Rabu, 07 September 2011
manfaat Tri Sandya
September 07, 2011
Ada dua alasan untuk kembali mengedepankan masalah Tri Sandya. Pertama, masih banyak umat Hindu yang belum memahami arti dan manfaat ber-Tri Sandya. Kedua, ketetapan Maha Sabha VI tahun 1991 menugaskan kepada pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat untuk menyebarluaskan teks Tri Sandya yang telah disempurnakan itu. Tri Sandya berasal dari kata Tri dan Sandya, Tri berarti tiga. Sandya berasal dari urat kata sam dan dhi. Sam berarti berkumpul, baik, sempurna, dan dhi berarti pikiran. Jadi Sandya berarti memusatkan pikiran kepada Tuhan. Sandya dapat pula diartikan berkonsentrasi secara sungguh-sungguh dan sempurna kepada Tuhan.
Untuk memusatkan pikiran kepada Tuhan tugas kita adalah mengendalikan kewajiban. Dan, agar proses pengendalian ini berhasil, kita harus mengatasi hambatan yang ditimbulkan oleh Tri Guna (sattwa, rajas, tamas). Kita harus sekuat mungkin bertahan dari tarikan dan desakan alami Tri Guna dengan jalan berserah kepada-Nya. Inilah kewajiban kita yang pertama dalam perjuangan mendekatkan diri dengan Tuhan.
Harus diyakini bahwa Tuhan adalah Mahasempuma. Maka unntuk mencapaiNya kita harus mendasari diri dengan kepercayaan yang sempurna pula. Bila tidak, maka kekuatan yang mengikat kita dengan Tuhan tidak dapat berkembang. Kita harus memiliki bhakti (cinta kasih) kepada Tuhan secara sungguh-sungguh agar kita dianugrahi asih-Nya. Keragu-raguan, hanyalah akan merusak azas hubungan asih dan bhakti serta menjauhkan kita dari Tuhan.
Mendekat atau duduk dekat dengan Tuhan disebut upasana atau upasthana. Tetapi jangan keliru, sebab duduk dekat atau berdekatan saja tidak cukup. Katak duduk dekat dengan bunga teratai tetapi tak bisa menikmati manisnya madu bunga teratai. Hanya merasa dekat saja tak ada gunanya, apabila tidak ada bhakti menyertainya. Sama halnya saat bersembahyang, boleh saja kita duduk dekat sekali dengan Padmasana. Akan tetapi apabila tak ada rasa bhakti yang mendalam, kedekatan phisik itu tidak berarti apa-apa bagi kemajuan hidup rohani kita. Jadi bersamaan dengan dekatnya phisik harus disertai dengan dekatnya bathin kita kepada Tuhan,
Untuk lebih mengerti makna dekat dan bhakti pada Tuhan menarik untuk disimak contoh pembanding dalam kehidupan sehari-hari berikut.
Kalau kita bergerak ke arah matahari, maka bayangan akan berada di belakang dan mengikuti kita. Tetapi kalau kita bergerak sebaliknya maka bayangan akan jatuh di depan kita. Begitulah halnya apabila kita menghadap Tuhan, segala kegelapan alam akan ada di belakang mengikuti kita. Tetapi kalau kita membelakangi Tuhan maka kegelapan, kebodohan, yang menuntun jalan hidup kita.
Hal penting yang dapat kita simpulkan dari dari contoh-contoh di atas adalah bahwa dalam setiap keadaan suatu sifat bisa bergeser dan digantikan oleh sifat yang lain. Begitulah kalau kita dekat dan bhakti kepada Tuhan, sifat buruk yang ada pada diri kita akan hapus dan berganti dengan sifat-sifat ketuhanan.
Dalam Bhagavadgita (BG), II.45 Krishna mengajarkan kepada Arjuna agar membebaskan diri dari Tri Guna, juga dari dualisme dengan memusatkan pikiran kepada kesucian dan melepaskan diri dari ikatan duniawi sehingga bisa bersatu dengan Atman.
Disitu dengan tegas tersirat bahwa kita harus membebaskan diri dari pengarnh sattwa, rajas, tamas dan pengaruh sifat ganda yaitu susah dan senang, puji dan maki dengan cara memusatkan pikiran kepada kesucian (Tuhan).
Saat-saat Untuk Mendekat dan Berbhakti
Sudah merupakan hukum alam bahwa, pagi hari adalah periode sifat sattwik, tengah hari adalah sifat rajasik, dan sore hari atau senja merupakan periode tamasik.
