Oleh : Dra.Made Sri Arwati
Dalam Upada  Sastra
Pengertian Caru :Caru, adalah  nama jenis upakara, banten atau sesajen yang dipergunakan dalam upacara  bhuta yadnya , caru ini mempunyai tingkatan lebih tinggi dari yadnya  sesa atau segehan . Kata Caru berarti Enak, Manis, Sangat menarik, bila  dihayati secara mendalam dari pengertian kata Enak, Manis, Sangat  menarik itu, terkandung kata harmonis, serasi atau seimbang yang dalam  bahasa Bali disebut “pangus atau adung”sehingga kemudian dapat  disimpulkan bahwa caru atau bhuta yadnya itu adalah yadnya dari manusia  untuk mewujudkan keharmonisan di alam semesta, yaitu antara bhuwana alit  dengan bhuana agung. 
Bhuta  Yadnya adalah salah satu bagian dari Panca Yadnya, Bhuta adalah kata  sansekerta yang berasal dari kata “Bhu” artinya menjadi, ada, makhluk  atau wujud. Kata bhuta merupakan bentuk pasif participle dari kata “bhu”  yang berarti telah diwujudkan, demikian selanjutnya dari kata “bhu”  lalu menjadi “bhuwana” atau “bhumi” yang berarti alam atau jagat maka  dari pengertian ini bhuta berarti unsur-unsur yang menjadikan alam  semesta ini, yang terdiri dari unsur-unsur panca maha bhuta; pratiwi,  apah, teja, wahyu dan akasa, semula unsur-unsur ini menurut ajaran  filsafat Hindu Samkhya , berasal dari Prakerti yang merupakan sebab atau  sumber utama semua obyek pisik termasuk pikiran , benda-benda dan  kehidupan.
Kata bhuta juga berarti gelap atau kegelapan, yaitu  gelap hati karena tidak melihat akibat salah satu unsure panca indra  dalam tubuh tidak berpungsi. Secara filosofis, bhuta adalah sesuatu  kekuatan negatif yang timbul dari adanya ketidak harmonisan antara  unsur-unsur panca maha bhuta, ketidak harmonisan ini menimbulkan  kekeruhan suasana, baik itu terjadi di bhuwana agung (alam semesta)  maupun di bhuwana alit (tubuh manusia), apabila unsure-unsur panca maha  bhuta itu harmonis akan menimbulkan kekuatan positif. Sebaliknya apabila  tidak harmonis menimbulkan kekuatan negative yang mengganggu  ketentraman hidup manusia, dan oleh manusia dipersonifikasikan sebagai  makhluk halus yang mengerikan, untuk menetralisir perlu keharmonisan itu  dijaga dengan mengadakan kurban suci berupa bhuta yadnya .
Secara  paedagogis (pendidikan), bhuta yadnya bermakna mendidik para umat Hindu  untuk tetap cinta terhadap alam, baik itu bhuwana agung maupun bhuwana  alit, karena pada hakikatnya semua itu merupakan ciptaan Hyang Widhi  Wasa, melalui bhuta yadnya memberikan tuntunan agar umat Hindu  senantiasa berorientasi kepada alam, agar dapat mengambil sesuatu  manfaatnya, karena alam merupakan sumber kehidupan manusia , yaitu  manusia hidup di alam dan dari alam 
Alam  merupakan subyek dan obyek bagi kelangsungan hidup manusia, maka alam  patut dijaga dan dipelihara keharmonisannya secara lahir dan batin  dengan beryadnya melalui suatu upacara, yang bermakna sebagai perwujudan  dan pencetusan rasa terima kasihnya manusia sebagai makhluk ciptaan  Hyang Widhi Wasa, yang berkewajiban untuk mengatur dan memelihara  kelestarian ala mini agar tetap lestari sepanjang masa.
