapat bahwa burung ini tampak sama. Namun, bagi mereka yang telah terlatih untuk melihat perbedaan, burung ini tampak mencolok dibandingkan yang lain," kata Fleischer seperti dikutip National Geographic, Selasa (30/8/2011).
Saat ini, hanya ada satu spesimen P bryani yang ada. Selain spesimen itu, hanya ada foto hasil jepretan tahun 1990 saat seekor P bryani ditangkap sementara dan diambil gambarnya. Akibatnya, ilmuwan memiliki pengetahuan yang terbatas tentang spesies ini.
Ilmuwan telah melakukan ekspedisi ke wilayah Midway Atol untuk mencari individu lain dari spesies ini, tetapi masih sulit menemukan. Ilmuwan akhirnya mengatakan bahwa mungkin saja spesies yang baru ditemukan ini telah punah.
Namun, Fleischer mengatakan, "Burung laut memiliki kebiasaan bersembunyi. Mereka memiliki umur panjang. Jadi mereka bisa keluar ke laut dalam waktu yang cukup lama." Jadi, mungkin saja spesies ini juga masih ada, walau sangat jarang."
Fleischer menambahkan, jika burung ini masih ada, sangat mungkin burung ini bereproduksi di wilayah Jepang atau Pasifik lain dan hanya tinggal sementara di Hawaii. Ilmuwan sering mencari informasi tentang burung dengan meneliti koloni reproduksinya.
Penemuan jenis burung ini dipublikasikan di jurnal Condor edisi Agustus 2011. Fleischer mengatakan, sangat menyenangkan bisa menemukan spesies baru untuk bisa menambah wawasan tentang jenis yang mesti diperhatikan. "Tetapi, bukan hal baik ketika kita tidak mampu mengelolanya," kata Fleischer. 

Sumber:
National Geographic Indonesia

,

Spesies Baru Hiu Ditemukan di Pasar Ikan


Spesies baru hiu ditemukan ilmuwan di pasar ikan Tashi, Taiwan. Ini mungkin bukan hal yang biasa, juga bukan pertama kalinya. Sebelumnya, spesies hiu baru juga pernah ditemukan di pasar ikan Indonesia pada tahun 2007.

William White dari Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization di Australia mengatakan bahwa nama spesies baru itu adalah Squalus formosus. Spesies yang ditemukan memiliki panjang 1 meter dan hidung pendek seperti dogfish. Selain spesies tersebut, White juga menemukan spesies lain dari genus Squalus.

Jenis Squalus formosus berbeda dengan lainnya karena karakteristik sirip tegak di bagian belakang, tulang yang kuat, serta kepala yang pendek dan bulat. Penemuan spesies ini adalah hasil penelitian mengoleksi ikan di pasar ikan secara sengaja. "Kami mengoleksi beberapa materi dan melihat apakah ada perbedaan dengan hiu yang ditangkap dari dekade sebelumnya," kata White seperti dikutip National Geographic, Kamis (1/9/2011).

Menurut White, spesies hiu ini tertangkap oleh nelayan sebagai hasil by catch (tangkapan sampingan) dari perikanan. Di pasar ikan, tak banyak orang yang mengenali perbedaan ciri spesies baru hiu ini dengan hiu lainnya. Soal, rasa, belum bisa diketahui sebab peneliti belum mencicipinya.

"Spesies dari golongan yang sama di Indonesia dikeringkan dan diasinkan untuk konsumsi manusia, sementara siripnya digunakan untuk bahan baku sup. Namun, hal ini tak langsung merefleksikan apa yang terjadi di Taiwan," kata White.

White mengatakan, saat ini diketahui bahwa spesies hiu baru ini hanya tersebar di Taiwan dan Jepang. Kemungkinan untuk ditemukan di wilayah lain sangat kecil sebab genus Squalus umumnya memiliki persebaran yang sempit.

White menambahkan, mengetahui jangkauan persebaran spesies sangat penting sehingga "kesehatan" populasi suatu spesies dapat diketahui. Pada hiu, pemantauan perlu dilakukan sebab merupakan salah satu jenis yang paling diburu dan berpotensi by catch tinggi.

