Minggu, 20 November 2011

Logam Paling Ringan Hampir Seringan Udara


Para ilmuwan dari Universitas California Irvine, HRL Laboratories, dan California Institute of Technology di Amerika Serikat berhasil menciptakan material logam paling ringan. Saking ringannya, bahkan bisa disebut hampir seringan udara.
Material paling ringan itu disebut ultralight metallic micriolattice. Publikasi di jurnal Science, Jumat (18/11/2011) lalu, menyebut, material ini 100 kali lebih ringan daripada styrofoam.
Ilmuwan mengungkap, rahasia ringannya material adalah pada arsitektur tingkat selulernya. Material tersusun dari 99,99 persen udara dan hanya 0,01 persen unsur padat. Komponen material padatnya terdiri atas 90 persen nikel. Susunannya membuat massa jenis material ini bahkan kurang dari seperseribu massa jenis air.
"Triknya adalah membuat susunan tabung berongga (skala nanometer) dengan ketebalan 1.000 kali lebih tipis dari rambut manusia," kata Tobias Shandler dari HRL Laboratories seperti dikutip Physorg, Jumat.
Ilmuwan mengatakan, material ini begitu ringan sehingga seperti bulu burung saat jatuh. Butuh waktu 10 detik bagi material ini untuk menyentuh tanah jika dijatuhkan dari ketinggian bahu orang dewasa sehingga mungkin tak cepat rusak.
Peneliti menuturkan, material ultraringan ini sangat cocok untuk tujuan perlindungan. Material ini sangat bermanfaat bagi dunia kedirgantaraan, peredam akustik, dan juga pada baterai. Saat ini, material ini dikembangkan untuk Defense Advanced Research Projects Agency.


Kamuflase Unik Gurita dan Cumi-cumi

Gurita spesies Japetella heathi dan cumi-cumi spesies Onychoteuthis banksii memiliki kemampuan kamuflase unik. Keduanya bisa berubah warna dari transparan menjadi merah buram dan sebaliknya untuk menghindari diri dari mangsa.
Sarah Zylinski, peneliti post doktoral di Duke University, Amerika Serikat adalah ilmuwan yang menemukan kemampuan unik 2 spesies itu. Ia melakukan eksperimen sejak tahun 2010 lalu dengan bantuan lampu LED untuk menguji kemampuan kamuflase gurita dan cumi tersebut.
Menurut Zylinski, dua spesies tersebut hidup di perairan laut pada kedalaman 600-920 meter. Di sana, penetrasi cahaya Matahari hampir tidak ada dan para predator berburu dengan melihat siluet dari organisme yang akan dimangsa.
Dalam kondisi gelap, J. heathi dan O. banskii tampil dalam wujud transparan. Dalam kondisi tersebut, hanya predator yang matanya tajam yang bisa melihat keduanya karena mata dan perutnya tidak bisa menjadi transparan.
Meski demikian, dua spesies hewan itu tetap berusaha tak terlihat sedikit pun. Mata dan perut berevolusi sehingga bersifat reflektif tidak menghasilkan siluet. Cara ini melindungi keduanya dari predator-predator bermata tajam.
Nah, satu-satunya musuh utama dan keadaan gelap adalah angler fish yang punya kemampuan bioluminescence. Mereka bisa mengeluarkan cahaya dan melihat keberadaan mangsa. Kalau J. heathi dan O. banskii terlihat, maka tak pelak lagi akan dimakan.
Tapi, untuk mengatasinya, J. heathi dan O. banskii masih punya pertahanan terakhir. Keduanya bisa berubah warna menjadi merah buram sehingga tidak terdeteksi. Diketahui bahwa perubahan menjadi warna merah dimungkinkan karena memiliki pigmen bernama kromatofor.
Dikutip Daily Mail, Jumat (11/11/2011), Zylinski mengatakan, "Hewan yang lebih muda ditemukan di kolom air yang lebih tinggi dan punya lebih sedikit kromatofor sehingga lebih cenderung berwarna transparan."
Sementara itu, hewan yang dewasa berada di lingkungan lebih dalam sehingga lebih cenderung berwarna merah buram. Kecenderungan tersebut menurut Zylinski masuk akal sebab di lingkungan dalam, bioluminescence adalah sumber cahaya utama.
Hasil penelitian Zylinski menunjukkan hewan laut memiliki beragam cara pintar untuk mempertahankan diri dari predator. Kamuflase spesies gurita dan cumi ini menunjukkan bahwa kebanyakan organisme laut cenderung memilih tidak terlihat di mata predator daripada memiliki warna mencolok untuk menakuti.