Kehidupan  dan manusia tak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya,  karena merupakan saling ketergantungan. Seperti dinyatakan dalam Pustaka  Suci Bhagawadgita III tentang pentingnya yadnya pada sloka 10 (sepuluh)  yang artinya sebagai berikut ; Pada zaman dahulu kala Prajapati  menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda “ Dengan ini engkau akan  mengembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu “ 
Menghayati dan menyimak arti sloka tersebut diatas,  maka manusia sebagai makhluk ciptaan Hyang Widhi Wasa yang paling tinggi  tingkatannya dan utama keberadaannya, sudah sepatutnya melatih diri  dalam hidup bersama dan saling ketergantungan di bhuwana agung ini untuk  bersama sama berusaha mewujudkan keharmonisan atau saling bantu  membantu antara yang meminta dengan yang memberi, dan oleh manusia  dipersembahkan dengan banten caru yang juga lazim disebut dengan kata  tawur artinya bayar kembali.
Sarana tawur adalah terdiri atas apa  yang disukai atau di cintai, agar dapat terwujud secara harmonis atau  seimbang, sesuai dengan tuntunan pustaka suci Bhagawad Gita III sloka 11  (sebelas) artinya sebagai berikut; “Dengan ini kamu memelihara para  dewa dan dengan ini pula para dewa memelihara dirimu, jadi dengan saling  memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi  ".
Bila disimak secara mendalam uraian – uraian tersebut diatas,  maka dapat disimpulkan mengenai pengertian dari caru atau tawur itu  sebagai berikut : 
- Berpangkal dari  penciptaan dunia dengan segala isinya yang ada di muka bumi ini oleh  Hyang Whidi Wasa dengan yadnya, kemudian dinikmati oleh manusia untuk  sarana kehidupannya , maka manusia patut merasa berhutang budi kehadapan  Hyang Whidi Wasa, dan hal itu patut dibayar pula melalui yadnya.
 
- Yadnya merupakan tuntunan kepada manusia untuk  mengendalikan hawa nafsu melalui ikhlas berkorban dalam menciptakan  terjadinya keseimbangan di antara dua kekuatan (rwabhineda) antara  positif dan negativ melalui caru atau tawur. 
 
- Kedua kekuatan itu akan menguji kemampuan manusia dalam  kehidupannya , maka sebagai manusia atau makhluk yang paling utama dan  sempurna keadaannya serta berperan sebagai subyek dan obyek di bumi ini,  patut selalu memelihara dan menjaga keharmonisan alam itu secara lahir  dan batin. 
 
 
Mitologi  Caru
Seperti telah diungkap oleh beberapa pustaka suci  yang merupakan warisan budaya leluhur dalam beberapa rontal antara lain “  Purwa Bumi Kamulan “, menceritakan tentang penciptaan alam semesta oleh  Hyang widhi Wasa itu , berpangkal dari dua hal yang pokok , yaitu benda  dan energi (kekuatan) dilukiskan dalam bentuk Bhatari Uma (Durgha)  dalam lambang Pradana dan Panca Korsika, yaitu lima bersaudara yang  terdiri atas Korsika, Garga, Metri, Kurusya dan Pretenjala sebagai  lambang Purusha yang merupakan sumber dari kehidupan dan energi itu. 
Diantara keenam ciptaan Hyang Widhi Wasa itu, Bhatari  Uma dan Pretenjala (Siwa) yang merupakan sumber penciptaan isi alam  semesta ini , ciptaan-ciptaannya itu ada yang baik dan ada yang buruk  disebut rwabhineda , yaitu dua yang berbeda , yang baik bersifat ke alam  dewataan (dewa-dewa) dan yang buruk bersifat bhuta kala .
Setelah  yang baik-baik diciptakan , maka kemudian Bhatari Uma berubah rupa  menjadi Bhatari Durgha dan Bhatara Siwa juga berubah rupa menjadi  Bhatara Kala, lalu bersama-sama menciptakan segala jenis bhuta kala  dengan segala penyakit serta godaan-godaan yang ditimbulkan, sehingga di  alam semesta ini terjadilah ketidak harmonisan, yang paling dahulu  mengganggu ketentraman hidup manusia sebagai ciptaan Hyang Widhi Wasa  yang paling sempurna dan utama itu, agar berusaha mengatasi godaan bhuta  kala itu dengan menyelamatkan semuanya, karena manusia tak akan mampu  untuk hidup sendiri. 
