Sejarah Pura Lempuyang Luhur
Ada beberapa versi yang menyebutkan tentang keberadaan dan sejarah
Pura Lempuyang Luhur, nama Lempuyang berasal dari kata “lampu” yang
artinya sinar dan “hyang” berarti sebutan untuk Tuhan, sehingga berarti
sinar suci tuhan yang terang benderang, seperti juga letaknya pada sisi
Timur pulau Bali yang mana awal dari matahari terbit yang memberikan
penerang bagi kehidupan di bumi, sesuai dengan Pura Sad Kahyangan di
Bali, posisi sebelah Timur adalah Dewa Iswara dengan senjata Bajra,
simbol warna putih dalam bentuk sinar untuk memberikan penerangan.
Asal-usul nama Lempuyang ada yang menyebutkan kalau lempuyang adalah
jenis tanaman yang digunakan untuk bahan atau bumbu memasak, hal
tersebut terkait juga dengan nama-nama banjar (dusun) yang ada di
sekitar Pura Luhur Lempuyang menggunakan nama jenis tanaman tersebut
seperti Bajar Gamongan dan Bangle. Ada yang menyebut juga sejarah nama
Lempuyang berasal dari kata “empu” atau memomong yang diartikan menjaga,
dan itu berkaitan dengan sumber yang menyebutkan bahwa Hyang Pasupati
mengutus ketiga putra beliau untuk menjaga Bali Dwipa dari segala
guncangan dan bencana alam, sehingga pulau Bali tersebut bisa stabil.
Sejarah tentang keberadaan Pura Lempuyang Luhur ini, seperti dikutip
dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul, yang disebutkan; bahwa
Sang Hyang Parameswara atau Sang Hyang Pasupati membawa potongan Gunung
Mahameru dari Jambhu Dwipa (India), kemudian potongan puncak Gunung
Mahameru dibagi menjadi 3 buah bagian besar dan juga bagian-bagian kecil
lainnya, tiga bagian besar tersebut puncaknya menjadi Gunung Agung,
bagian tengahnya menjadi Gunung Batur dan Gunung Rinjani di Lombok.
kemudian bagian-bagian kecil dari Gunung Mahameru tersebut menjadi
gunung Lempuyang, Gunung Tapsahi, Siladnyana, Pengelengan, Beratan,
Nagaloka, Batukaru, Pulaki, Bukit Rangda, Puncak Sangkur, Teratai Bang,
Andhakasa, Padang Dawa, Seraya dan Uluwatu.
Dalam lontar tersebut juga dinyatakan bahwa Sang Hyang Parameswara
menugaskan putra beliau yaitu Sang Hyang Agni Jaya Sakti turun ke Bali
dengan tujuan untuk menjaga kesejahteraan Bali, kemudian Sang Hyang Agni
Jaya Sakti berstana di Pura Luhur Lempuyang, berikut juga dengan
dewa-dewa yang lain. Pura Lempuyang luhur memang memiliki status penting
akan keberadaan pura di Bali sama seperti keberadaan pura Besakih.
Lontar Bali kuno juga menyatakan tiga buah pura besar di Bali tersebut
adalah pura Besakih, Ulun Danu Batur dan pura Lempuyang.
Jadi Pura Luhur Lempuyang adalah tempat persembahyangan seluruh umat
Hindu di Bali apapun kasta, warna atupun keturunan orang tersebut,
sepanjang mereka adalah umat Hindu. Karena itu orang Hindu Bali tidak
boleh lupa akan keberadaan Pura Lempuyang Luhur, sesuai dengan bhisama
Sang Hyang Agni Jaya yang tertulis dalam lontar Brahmanda Purana, wajib
minimal dalam sekali seumur hidup untuk bisa sembahyang di Pura
Lempuyang Luhur ini. Jro mangku pengempon Pura Lempuyang Luhur juga
mengatakan bagi mereka yang ingin mulai belajar ilmu pengetahuan,
apalagi tentang kerohaniawan agama Hindu akan baik sekali untuk
sembahyang dan mohon restu di Pura Lempuyang Luhur.