Badai Besar di Saturnus Selama 200 Hari


Badai besar yang terjadi di Planet Saturnus mencatat rekor baru karena berlangsung hingga 200 hari atau lebih dari setengah tahun. Badai yang tercatat merupakan yang terbesar selama dua dekade tersebut direkam dengan baik oleh wahana ruang angkasa Cassini dari proses pembentukan, evolusi, hingga lenyap.
Hasil pantauan menunjukkan, badai monster itu muncul pada 5 Desember 2010 di titik 35 derajat lintang utara Saturnus. Badai kemudian membesar bergerak mengelilingi Saturnus pertama kali pada Januari 2011, melebar hingga 15.000 kilometer dari utara ke selatan sebelum akhirnya mengecil dan hilang pada Juni 2011 lalu.
Berdasarkan catatan NASA, badai tersebut tercatat sebagai yang terlama, mengalahkan badai tahun 1903 yang bertahan selama lima bulan. Cakupan wilayah yang terkena dampak badai mencapai 5 miliar kilometer persegi atau 10 kali lipat luas permukaan Bumi.
Kecepatan gerak badai mencapai 1.756 km/jam. Ini jauh lebih cepat dari badai tercepat di Bumi yang hanya 66 km/jam. Badai yang bergerak sangat cepat tersebut tampak sebagai mozaik berwarna yang menghiasi bagian atas khatulistiwa Saturnus.
Dalam astronomi, badai besar itu dikenal sebagai Bintik Putih Saturnus. Fenomena ini cenderung muncul setiap 2-3 dekade. Fenomena ini pernah terdeteksi juga tahun 1990 oleh teleskop antariksa Hubble, tetapi hanya bertahan 55 hari.
Andrew Ingersoll, anggota tim pencitraan Cassini di Caltech, Pasadena, menuturkan, "Badai Saturnus lebih mirip seperti gunung api daripada fenomena cuaca di daratan. Tekanan terbentuk selama sekian tahun sebelum badai bererupsi. Misterinya adalah, tak ada batuan yang menahan tekanan untuk menunda erupsi selama sekian tahun."
Anggota tim pencitraan Cassini lain, Kunio Sayanagi dari UCLA seperti dikutip Space.com, Jumat (18/11/2011), menuturkan, "Fakta bahwa fenomena itu berlangsung dalam periode tertentu dan selalu terjadi tiap 20 atau 30 tahun mengatakan sesuatu tentang bagian dalam planet itu, tapi kita belum mengetahuinya."
Cassini mengorbit Saturnus sejak 2004, meneliti cincin dan bulan-bulan planet tersebut. Wahana antariksa itu akan terus mengorbit hingga 2017 sehingga diperkirakan masih ada banyak lagi kejutan dari jepretannya.
Hasil jepretan Cassini untuk badai yang terjadi Desember 2010 hingga Juni 2011 bisa dilihat di gambar di atas. Gambar pada Agustus 2011 memperlihatkan, meski badai sudah berakhir Juni, dampaknya berupa awan putih masih bisa dilihat hingga sesudahnya.