Mengenai kekuatan-kekuatan  bhuta kala ini , kalau dikonkritkan dapat dilihat dalam kehidupan yang  nyata berupa gempa bumi, banjir, angin topan, halilintar dan lain  sejenisnya, yang kalau diselusuri dengan baik semua itu terjadi akibat  dari keserakahan dan kelalaian ulah perbuatan manusia itu sendiri, yang  ingin mengambil dan menikmati seluruh isi alam ini dengan seenaknya  saja, tanpa memperhitungkan dan mempertimbangkan untuk penjagaan dan  pemeliharaan keseimbangan atau keharmonisan itu.
Selain dari  sumber rontal tersebut diatas, juga ada yang menguraikan tentang  penciptaan alam semesta beserta isinya oleh dua kekuatan seperti terurai  di depan yang termuat pada pustaka rontal “Purwa Bumi Tua” dan “Purwa  Bhumi”, yang pada dasarnya tidak berbeda dari filsafat (tattwa) Samkhya  dan Wedanta, hanya saja di dalam rontal-rontal tentang penggambaran dari  kekuatan-kekuatan itu dilukiskan dalam wujud sebagai manusia atau  makhluk, yang dipakai oleh penterjemah atau pengawi agar lebih mudah  dapat dipahami oleh manusia untuk mempedomi , menghayati dan  mengamalkannya.
Diawali dari terjadinya kekacauan alam semesta di  bumi ini yang mengganggu ketentraman hidup yang lainnya akibat dari  godaan-godaan bhuta kala itu, Hyang Widhi Wasa juga telah menurunkan  Hyang Tri Murti, yaitu Korsika sebagai Dewa Iswara, Gargha sebagai Dewa  Brahma dan Kurusya sebagai Dewa Wisnu untuk membantu manusia agar bisa  selamat dari godaan-godaan para bhuta kala itu, Bhatara Iswara menuntun  dan mengajarkan manusia membuat sesajen-sesajen untuk  “penyucian”(menetralisir) pengaruh-pengaruh bhuta kala, sehingga  mulailah timbul banten “Caru”.
Hyang Tri Murti beliau berubah  rupa menjadi Pendeta yang mengajarkan dan mengantarkan permohonan  manusia untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan menuju pada  keharmonisan antara lahir dan batin, dalam pengamalannya beliau  bersama-sama dengan manusia menyucikan alam semesta ini dari gangguan  Bhatari Durgha dan Bhatara Kala serta para bhuta kala yang lainnya ,  melalui penyelenggaraan upacara bhuta yadnya.
Bhatara Kala dalam  rontal “Purwaka Bhumi” dilukiskan sebagai Yamaraja merupakan lukisan  dari kekuatan Bhatara Siwa sendiri sebagai sumber kekuatan alam semesta  dengan rupa sangat menakutkan, dengan demikian Bhatara Siwa sama dengan  Bhatara Kala dan sama dengan Yamadiraja didalam banten caru, Bhatari  Durgha dilambangkan dengan “babangkit” dan gaya utuhnya, oleh sebab itu  maka banten caru itu ditujukan kepada Bhatara Kala dan Bhatari Durgha  sebagai simbolis dari kekuatan alam semesta ini. 
Upacara  merupakan suatu rangkaian kegiatan manusia untuk berhubungan atau  mendekatkan dirinya dengan Hyang Widhi Wasa, karena Hyang Widhi Wasa  diyakini adalah merupakan asal dan tujuan akhir dari pada kehidupan  manusia, upacara adalah bentuk riil dari pelaksanaan-pelaksanaan agama  yang berupa aktivitas-aktivitas, dan semua agama di dunia ini mempunyai  upacara-upacara, karena upacara sebagai bukti bahwa agama yang dianutnya  itu adalah hidup dan dianut oleh umatnya sebagai perwujudan rasa bakti  dari karunia atau suweca-Nya Hyang Widhi Wasa terhadap umat  pendukungnya.
Asal Caru
Banten  Caru atau Tawur dalam upacara bhuta yadnya ditujukan ke hadapan Bhatari  Durgha dan Bhatara Kala (Siwa), dalam ajaran agama Hindu, Dewa Siwa  dikenal sebagai pusat atau sumber kekuatan dewa-dewa, perpaduan antara  Bhatari Durgha dengan Bhatara Kala dalam kehidupan ini, dapat  diibaratkan sebagai alam semesta dengan kekuatan – kekuatan alam dalam  bhuwana agung, atau tubuh dengan jiwa dalam makhluk hidup (manusia atau  bhuwana alit), oleh sebab itu, maka hanya Bhatara Kala sajalah yang bisa  mengatur kekuatan-kekuatan beliau sendiri agar saktinya (Bhatari  Durgha) itu tidak membahayakan manusia .