Penemuan spesies ini dipublikasikan di Journal of Fish Biology, Jumat (26/8/2011). Hiu adalah spesies dengan tingkat reproduksi yang tergolong rendah sehingga akan sangat rentan karena overfishing. "Jadi, secara pribadi saya memilih untuk tidak memakannya," katanya.

Sumber :
National Geographic Indonesia


Ditemukan! Spesies Kelelawar Setan


Tiga spesies baru kelelawar berhasil ditemukan di hutan tropis selatan Indocina. Salah satu spesies yang ditemukan dinamai kelelawar setan, dan memiliki nama ilmiah Murina beelzebub. Jenis kelelawar ini hanya dijumpai di Vietnam.
"Kami memilih nama Beelzebub karena warna hitam kejam yang dimiliki oleh spesies baru ini, serta perilaku perlindungan diri yang tampak sengit saat dijumpai di lapangan," kata Gabir Csorba, peneliti Hungarian National History, seperti dikutip Wired, Jumat (2/9/2011).
Penemuan jenis baru kelelawar ini merupakan hasil kerjasama antara pakar biologi dan ahli konservasi dari Hungarian Natural History Museum dan Flora dan Fauna International. Penemuan dipublikasikan di Journal of Mammalogy edisi Agustus 2011.
Paul Racey, pakar kelelawar dan Vice Chairman Flora Fauna International mengatakan, kelelawar merepresentasikan mamalia dengan variasi terbanyak di Asia Tenggara. Jumlah spesies kelelawar diperkirakan dua kali lipat dari jumlah yang ditemukan saat ini berdasarkan penelitian genetik.
Kelelawar setan dan dua jenis baru lain yang ditemukan termasuk dalam golongan kelelawar berhidung tabung. Kehidupan seluruh kelelawar itu tergantung sepenuhnya pada keberadaan hutan tropis. Mereka kini terancam oleh aktivitas perusakan hutan yang ada. 


Sumber :
,

Lumba-lumba Berbicara seperti Manusia


Beragam penelitian tentang lumba-lumba dilakukan mengingat satwa tersebut terkenal cerdas. Salah satu yang sebelumnya pernah didapatkan adalah lumba-lumba bisa bersiul. Siulan tersebut digunakan sebagai alat komunikasi antar individu, persis seperti manusia menggunakan bahasa. Namun, penelitian itu ternyata kurang tepat. Lumba-lumba bukan cuma bersiul, tetapi berbicara.
Ilmuwan mengatakan, suara lumba-lumba diproduksi dari vibrasi jaringan yang cara kerjanya hampir mirip dengan organ di kotak suara manusia dan beberapa hewan darat lain. Demikian simpulan Peter Madsen dari Department of Biological Science di Aarhus University, Denmark, setelah melakukan studi tentang cara lumba-lumba berkomunikasi.
Madsen menelaah data digital suara 12 ekor lumba-lumba hidung botol yang direkam pada tahun 1977. Dasar teori penelitian adalah, nada siulan dipengaruhi oleh frekuensi resonansi di saluran udara. Saat lumba-lumba menyelam, saluran udara termampatkan karena tekanan. Artinya, jika memang bersiul, semakin dalam menyelam, ketukan suara lumba- lumba yang dihasilkan akan makin tinggi.
Lumba-lumba juga bisa bersuara di medium udara dan heliox, campuran 80 persen helium dan 20 persen oksigen. Kecepatan suara di medium heliox 1,74 kali lebih tinggi dari udara sehingga jika siulan diproduksi, maka ketukan nadanya akan 1,74 kali lebih tinggi.
"Kami menemukan bahwa ketukan suara lumba-lumba tidak berubah saat memproduksi suara di medium heliox, artinya ketukan tidak ditentukan oleh ukuran saluran udaranya, yang berarti juga lumba-lumba tidak bersiul," urai Madsen.
Lebih lanjut, Madsen menjelaskan, lumba-lumba justru memproduksi suara dengan membuat jaringan ikat di hidung bergetar sesuai dengan frekuensi yang ingin diproduksi dengan menyesuaikan ketegangan otot dan aliran udara di jaringan tersebut. Ini cara yang sama yang digunakan manusia.
Lalu jika lumba-lumba bisa bicara, apa yang dibicarakan? Ilmuwan mengetahui bahwa lumba-lumba saling berbagi informasi tentang identitas mereka sehingga mampu membantu satu sama lain ketika mengarungi wilayah samudera yang luas.
Insinyur akustik John Stuart Reid dan Jack Kassewitz dari organisasi Speak Dolphin membuat instrumen disebut CymaScope yang bisa mengurai detail struktur suara lumba-lumba sehingga "arsitekturnya" bisa dipelajari. Kassewitz mengungkapkan, "Ada bukti kuat bahwa lumba-lumba bisa melihat dengan suara, seperti manusia memakai USG untuk melihat embrio dalam kandungan. CymaScope memberi peluang untuk mengetahui apa yang dilihat lumba-lumba lewat suara." 