Ketika Jawa dan Sumatera Terpisah


Para ahli telah bersepakat bahwa Pulau Jawa dengan Sumatera dulu menyatu. Bersama Kalimantan, kemudian membentuk dataran yang disebut Sunda Besar. Pemisahan Jawa dan Sumatera diyakini adalah akibat gerakan lempeng Bumi, walaupun tak sedikit yang berpendapat bahwa letusan Gunung Krakatau sebagai penyebab pemisahan ini.
Pendapat yang mendukung pemisahan Jawa dan Sumatera karena letusan Krakatau biasanya mengacu pada Pustaka Raja Purwa, yang ditulis pujangga Jawa, Ronggowarsito, pada tahun 1869. Dalam buku ini dikisahkan, letusan Gunung Kapi—yang belakangan diidentifikasi sebagai Gunung Krakatau—menjadi penyebab pemisahan Pulau Jawa dan Sumatera. Peristiwa ini disebutkan terjadi pada tahun 416 Masehi.
Peneliti dari Los Alamos National Laboratory (New Mexico), Ken Wohletz, termasuk yang mendukung tentang kemungkinan letusan besar Krakatau purba hingga memisahkan Pulau Jawa dan Sumatera. Dia membuat simulasi tentang skenario letusan super. Namun, berbeda dengan Ronggowarsito, Ken menyebutkan, letusan itu kemungkinan terjadi puluhan ribu tahun lalu.
Melalui penanggalan karbon dan radioaktif, para ahli geologi memastikan bahwa Krakatau pernah beberapa kali meletus hebat. "Sepertinya pembentukan Selat Sunda tidak mungkin karena sebuah letusan tunggal besar, seperti ditulis dalam legenda (Pustaka Raja Purwa) itu. Setidaknya ada dua periode letusan besar di Krakatau, tetapi itu sekitar ratusan bahkan ribuan tahun lalu, tidak pada tahun 416 Masehi," sebut Zeilinga de Boer dan Donald Theodore Sannders dalam Volcanoes in Human History, 2002.
Walaupun pencatatan Ronggowarsito tentang waktu letusan masa lalu Krakatau diragukan ketepatannya, pujangga ini barangkali benar soal "pemisahan" Pulau Jawa dengan Sumatera yang berkaitan erat dengan letusan Krakatau. Namun, pemisahan Jawa dan Sumatera sepertinya bukan karena letusan Krakatau. Sebaliknya, Krakatau terbentuk karena pemisahan kedua pulau ini sebagai produk gerakan tektonik di dalam Bumi.
Geolog dari Museum Geologi, Indyo Pratomo, mengatakan, pemisahan Jawa dan Sumatera terjadi karena gerakan tektonik. ”Pulau Jawa dan Sumatera bergerak dengan kecepatan dan arah yang berbeda akibat tumbukan lempeng Indo-Australia ke Euro-Asia. Perbedaan ini menyebabkan terbukanya celah di dalam Bumi,” kata Indyo.
Sebagaimana Indyo, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono juga meyakini proses tektoniklah yang membentuk Krakatau. Pulau Jawa, menurut Surono, bergerak ke arah timur dengan kecepatan sekitar 5 sentimeter (cm) per tahun, sedangkan Pulau Sumatera bergerak ke arah timur laut dengan kecepatan 7 cm per tahun. Proses ini menyebabkan Pulau Sumatera bergerak ke arah utara dan meninggalkan Pulau Jawa sehingga membuka kerak Bumi di Selat Sunda.