Pengemong dari Pura Lempuyang Luhur adalah krama Pemaksan desa Purayu
dan Jumenang. Di pura ini ada tirtha Pingit yang berasal dari air suci
dari dalam batang pohon bambu. Untuk mereka yang melakukan
upacara-upacara besar, mereka nunas (memohon) tirta Pingit tersebut di
Pura Lempuyang Luhur.
Akses atau jalur menuju Pura Lempuyang Luhur
Pura Lempuyang Luhur, berada di puncak gunung Lempuyang terdapat
banyak pura di kawasan Gunung Lempuyang tersebut. Pada saat anda menuju
atau menapaki jalan menuju puncak, maka anda akan bertemu sejumlah pura,
sesuai jalur atau rute searah yang anda lalui. Ada 4 jalur atau rute
menuju Pura Lempuyang Luhur. Rute yang populer adalah dari desa Purwayu
yang mana pada jalur ini ada juga pura Penataran Agung Lempuyang yang
menjadi salah satu objek wisata populer di wilayah Karangasem yang juga
dikenal sebagai “the Gate of Heaven” karena keindahan pemandangan alam
dari pura tersebut.
Setelah pura Penataran Agung Lempuyang, pura Telaga Mas, dan dari
pura Telaga Mas ini anda akan menapaki sekitar 1.750 anak tangga, ketemu
dengan Pura Pasar Agung Lempuyang baru terakhir Pura Lempuyang Luhur.
Akses jalan lainnya bisa juga dari Br. Batu Gunung, Desa Bukit melewati
Pura Angrekasari, melewati lokasi Tirta Suniamerta, kemudian Tirta
Jagasatru, Tirta Manik Ambengan, ketemu Pura Penataran Silawana
Hyangsari, Tirta Sudamala, Tirta Empul, Pura Windusari, Pura Pasar Agung
dan terakhir Pura Lempuyang Luhur.
Akses atau jalur yang ketiga jalur melalui Banjar Gamongan, melewati
Pura Lempuyang Madya, terus naik ke Pura Telaga Sawang, Pura Pasar Agung
baru kemudian Pura Lempuyang Luhur. Akses jalan ke-4 bisa melalui
Banjar Jumenang, desa Bukit, Karangasem melewati Pura Penataran Kenusut,
Pura Pasar Agung (penyawangan) dan naik ke Lempuyang Luhur. Anda bisa
memilih rute-rute yang diinginkan sesuai keperluan persembahyangan anda
di sejumlah pura yang akas dilewati. Dan juga bisa mempertimbangkan dan
membandingkan akses ke puncak dengan jarak yang lebih dekat.
Sejumlah pantangan atau Larangan di Pura Lempuyang Luhur
Sesuai dengan keyakinan umat dan juga arahan dari Jro Mangku, ada
beberapa hal penting yang perlu diperhatikan yang merupakan pantangan
ataupun larangan bagi mereka yang ingin bersembahyang ataupun hanya
wisata ke Pura Lempuyang Luhur, berikut infonya;
- Sarana persembahyangan tidak boleh menggunakan sarana pisang emas.
- Tidak boleh mengajak anak yang sedang menyusui atau yang belum tanggal gigi.
- Dilarang memakai perhiasan dari emas.
- Pantang berbicara kasar, tidak sopan dan bilang “lelah” atau “capek”.
- Larangan bagi mereka yang sedang haid dan cuntaka (ada keluarga meninggal).
- Pantangan membawa daging babi.
Demikian sejumlah pantangan dan larangan yang perlu diperhatikan,
jika hendak tangkil (datang) sembahyang ke Pura Lempuyang Luhur, dan
hendaknya sejak awal ada niat bersembahyang hati dan pikiran kemudian
perkataan dan perbuatan harus disucikan, agar semua berjalan dengan baik
dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Sumber