Sumber :

,

Tujuh Spesies Pinang Baru Ditemukan


Identifikasi tumbuhan palem-paleman atau lebih spesifik dari jenis pinang-pinangan hasil penelitian oleh peneliti asal Universitas Negeri Papua di Manokwari, Papua Barat, Dr Charlie D Heatubun, FLS, membuahkan tujuh spesies pinang jenis baru.

Melalui surat elektronik kepada Kompas, Jumat (16/9/2011), ia menyebutkan lima di antara temuannya itu merupakan endemis Kalimantan, yaitu Areca bakeri, Areca churchii, Areca dransfieldii, Areca gurita, dan Areca mogeana. Adapun dua lainnya, Areca triginticollina dan Areca riparia, hanya diketahui berada di Sumatera dan Kamboja.

Temuan Charlie Heatubun ini juga dimuat dalam Journal Phytotaxa pada 14 September 2011. Penelitiannya dimulai di Sarawak, Malaysia, tahun 2007 serta mengunjungi Herbarium Bogor (Indonesia), di Sarawak (Malaysia), Leiden (Belanda), Florence (Italia), Royal Botanic Gardens Kew dan Edinburgh (Inggris) dari tahun 2007 sampai 2008.

Penelitian itu ditulis saat Charlie studi postdoctoral dan sebagai peneliti tamu di Royal Botanic Gardens Kew Inggris. Ihwal proses penamaannya, ia harus mengecek semua jenis pinang yang telah memiliki nama dan spesimennya serta melakukan analisisis pragmatis pada karakter morfologinya serta membandingkan dengan jenis pinang yang telah ada.

Untuk menamainya, Charlie mengambil dari nama orang yang mengoleksi spesimen herbariumnya sebagai bentuk penghargaan, juga berdasarkan nama tempat asal di mana ditemukan dan berdasarkan ciri-ciri utama pembeda.

Pinang, bagi masyarakat Papua, biasa dikunyah dengan bubuk kapur cangkang kerang yang dibakar dan buah tumbuhan sirih. Konsumennya mulai dari anak-anak hingga tua, baik lelaki maupun wanita
,

12 Spesies Katak Langka Ditemukan


Sebanyak 12 spesies katak langka ditemukan di wilayah India, ditambah penemuan kembali 3 spesies yang semula diduga punah. Penemuan ini menunjukkan bahwa wilayah India kaya akan keanekaragaman hayati jenis amfibi.

Salah satu spesies baru yang ditemukan ialah katak malam bersuara mengeong, katak yang suaranya mirip seperti kucing. Jenis lain ialah katak malam Wayanad yang tumbuh hingga sebesar bola baseball. "Ini seperti monster," kata Sathyabhama Das Biju, ilmuwan University of Delhi, penemu spesies ini.

Sementara itu, salah satu jenis katak yang ditemukan kembali setelah diduga punah adalah katak malam Coorg. Jenis katak ini ditemukan serta dideskripsikan 91 tahun lalu dan selama bertahun-tahun telah diabaikan karena diduga telah punah. Penemuan katak ini dipublikasikan di jurnal Zootaxa yang terbit bulan ini.