Sejauh ini, Sumatera telah berputar sekitar 40 derajat dibandingkan Jawa. Jelle Zeilinga dan Donald Theodore menyebutkan, separuh dari putaran ini terjadi dalam waktu dua juta tahun. Perputaran ini menyebabkan adanya perenggangan di antara dua pulau, menjadi jalan bagi batu yang meleleh, atau magma, untuk keluar di sepanjang zona rekahan Krakatau, sehingga membentuk tubuh gunung ini dari dasar laut.
Penyaluran energi
Surono mengatakan, letusan gunung api pada prinsipnya terjadi sebagai bentuk penyaluran energi dari bawah Bumi yang dikumpulkan oleh gerakan lempeng Bumi. Selain berupa letusan gunung api, energi ini juga bisa dilepaskan dalam bentuk gempa bumi.
"Letusan gunung api dan gempa bumi biasanya saling mengisi," katanya. Di Sumatera, energi dari gerakan lempeng lebih banyak disalurkan dalam bentuk tingginya intensitas gempa di sepanjang Sesar Besar Sumatera. "Kondisi ini menyebabkan di Sumatera tidak ada lagi letusan gunung api yang berskala besar."
Letusan supervolcano Toba yang mengubah Bumi, terakhir terjadi sekitar 74.000 tahun lalu. "Saat itu, mungkin sesar besar Sumatera kondisinya tidak seaktif sekarang sehingga akumulasi energinya dilepaskan dalam bentuk letusan gunung api Toba," kata Surono.
Sebaliknya, di Pulau Jawa, intensitas gempa darat relatif sedikit dibandingkan Sumatera. Namun, letusan gunung apinya relatif lebih sering. "Energi yang dikumpulkan dari tumbukan lempeng kebanyakan disalurkan dalam bentuk letusan gunung karena sesar darat di Jawa tidak ada yang besar," katanya.
Bagaimana dengan Krakatau yang berada di antara dua sistem geologi Jawa dan Sumatera yang berbeda ini?
Krakatau yang berada di titik engsel antara Pulau Jawa dan Sumatera menjadi unik. Ditambah lagi dengan keberadaan lautan yang mengelilingi pulau gunung api ini, Krakatau menjadi sangat berbahaya. Jika terjadi kebocoran dan air laut menembus ke dalam Bumi hingga mendekati kantong magma yang mendidih, letusan besar bisa terjadi. Padahal, jika terjadi letusan besar, kemungkinan terjadinya tsunami juga sangat tinggi.
Kemunculan kembali Anak Krakatau dari dalam laut pada tahun 1930-an, setelah letusan besar pada Agustus 1883 dan menghancurkan nyaris seluruh tubuh pulau gunung api ini, menandakan aktivitas tektonik yang menyuplai magma terus terjadi. Akankah Anak Krakatau menjadi seperti "ibunya" yang meletus hebat, mengirim tsunami besar sehingga menewaskan lebih dari 36.000 jiwa?
Geolog dan juga penulis buku populer, Simon Winchester (2003), menyebutkan, proses-proses yang mengarah pada kejadian petaka tahun 1883 tidak bisa dihentikan. Selama proses subduksi atau penunjaman lempeng masih terjadi, selama itu pula pasokan energi dan magma ke Krakatau masih akan terus terkumpul.
Masalahnya, kita tidak akan pernah tahu kapan dan seberapa kuat gunung api akan meletus. "Kalau ada alat yang dapat meramalkan letusan gunung api akan saya beli semua. Termasuk penjualnya," Surono berkelakar. "Kita tidak bisa melawan alam. Akan tetapi, yang bisa dilakukan adalah bagaimana kita membangun sistem mitigasi bencana yang kuat dan menyiapkan masyarakat untuk terus waspada," lanjutnya.