Waktu fajar menyingsing (abang wetan) pikiran dibangunkan dari kegelapan tidur, pikiran dibebaskan dari keresahan dan kemurungan sehingga pikiran menjadi tenang dan jernih. ltulah sebabnya kita diperintahkan agar melakukan Pratah Sandya atau doa Sandya yang dilakukan pada dini hari. Sementara hari bertambah siang kita dirasuki oleh raja guna yakni sifat aktif, ambisi, lincah penuh usaha, dan kita memasuki lapangan kegiatan atau kerja keras. Sebelum makan siang kita diberi petunjuk agar bersembahyang lagi kepada Tuhan dan mempersembahkan pekerjaan beserta hasilnya yang kita peroleh dari pekerjaan itu. Setelah itu baru boleh makan dengan bersyukur atas karunia-Nya. Inilah yang dimaksudkan dengan madhyannikam atau pemujaan pada tengah hari. Dengan melakukan madyannikam ini raja guna dapat dikendalikan.
Sifat ketiga yang menguasai manusia adalah tamas. Ketika matahari terbenam kita bergegas pulang makan, kemudian mengantuk dan tidur. Makan dan tidur adalah kebiasaan para pemalas dan penganggur. Ketika tamas yaitu, sifat terburuk di antara ketiga sifat itu hendak menguasai kita, maka cara terbaik untuk menghindari lilitannya adalah dengan cara bersembahyang, berkumpul dengan sesama bhakta dengan mengagungkan Tuhan, dan membaca buku yang mengagungkan kebesaran-Nya. Ini merupakan sembahyang pada petang hari yang disebut Sandya Vandanam yang juga sudah ditentukan.
Karena itu pikiran dan perasaan yang bangkit dari kekosongan pada waktu tidur harus dilatih dan dibina dengan semestinya. Kita harus berusaha belajar merasakan bahwa kebahagiaan setelah bersembahyang dan rasa suka cita yang diperoleh ketika kita mengalahkan pandangan dan pikiran dari dunia luar. Hal ini jauh lebih agung dan lebih lestari jika dibandingkan dengan kenikmatan yang diperoleh dengan jalan tidur seperti yang biasa dilakukan.
Para Rsi mengatakan bahwa orang yang sepanjang hidupnya menjalankan Sandya tiga kali sehari dengan tekun ia akan menjadi manusia utama. la selalu berjaya. Ia akan mencapai kebebasan semasih hidup. Ia akan mencapai Jivan Mukti.
“Dia yang mengabdi kepada-Ku sujud dengan kebaktian yoga, ia naik ke atas melampaui guna, ia wajar bersatu dengan Brah·man”. Begitu sabda Krishna kepada Arjuna dalam BG. XlV. 26.
Pengaruh Tri Guna Terhadap Jiwa
Tri Guna yang lahir dari prakerti selalu membelenggu atma.
Sifat sattwa yang mulia memberikan cahaya, serta kesehatan membelenggu atma dengan ikatan kebahagiaan dan ilmu pengetahuan (BG. XIV 6).
Sifat rajas yang bernafsu, menjadi sumber kehausan dan keinginan akan hidup membelenggu atma dengan ikatan kerja (BG.XIV 7).
Sifat tamas yang terlahir dari ketidaktahuan membelenggu penghuni badan (atma) dengan ketololan, kemalasan dan kepalsuan (BG. XIV 8).
Sifat sattwa mengikat seseorang dengan kebahagiaan, rajas dengan kegiatan (kerja bernafsu) dan tamas mengikuti budi pekerti yang mengikatnya dengan kebingungan (BG. XIV 9).
Ketiga sifat ini ada pada tiap manusia hanya saja tingkatannya berbeda satu dengan yang lain. Setiap orang tidak dapat melepaskan diri dari Tri Guna tersebut, biasanya salah satu dari sifat itu menonjol melebihi yang lain. Bagaimana kalau sattwa berkuasa? Bagaimana kalau manusia dikuasai oleh rajas? Dan bagaimana pula kalau sifat tamas menguasai manusia?
Jawabannya, apabila sattwa berkuasa cahaya ilmu pengetahuan menembusi semua pintu gerbang badan (BG. XlV. 11).
Apabila rajas berkuasa maka orang menjadi serakah, giat dalam usaha, gelisah, hawa nafsu merajalela (BG.XIV. 12).
Apabila tamas menguasai manusia maka kegelapan, kelesuan, ketololan, dan kekacauan pikiran timbul (BG. XIV 13).