Dengan penemuan ini, India kini memiliki 336 jenis katak yang telah teridentifikasi. Biju percaya, jumlah spesies katak yang ada masih jauh lebih banyak.

Secara global, berdasarkan data Global Wildlife Conservation, diketahui bahwa 32 persen spesies katak yang ada terancam punah. Faktor penyebabnya adalah berkurangnya habitat dan polusi.

Perhatian pada jenis amfibi seperti katak juga tergolong kurang. Biju menuturkan bahwa banyak katak di India hidup di satu habitat. Jadi perlindungan habitat diperlukan. "Sayangnya, di India konservasi lebih fokus pada hewan karismatik seperti gajah dan harimau, minat dan perhatian pada katak minim, penelitiannya juga tidak mudah," kata Biju.

Biju menambahkan, penelitian katak juga memiliki potensi ekonomi, seperti dalam bidang medis. "Kami harus menemukan spesiesnya dahulu, memahami dan melindunginya, jadi kita bisa mempelajari potensi klinisnya," ujar Biju seperti dikutip AP, Sabtu (17/9/2011)
.
Sumber
,

Penyelamatan Iguana Langka Semakin Sukses


Sebuah upaya untuk menyelamatkan iguana biru Grand Cayman atau Cyclura lewisi yang terancam punah semakin sukses dilakukan di kebun binatang San Diego, Amerika Serikat, ketika 9 ekor anak iguana itu berhasil ditetaskan. Sebagai gambaran, dalam setahun, umumnya kebun binatang San Diego yang menjadi salah satu bagian dari kampanye internasional menyelamatkan iguana hanya mendapatkan tambahan tiga sampai empat ekor anak iguana per tahun.
Jeff Lemm, herpetolog dari Applied Animal Ecology Division, San Diego Zoo Institute for Conservation, menyebutkan, keberhasilan ini berkat kemampuan dua ekor iguana betina muda di kebun binatang itu yang sebelumnya tidak pernah menghasilkan telur yang subur. "Kali ini, kami memperbaiki kondisi sarang mereka," kata Lemm. "Dan, ternyata cara ini berhasil untuk mereka," ucapnya.
Demi memotivasi iguana betina untuk menyarangkan telurnya setelah ia kawin dengan iguana jantan di kebun binatang tersebut, Lemm menggunakan pangkal pohon berlubang, mengisinya dengan tanah yang lembut dan hangat, kemudian memancarkan sinar hangat ke arahnya. "Iguana betina itu kemudian membenamkan dan menempatkan sejumlah telur di sana," ucapnya.
"Saat melihat telur itu, kami berkata, mudah-mudahan telur ini subur dan berhasil menetas," kata Lemm. "Dan, ketika ternyata ia menetas, sangat luar biasa. Kami sangat gembira melihatnya," ucapnya. Saat itu ada dua telur subur yang dierami dan menetaskan dua ekor anak iguana. Dengan tambahan 7 ekor anak iguana yang dihasilkan oleh betina yang lebih dewasa, tahun ini merupakan tahun yang sangat luar biasa bagi para iguana di kebun binatang tersebut.
Dengan berhasilnya menambah iguana terancam punah tersebut tahun ini, Lemm memperkirakan jumlah populasi iguana di kebun binatang tersebut tahun depan akan lebih besar karena iguana betina muda tersebut akan semakin dewasa. "Tahun depan, kami memperkirakan bahwa mereka akan menetaskan lebih banyak telur," kata Lemm. "Meski begitu, reptil adalah hewan yang tidak bisa ditebak," ucapnya.

Sumber :
(National Geographic Indonesia/Abiyu Pradipa
National Geographic Indonesia
,

Manusia Magnet: Misteri atau Fisika?


Discovery News meragukan kemampuan magnetik (atau supranatural) milik Bogdan, bocah laki-laki asal Serbia, sehingga perabotan rumah tangga bisa menempel pada kulitnya. Ada penjelasan dengan fisika mengenai "kemampuan" itu.