Ancaman Tsunami dari Gunung Api


Terdiri dari kepulauan, sebagian di antaranya pulau-pulau gunung api, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara paling rentan terdampak tsunami vulkanik. Letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda pada tahun 1883, yang memicu tsunami raksasa, menjadi bukti tentang kondisi geologi Indonesia yang hiperaktif itu.
Petaka Krakatau 1883 telah membuka mata dunia bahwa kombinasi antara letusan gunung api dan tsunami bisa menjadi ancaman yang sangat mematikan. Tsunami ini merupakan tsunami vulkanik yang terbesar dan berdampak paling luas yang pernah tercatat dalam sejarah.
James E Begét, peneliti dari Alaska Volcano Observatory (2000), menyebutkan, dalam 250 tahun terakhir telah terjadi 90 tsunami yang diakibatkan gunung api, dan 25 persen di antaranya berdampak fatal terhadap kehidupan. Tsunami akibat gunung api yang tertua yang teridentifikasi terjadi saat letusan Gunung Santorini di Yunani pada 1638 sebelum Masehi. Kombinasi letusan gunung dan tsunami ini yang diduga menghancurkan peradaban Kreta.
Letusan Gunung Vesuvius di Italia pada tahun 79, yang mengubur Pompeii, juga disusul gelombang tsunami. Tsunami besar juga terjadi di Jepang, saat Gunung Unzen meletus pada tahun 1792. Tinggi gelombang yang diduga terjadi karena longsoran saat Gunung Unzen meletus diperkirakan mencapai 55 meter, dan menewaskan lebih dari 10.000 jiwa.
Gegar Prasetya, peneliti dari Amalgamated Solution and Research (ASR), lembaga penelitian di bidang tsunami dan bencana alam, mengatakan, terdapat 18 gunung api di Indonesia yang berpotensi menimbulkan tsunami jika meletus. Dari 18 gunung api itu, hanya tiga gunung api yang memiliki data rinci dan terpantau perkembangannya saat ini. Ketiga gunung itu adalah Anak Krakatau di Selat Sunda, yang menyebabkan tsunami saat meletus tahun 1883; Tambora di Sumbawa, saat meletus tahun 1815; dan Banda Api di Laut Banda.
Selain tiga gunung itu, beberapa gunung api yang diduga kuat pernah menyebabkan tsunami di masa lalu, di antaranya, adalah Rokatinda di Pulau Flores, yang meletus tahun 1928; Pulau Ruang pada 1889, Pulau Awu pada 1856 dan 1892, Pulau Gamkonora pada 1673, dan Pulau Gamalama pada 1871.
Gunung Api Makian di Halmahera, Karangetan di Sangihe, dan Una-Una di Teluk Tomini juga diduga kuat pernah menyebabkan tsunami. Selain itu, gu- nung api bawah laut di sekitar Pulau Weh juga pernah mengirim tsunami hingga ke Banda Aceh.
"Pengetahuan kita tentang tsunami yang diakibatkan letusan gunung api masih sangat sedikit karena kejadiannya sudah sangat lama dan sedikitnya catatan. Kebanyakan, pengetahuan itu berasal dari sedimen tsunami," kata Gegar.
Menurut Gegar, potensi bencana tsunami yang dipicu letusan gunung api di Indonesia cukup tinggi karena banyaknya pulau gunung api aktif atau gunung-gunung api yang tubuh gunungnya berada di lautan.
Pelajaran Krakatau
Belajar dari letusan Krakatau tahun 1883, tsunami yang terjadi menyusul letusan gunung api bisa lebih mematikan. Tinggi gelombang dan jangkauan tsunami akibat letusan gunung api juga tak kalah tinggi dibandingkan dengan jika tsunami disebabkan gempa tektonik. Tsunami Krakatau mencapai ketinggian 30-40 meter di sepanjang pantai barat Banten dan pantai selatan Lampung.
Ahli gunung api dari Pusat Survei Geologi, Sutikno Bronto, mengatakan, tsunami yang disebabkan letusan Krakatau tahun 1883 merupakan salah satu yang terbesar yang pernah diperbuat gunung api, sehingga para ahli berlomba untuk mengkaji penyebab terjadinya tsunami tersebut. "Mengapa 1883 menimbulkan tsunami dan banyak korban di Selat Sunda? Mengapa di Katimbang banyak orang meninggal dan luka bakar?" kata Sutikno.
Sejauh ini, para ahli belum bersepakat tentang penyebab munculnya tsunami pascaletusan Krakatau. ”Setidaknya ada lima hipotesis yang dibuat terkait bagaimana tsunami itu terjadi,” kata Sutikno.