Dari ketiganya, sifat sattwa-lah yang terbaik. Tetapi lebih tinggi dari sifat baik itu adalah jika kita dapat melampaui Tri Guna menjadi Guna Tita (orang sadhu).
Nah, melakukan Tri Sandya tidak lain maksudnya adalah untuk memperkecil pengaruh Tri Guna itu kepada jiwa kita. Yang perlu diperhatikan adalah agar Sandya itu jangan dianggap sebagai upacara rutin.
Sandya harus dilakukan dengan memahami artinya dan memusatkan pikiran pada maknanya yang terpendam. Apalagi dalam mantram Tri Sandya itu terkandung ibu dari segala mantra, yaitu Gayatri.
Menurut Abinach Chandra Bose dalam bukunya Panggilan Weda, “Suatu sebab mengapa Gayatri dipandang doa yang mewakili semuanya di dalam Weda ialah karena Gayatri adalah doa untuk daya kekuatan yang dapat dimiliki orang ialah “dhi” yaitu kecerdasan yang tinggi yang memberikan padanya pengetahuan, materi dan kemampuan mengatasi hal-hal keduniawian. Sebagai halnya mata bagi badan, demikian “dhi” atau kecerdasan untuk pikiran”.
Manu menekankan hal ini secara khusus. la mengata-kan Gayatri merupakan nafas kehidupan para Brahmin. Ini adalah kebenaran.
Apakah yang lebih berguna untuk kemajuan spiritual kita selain bersembahyang atau bermeditasi kepada Tuhan yang menerangi dan memelihara akal budi manusia? Adalah yang lebih bermanfaat dari doa yang memohon agar pikiran kita diselamatkan dari kecendrungan dosa?
Bagi manusia tidak ada perisai yang lebih ampuh daripada mengembangkan sifat-sifat yang baik. Gayatri menganugrahkan kekuatan batin untuk membantu mengembangkan tenaga tersebut, maka doa ini harus dilakukan dengan cermat pada saat yang tepat. Untuk pertumbuhan tubuh, makanan yang murni dan sattwik sangat diperlukan. Demikian pula kecemerlangan matahari harus didapatkan dan diserap untuk memperkuat cahaya batin manusia dalam bentuk imajinasi yang kreatif. Bila kekuatanj jiwa bertambah. daya pengertian dan pertimbanganpun menjadi lebih aktif terarah pada jalur-jalur yang bermanfaat. Bila kekuatan berkurang maka daya pengertian dan pertimbangan melemah dan membuat kita kecewa. Jadi apabila tenaga matahari diserap pada waktu yang tepat, ia akan seperti benih yang ditanam pada musim yang tepat dan hasil panennya pun terjamin. Teknik proses ini telah ditetapkan oleh para Rsi zaman dahulu demi kebaikan semua peminat spiritual. Kalau kita mau mempelajari dan mempraktekkan pesan para Rsi tentu kita akzr kebenaran jalan yang ditempuh para Rsi melalui pengalaman kita sendiri. Karena itu marilah kita mengaktifkan untuk ber-Tri Sandya agar kita dapat menyeberangi kehidupan dengan selamat.
Tiga Kerangka Agama Hindu
September 07, 2011
Mengutip artikel berikut, Agama Hindu memiliki tri kerangka yaitu:
1. Tatwa
2. Susila
3. Upacara.
Ketiga kerangka Agama Hindu diatas harus diwujudkan secara nyata
dalam kehidupan sehari-hari oleh umat Hindu, karena menjadi satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Jika dalam kehidupan sehari-hari hanya
menonjolkan hanya salah satu diantara ketiga diatas akan dapat
memunculkan sifat-sifat negatif.