Dalam sebuah artikel, Discovery News menyatakan bahwa fenomena itu tidak terletak pada sifat magnet atau kemampuan mistis, tetapi terletak pada fisika friksi pada kulit. "Kulit elastis dan bisa menyelaraskan bentuknya dengan obyek yang menyentuhnya. Efek ini semakin terasa pada hari yang panas dan kulit tersentuh oleh tempat duduk plastik. Kulit juga bisa bersifat adhesif atau perekat pada beberapa material," demikian tertulis dalam artikel.

Bukti lain akan tiadanya sifat magnetik yang disebutkan oleh Discovery News adalah tidak semua benda metal menempel pada kulitnya. Piring plastik dan gelas juga menempel. "Apa persamaan besi, gelas, dan plastik? Mereka punya permukaan yang mulus," demikian penjelasan Discovery News.

MSNBC dan The Daily Mail melaporkan ada bocah laki-laki dari Serbia yang punya kemampuan magnetik. Sendok, garpu, pisau, dan perabotan dari besi lainnya bisa menempel di tubuhnya. Selain itu, Bogdan—dan orang lain yang mengaku punya kemampuan serupa—juga memiliki sedikit rambut pada kulit sehingga obyek bisa menjalin kontak nyaris sempurna dengan kulit.

Discovery News juga menunjukkan cara paling sederhana untuk membuktikan adanya medan magnet. Pada video, Bogdan selalu menempelkan objek-objek langsung pada kulit, tanpa pakaian. Apabila memang ada medan magnet, seharusnya Bogdan juga bisa menempelkan obyek ketika ia mengenakan pakaian karena medan magnet bisa menembus kain tipis.

Pada Kamis (24/2/2011), Daily Mail menurunkan berita mengenai Bogdan. Keluarganya mengaku Bogdan memiliki kemampuan magnetik sejak lahir. Keluarga Bogdan melarang si bocah mendekati alat-alat listrik seperti televisi dan komputer. "Kemampuan magnetnya membuat alat-alat seperti itu mati," ujar keluarga.

Untuk membuktikan kemampuan itu, Bogdan diminta bergaya di depan kamera dengan berbagai obyek di dadanya. Pertama, Bogdan menempelkan berbagai perabotan makan kemudian pengendali (remote) televisi. Bogdan mencabut obyek-obyek itu dari tubuh menggunakan tangannya.

Sumber :
National Geographic Indonesia


Fenomena Kolam Hijau di Kutub Selatan


Sebuah kolam yang dipadati kehidupan ditemukan di antara es di Kutub Selatan. Kolam yang dikelilingi es warna putih tersebut berisi air berwarna hijau sehingga terlihat mencolok dibanding perairan sekitarnya. Kata para ilmuwan, inilah anugerah pemanasan global.
Menurut mereka, kolam di daerah terpencil itu berwarna hijau akibat klorofil dari ganggang yang terdapat di situ. Di kolam itu pula didapati krustasea kecil, ikan, larva udang.
"Ini kolam terhijau yang pernah saya lihat," kata Patricia Yager, kepala ilmuwan Amundsen Sea Polynya International Research Expedition (ASPIRE). Yager mengutarakan kalau jumlah klorofil per liter di kolam itu lima kali lebih banyak dibandingkan beberapa tempat di Sungai Amazon.
Kolam yang dikelilingi oleh es laut seperti ini sering disebut dengan istilah polynya. Perairan seperti ini biasanya kaya nutrisi dan menjadi tempat bernaung bagi binatang, baik besar maupun kecil. Demikian jelas Yager.
Polynya bisa terbentuk dengan dua alasan: angin yang meniup bongkah es menjauh dari pantai dan udara atau air hangat mencairkan es. Ketika es mencair, nutrisi turut terlepas ke laut. Nutrisi yang kebanyakan penting bagi tumbuhan itu membuat ganggang berkembang.
"Ketika gletser dan es laut di bagian barat Kutub Selatan mencair karena pemanasan global, lebih banyak nutrisi yang mengalir ke lautan dan membuat ganggang berkembang semakin luas," Yager menjelaskan.
Menurut Yager, ledakan jumlah ganggang ini bisa jadi anugerah karena ganggang melahap karbon dioksidad akibat efek rumah kaca. "Tapi ini baru satu sisi," katanya.
Ia mengatakan kalau ganggang menjadi makanan bagi zooplankton yang melepaskan karbon dioksida ke atmosfer saat bernapas. Yager juga menyebutkan bakteri yang mengurai ganggang mati dan mengubah karbon menjadi karbon dioksida.
Meskipun demikian, untuk saat ini, kolam polynya merupakan hal yang baik bagi iklim Bumi karena mereka memerangkap karbon. "Tapi hanya itu saja," kata Lisa Miller, ahli biologi kelautan dari Fisheries and Oceans Canada.