Secara ilmiah,  benda-benda di dunia ini tidak akan membahayakan atau menguntungkan bagi  manusia sebelum benda itu mempunyai kekuatan, kekuatan-kekuatan inilah  kemudian yang dilukiskan dalam wujud Bhatara Kala (Siwa) sehingga  manusia menjadi tergoda pikirannya untuk berbuat lebih banyak meminta  dan memakai dan sedikit memberikan kepada alam sekitarnya sehingga  timbulah ketidak harmonisan itu. 
Agar kekuatan  suatu benda dapat harmonis , maka perlu diatur kekuatan yang berlebihan  yang terdapat pada suatu benda hendaknya dikurangi dan pada kekuatan  yang kurang patut ditambahi, melalui upacara yadnya (kurban suci) yang  diwujudkan dengan banten caru (tawur), pada waktu Bhatari Durgha  menciptakan bhuta kala bertempat di perempatan jalan (catus pata).
Dalam  banten caru yang memegang peranan penting adalah simbol dan warna ,  sebab itu dalam segala jenis dan kurban caru diusahakan memenuhi lima  warna sesuai dengan warna pengider-ideran bhuwana, putih =timur, barak  /merah = selatan, kuning = barat, hitam / selem = utara dan brumbun =  tengah, selain jenis warna, yang diutamakan juga dalam banten caru  sangat tergantung pada jenis kurban yang dipakai, bila dihayati secara  mendalam dalam meneliti banten caru itu, rupanya mengambil sumber dari  Itihasa Mahabharata antara lain :
Ceritra Sudamala, dalam ceritra  ini dilukiskan bahwa Sahadewa puteranya Dewi Kunti dipersembahkan ke  hadapan Dewi Durgha untuk dijadikan kurban penyupatan (penyucian) Panca  Korsika, begitupula dengan ceritra “gugurnya Duryadana ,, saat Duryadana  berada dalam keadaan luka-luka hingga tak dapat berjalan, akibat  pahanya yang patah dipukul oleh Bima , Bhagawan Krepa dan Aswatama  sangat kasihan melihat Duryadana dalam keadaan seperti itu , dan baru  akan bisa gugur jika sudah mendapatkan kurban berupa lima buah kepala  dari Panca Kumara, yaitu lima orang anak dari Panca Pandawa .Itulah  sebabnya kemudian Sang Aswatama berusaha mencarikan lima kepala Panca  Kumara dengan membunuhnya saat sedang tidur dan kebetulan sedang  ditinggalkan pergi oleh orang tuanya Sang Panca Pandawa.
Bila  dihayati secara mendalam, rupanya ceritra gugurnya Duryadana ini  merupakan asal dari Caru Pancasata, sebab itu dipakai lima orang  putera-putera Panca Pandawa , bila disimak secara mendalam dari  penghayatan itu, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang sepatutnya  menjadi kurban itu adalah anaknya manusia, tetapi karena caru itu  kemudian dikorbankan oleh manusia , rupanya kurban caru itu bisa diganti  dengan binatang .
Jadi dalam sarana upakara / banten caru itu  korbannya diganti dengan binatang , dan untuk membuktikan bahwa  semestinya kurban caru itu adalah manusia, dengan dipergunakannya sarana  "sengkwi wong-wongan", yaitu berupa anyam-anyaman dari daun kelapa  sebagai gambaran dari kerangka manusia yang dipergunakan sebagai alas /  dasar banten pada binatang kurban yang dipakai caru, binatang yang  dijadikan kurban tidak boleh sembarangan, adalah binatang-binatang  piaraan, yang sudah menjadi anggota keluarga dari manusia dalam  hidupnya, sehingga sudah dihinggapi dengan rasa kasih sayangnya, kurban  ini selain berdasarkan kasih sayang, juga sebagai tanda bukti  kesungguhan hati manusia untuk berkorban atau beryadnya dan pada umumnya  yang dipakai adalah yang masih tergolong muda (sedang disayangi oleh  pemiliknya serta belum ternoda).