1. Tatwa (filsafat) tanpa susila =muncul sifat munafik, sombong, dan angkuh.
2. Susila tanpa upacara (dalam arti luas) = muncul rasa fanatik.
3. Upacara tanpa didasari tatwa dan susila= muncul sifat dogmatis.
Tiga kerangka Agama Hindu diatas mirip dengan Tiga sifat manusia indonesia yang di anugerahkan TUHAN YME yaitu :
1. Jujur
2. Cerdas
3. Ingin jadi pejabat (legislatif, eksekutif, yudikatif, sipil,militer) disingkat pejabat
2. Cerdas
3. Ingin jadi pejabat (legislatif, eksekutif, yudikatif, sipil,militer) disingkat pejabat
Namun sayangnya TUHAN YME hanya mengizinkan setiap Manusia
Indonesia memiliki 2 saja dari 3 anugerah tersebut sehingga Manusia
Indonesia terdiri dari 3 golongan :
1. Pejabat dan Jujur maka dapat dipastikan dia tidak cerdas
2. Pejabat dan Cerdas maka dapat dipastikan dia tidak jujur
3. Jujur dan Cerdas maka dapat dipastikan dia bukan pejabat
2. Pejabat dan Cerdas maka dapat dipastikan dia tidak jujur
3. Jujur dan Cerdas maka dapat dipastikan dia bukan pejabat
Agama Hindu mesti Dihayati Utuh
Agama Hindu mesti dihayati secara utuh. Artinya, agama tidak hanya
dihayati, direnungkan, dan dicamkan. Tetapi mesti diwujudkan dalam
perilaku sehari-hari. Agama bukan hanya diomongkan melainkan
dilaksanakan dengan penuh keyakinan yang bermuara pada logika dan rasa
batin (atmanastuti) .
Karena itu, dalam agama yang dipentingkan adalah kesucian batin.
Agama Hindu memiliki tri kerangka yaitu tatwa, susila dan upacara. Ini
pun mesti diwujudkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, karena
menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jika hanya menonjolkan tatwa
(filsafat) tanpa diwujudkan dengan susila akan dapat memunculkan
sifat-sifat munafik, sombong, dan angkuh. Jika hanya menonjolkan susila
tanpa upacara (dalam arti luas), dapat menimbulkan rasa fanatik. Apabila
menonjolkan upacara saja tanpa didasari tatwa dan susila, akan bisa
bersifat dogmatis.
Sembahyang sebelum berhubungan badan
September 07, 2011
Kesucian dalam berhubungan sex, banyak diatur dalam Manawa Dharmasastra, dll. :
1. Hubungan sex dalam Hindu tidak semata-mata “for fun” tetapi yang
lebih utama adalah untuk mendapat keturunan yang disebut sebagai “dharma
sampati” Dengan demikian sex di luar nikah, menurut Hindu adalah dosa,
termasuk “paradara” dalam trikaya parisuda (kayika).
2. Hubungan sex antara Suami /Istri agar dilakukan secara sakral :
a. Membersihkan badan/mandi terlebih dahulu
b. Sembahyang mohon restu Dewa-Dewi Smara Ratih
c. Hubungan sex jangan dilakukan :
- ketika sedang marah, mabuk, tidak sadar, sedih, takut, terlalu senang.
- ketika wanita sedang haid
- waktu yang tidak tepat : siang kangin (fajar), bajeg surya (tengah hari), sandyakala (menjelang matahari terbenam), purnama, tilem, rerainan (hari raya), odalan, sedang melaksanakan upacara panca yadnya.
- jangan meniru “gaya binatang”, yang disebut “alangkahi akasa” (melangkahi angkasa)
- dalam berhubungan sex selalu berbentuk “lingga-yoni”
- ketika sedang marah, mabuk, tidak sadar, sedih, takut, terlalu senang.
- ketika wanita sedang haid
- waktu yang tidak tepat : siang kangin (fajar), bajeg surya (tengah hari), sandyakala (menjelang matahari terbenam), purnama, tilem, rerainan (hari raya), odalan, sedang melaksanakan upacara panca yadnya.
- jangan meniru “gaya binatang”, yang disebut “alangkahi akasa” (melangkahi angkasa)
- dalam berhubungan sex selalu berbentuk “lingga-yoni”
d. Kalau senang hubungan sex diiringi musik, pilih yang slow/tenang,
jangan lagu dangdut atau yang ribut/underground atau house- music,
apalagi gaya tripping. Makanya di Bali dahulu ada gambelan “semare
pegulingan” (artinya : asmara di tempat tidur) adalah jenis gambelan khas yang di tabuh di Puri-Puri disaat Raja sedang berintim ria dengan Permaisuri. Lama-lama menjadi ’semar pegulingan’ jangan salah arti, ada yang mengartikan ‘tualen gelalang-geliling’
pegulingan” (artinya : asmara di tempat tidur) adalah jenis gambelan khas yang di tabuh di Puri-Puri disaat Raja sedang berintim ria dengan Permaisuri. Lama-lama menjadi ’semar pegulingan’ jangan salah arti, ada yang mengartikan ‘tualen gelalang-geliling’
3. Bila hubungan sex dilaksanakan dengan patut sesuai swadharma kama
sutra, maka anak yang lahir mudah-mudahan berbudi pekerti yang baik,
menuruti nasihat ortu, rajin sembahyang, pintar, sehat, pandai bergaul
dan hidupnya sukses. Tetapi bila hubungan sex menyimpang, maka anak yang
lahir disebut anak “dia-diu” yakni : bandel, menyakiti hati ortu,
bodoh, jahat, banyak musuh, sulit hidupnya, sakit-sakitan.