Sumber :
(National Geographic Indonesia/Alex Pangestu
National Geographic Indonesia

Meteorit Bawa Alien Berbentuk Cacing


Seorang peneliti dari NASA mengklaim telah menemukan bukti adanya makhluk angkasa luar (alien). Laporan yang ditulis Richard Hoover yang dipublikasikan di Journal of Cosmology, Jumat (4/3/2011), memuat foto makhluk semacam cacing berukuran mikroskopik.

Dia menyatakan telah menemukan fosil amat kecil pada meteorit. Dari fragmen yang dibawa Hoover tampak beberapa tipe meteorit kondrit karbon (carbonaceous chondrite) yang merupakan materi dengan kandungan air dan materi organik relatif tinggi.

Penemuan tersebut memancing optimisme sekaligus skeptisisme dan kini diteliti oleh 100 ilmuwan. Hoover menyimpulkan, bakteri yang menjadi fosil tersebut bukan hasil kontaminasi dengan bumi, melainkan sisa-sisa makhluk hidup yang memfosil yang pada mulanya hidup di komet, bulan, dan bintang. (AFP/ISW)
Sumber :
Kompas Cetak

Mencari Asal-usul Kehidupan


Dalam Frankenstein, buku klasik karya Mary Shelley yang terbit tahun 1818, Victor Frankenstein mengumpulkan potongan-potongan mayat dan menjahitnya menjadi tubuh yang utuh. Menggunakan aliran listrik, Frankenstein berhasil menciptakan kehidupan meski kemudian menyesalinya.
Dalam kehidupan nyata, manusia memang tak henti-hentinya mencari jawaban, apakah kehidupan ini ada karena suatu kuasa atau semata-mata proses alam?
Ada berbagai teori dan percobaan menyangkut asal-usul kehidupan. Dalam buku The Grand Design (2010), fisikawan Stephen Hawking bersama Leonard Mlodinow menjelaskan tentang penciptaan ini. Menurut mereka, ”Tata surya dapat membentuk dirinya sendiri karena ada hukum alam, seperti gravitasi. Maka, penciptaan spontan adalah sumber adanya ’sesuatu’ dan bukan kehampaan, adanya alam semesta dan adanya kita.”
Sebelum itu, para ahli biokimia sudah merumuskan berbagai teori dan menguji coba di laboratorium. Salah satu yang fenomenal adalah uji laboratorium yang dilakukan Stanley Miller, kandidat doktor di University of Chicago, Amerika Serikat, tahun 1953.
Miller mereproduksi kondisi atmosfer purba dengan hidrogen, air, metana, dan amonia dalam bejana dan memanasinya. Dalam seminggu ia menemukan endapan senyawa organik penyusun kehidupan: asam amino.
Ragam asam amino itu—glisin, alanin, aspartik, dan glutamik—adalah unsur dasar pembentuk protein, penyusun struktur sel, dan berperan penting dalam reaksi biokimia yang dibutuhkan kehidupan.
Bukti baru
Pekan lalu, Lembaga Aeronautika dan Antariksa AS (NASA) memublikasikan hasil pengujian terhadap bahan penelitian Miller. Bahan ini, dengan alasan yang tidak pernah diketahui, tidak pernah dicoba sampai Miller meninggal tahun 2007.
Bahan ini mengandung hidrogen sulfida (H2S) yang belum pernah digunakan sebelumnya. ”Hidrogen sulfida berfungsi menstimulasi kondisi awal atmosfer kita,” kata Eric Parker dari Georgia Institute of Technology, Atlanta, dalam situs resmi NASA.
Parker adalah penulis utama laporan ilmiah tersebut dalam The Proceedings of the National Academy of Sciences.