Hipotesis pertama, tsunami tersebut disebabkan oleh runtuhan. Setelah material letusan dilontarkan ke atas, kemudian jatuh ke bawah. "Jatuhnya material ke laut inilah yang diduga membentuk tsunami," kata Sutikno.
Adapun hipotesis kedua menyebutkan, letusan Krakatau telah menyebabkan terjadinya cekungan di dalam laut. Air laut masuk mengisi ke dalam kaldera dan kemudian membalik ke luar menjadi gelombang tsunami. Pendukung teori ini di antaranya Yokoyama (1981).
Longsoran gunung api ke arah tertentu (debris avalanche) merupakan hipotesis ketiga. ”Saat meletus, material letusan keluar dari samping tubuh gunung sehingga menimbulkan longsoran yang menyebabkan tsunami,” kata Indyo Pratomo, ahli geologi dari Museum Geologi Bandung.
Hipotesis keempat, tsunami Krakatau disebabkan karena awan panas yang masuk ke bawah laut. Naiknya suhu air laut secara tiba-tiba akibat limpahan awan panas ini menyebabkan terjadinya perubahan tekanan sehingga memicu terjadinya gelombang tsunami.
Hipotesis kelima juga menyebutkan tsunami Krakatau disebabkan awan panas. Bedanya, awan panas tidak masuk ke dalam air, tetapi merambat di atas permukaan air laut. Rambatan awan panas inilah yang memicu gelombang tsunami. Pendapat ini didukung ahli kelautan dan gunung api dari Universitas Rhode Island, Amerika Serikat, Haraldur Sigurdsson dan Steven Carey.
"Hipotesis ini dikuatkan kesaksian warga Katimbang yang terbakar awan panas. Awan panas itu merambat di atas air laut, sambil merambat juga memicu tsunami," kata Sutikno.
Anak Krakatau
Walaupun masih jadi kontroversi, tsunami yang menerjang pasca-letusan Krakatau telah disepakati sebagai faktor pembunuh terbesar saat gunung ini meletus pada tahun 1883 dan menewaskan 36.000 jiwa. Melihat dinamika ini, tsunami merupakan faktor penting yang harus dilihat dalam memitigasi Anak Krakatau yang saat ini tumbuh cepat dan membentuk tubuh gunung menyerupai leluhurnya, Krakatau.
Anak Krakatau tumbuh di tengah bekas letusan Krakatau, 1883. Pada tahun 2008, diameter Anak Krakatau telah mencapai 4 kilometer dengan ketinggian 273 meter. Gegar pernah membuat simulasi letusan dan tsunami dengan skenario runtuhnya tubuh gunung guna melihat potensi terjadinya tsunami berdasarkan diameter dan ketinggian gunung saat itu.
Lewat simulasi itu, dalam waktu 45 menit sebagian besar gelombang telah mencapai pesisir di sekitar Selat Sunda dan masuk ke Laut Jawa. Gelombang paling tinggi sekitar 9 meter menimpa Ujung Kulon. Sementara di sepanjang Anyer, Carita, dan Labuan, ketinggian gelombang 4 meter hingga 7 meter. Gelombang pertama yang mencapai lokasi-lokasi tersebut dalam waktu 28-60 menit. Di pesisir Sumatera, ketinggian gelombang 1,5 meter hingga 4 meter dan gelombang pertama yang mencapai pantai dalam waktu 18-66 menit.
Dalam simulasi itu terlihat betapa ketinggian gelombang dan waktu tempuhnya, terutama di barat Jawa, berpotensi menghancurkan dan menelan korban jiwa. Mitigasi terhadap tsunami bagi penduduk di pesisir pantai sekitar Selat Sunda menjadi keharusan. Apalagi daerah-daerah tersebut kini padat permukiman dan kegiatan perekonomian warga.
Menurut Gegar, dalam sejarahnya, Gunung Krakatau kemungkinan sudah beberapa kali menimbulkan tsunami saat meletus. Catatan pujanngga Jawa, Rongowarsito, juga menyebutkan, sekitar tahun 416, Krakatau purba meletus hebat dan mengirim tsunami hingga jauh ke pedalaman Lampung dan Pulau Jawa.

Kumpulan Video lucu part 2

Orang buta dudukin sarang marmut









Kegiatan agen rahasia






Sedot lemak yang sangat berhasil







Boss selingkuh di kantor







Pikiran mesum duluan dehhh




Kumpulan Video lucu part 1

-  Kamera burung




-  Cewek nampak kolor -nya




-  Anak nakal tukang goda wanita




- Minum dari tempat sampah? alangkah enaknya




polisi salah tangkap Gan