”Sungguh mengagetkan, dengan menggunakan H2S, asam amino yang dihasilkan jauh lebih kaya dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya,” ujar Profesor Jeffrey Bada dari Scripps Institution of Oceanography, University of California. Ia berpartisipasi dalam penelitian ini.
Total diperoleh 22 jenis asam amino dan 10 jenis di antaranya belum pernah ditemukan dalam percobaan serupa. Salah satu dari asam amino tersebut, metionin, berperan besar dalam kode genetik. ”Metionin menginformasikan pada sel untuk menerjemahkan suatu desain menjadi protein,” kata Dr James Cleaves dari Carnegie Institution of Washington, anggota tim peneliti.
Kesimpulannya, penelitian menunjukkan peran gunung berapi pada pembentukan senyawa organik awal. Seperti diketahui, gunung berapi adalah sumber sulfur yang berlimpah. Kilat cahaya yang muncul saat gunung meletus, seperti aliran listrik yang membangkitkan kehidupan. Dengan demikian, kawasan gunung berapi bisa jadi menjadi lokasi awal mula kehidupan karena merupakan daerah yang kaya senyawa organik, baik jenis maupun jumlahnya.
Penelitian lebih lanjut pada meteorit— partikel antariksa yang tidak habis terbakar di atmosfer dan jatuh ke Bumi—menunjukkan bahwa selain kaya unsur karbon, meteorit juga mengandung beragam asam amino. Maka, bisa jadi molekul penting yang berperan dalam kehidupan berasal dari antariksa dan mempercepat munculnya kehidupan karena bahan bakunya sudah siap bersenyawa.
”Kami menemukan bahwa tipe asam amino yang dihasilkan dengan menambahkan H2S ternyata hampir sama dengan asam amino pada meteorit yang kaya karbon,” tutur D Jason Dworkin dari NASA Goddard yang memimpin Laboratorium Astrochemistry NASA.
Awal mula
Meski demikian, kerja Miller tak lepas dari teori-teori yang dihasilkan para ahli biokimia sebelumnya. Menurut John Haldane dari Inggris tahun 1929, atmosfer pada zaman Bumi purba tidak memiliki oksigen bebas.
Kemudian Haldane dan Aleksander Oparin dari Soviet menyatakan, ”Semua bahan baku kehidupan sudah ada di Bumi sejak awal mula, demikian juga dengan energi dari Matahari dan proses yang belum diketahui, tapi memicu munculnya kehidupan.”
Di Amerika, tahun 1952, ahli biokimia Harold C Urey mengelaborasi teori Haldane dan Oparin dengan menyebutkan unsur-unsur yang ada sejak terbentuknya semesta, yaitu hidrogen, oksigen, nitrogen, dan karbon. Inilah yang kemudian membentuk air, amonia, dan metana sebagai unsur dasar pembentuk kehidupan.
Adalah Stanley Miller yang kemudian mengombinasikan ide Haldane, Oparin, dan Urey dalam percobaannya. Selain menemukan senyawa organik penyusun kehidupan, percobaan Miller juga membuktikan betapa mudah asam amino terbentuk.
Pada tahun yang sama, 1953, penemuan struktur DNA—deoxyribonucleic acid yang membawa kode genetik—semakin membuktikan besarnya peran senyawa organik dasar menyusun kehidupan. Penemuan DNA juga membuka pemahaman terhadap beberapa senyawa, di antaranya asam nukleid, yang bisa bereplikasi dan mewariskan kehidupan.
Semua penelitian di atas mengarah pada pembentukan asam amino sebagai langkah awal evolusi. Akan tetapi, betulkah semua ini proses alam semata seperti yang dipercaya Hawking dan Mlodinow, ataukah ada kehendak Yang Kuasa? 


Sumber :
Kompas Cetak