Bhagawan Dwija
=====================================================
Asmaragama
Teori yang diambil dari kata ASMARA dan SENGGAMA,
bukan saja hanya sekedar memaparkan tehnik bercinta, tapi juga
menyediakan track untuk pemahaman seks yang benar, mulai dari merawat
rasa sampai mendapatkan kepuasan…
Ada 5 tahapan dalam asmaragama
Asmaranala
Cinta itu diyakini sebagai awal yang baik untuk memulai sebuah hubungan seks.
Dimana getaran yang muncul saat bertatapan jadi mutlak dimiliki, yang katanya ciuman pertama bukan dilakukan oleh bibir, melainkan mata…
Cinta itu diyakini sebagai awal yang baik untuk memulai sebuah hubungan seks.
Dimana getaran yang muncul saat bertatapan jadi mutlak dimiliki, yang katanya ciuman pertama bukan dilakukan oleh bibir, melainkan mata…
Asmaratura
Yang dimaksud adalah respek, tanpa respek tak akan terjalin hub seks yang sehat & dalam, respek akan menutup segala kekurangan yg ada dalam diri pasangan kita..
walau badan pasangan kita kurus kering ato hitah legam, dengan respek maka dia akan tetap indah di mata kita…
Yang dimaksud adalah respek, tanpa respek tak akan terjalin hub seks yang sehat & dalam, respek akan menutup segala kekurangan yg ada dalam diri pasangan kita..
walau badan pasangan kita kurus kering ato hitah legam, dengan respek maka dia akan tetap indah di mata kita…
Asmaraturida
Senda gurau yang mesra dianggap bisa jadi rangsangan pada pendengaran kita,
ya ga perlu ngelawak kaya jojon sih, cukup tentang hal2 lucu yang terjadi dikeseharian aja… Tujuannya …supaya rileks….
ya ga perlu ngelawak kaya jojon sih, cukup tentang hal2 lucu yang terjadi dikeseharian aja… Tujuannya …supaya rileks….
Asmaradana
Boleh dong belajar jadi penyair…ucapkan kata2 yang manis dan lembut ke telinga pasangan, ini sama aja dengan membelai hatinya…kalau selama ini cowo dikenal pinter ngrayu, sesekali kenapa gak cewe yg jadi perayu ulung….toh cowo juga seneng dirayu….
Boleh dong belajar jadi penyair…ucapkan kata2 yang manis dan lembut ke telinga pasangan, ini sama aja dengan membelai hatinya…kalau selama ini cowo dikenal pinter ngrayu, sesekali kenapa gak cewe yg jadi perayu ulung….toh cowo juga seneng dirayu….
Asmaratantra
ciman memang bisa jadi pematik gairah yang sangat dahsyat, makanya jangan lewatkan foreplay tanpa yang satu ini… taburkan ciuman di berbagai tempat ditubuhnya… coba deh cium bagian2 yang biasanya luput dari bibir….. hmmm pasti seru…!!!
ciman memang bisa jadi pematik gairah yang sangat dahsyat, makanya jangan lewatkan foreplay tanpa yang satu ini… taburkan ciuman di berbagai tempat ditubuhnya… coba deh cium bagian2 yang biasanya luput dari bibir….. hmmm pasti seru…!!!
Akhirnya…
Asamaragama
Puncak cinta kasih yang ditandai dengan aktivitas bercinta…
sebuah hubungan yang sangat dalam yang mampu menyatukan dua raga dalam satu jiwa…..
Puncak cinta kasih yang ditandai dengan aktivitas bercinta…
sebuah hubungan yang sangat dalam yang mampu menyatukan dua raga dalam satu jiwa…..
Asmaragama adalah filosofi hidup yang seyogyanya dimiliki setiap pasangan…
Kalo kamasutra lebih menitik beratkan pada berbagai posisi dalam bercinta, asmaragama lebih menitik beratkan pada soul dan perasaan yang harus dimiliki dalam bercinta…. yang tujuannya untuk membuat saat bercinta jadi momen yang penuh makna dan penghormatan, dimana kualitas sebuah hubungan dianggap jauh lebuh penting daripada kuantitasnya…
Kalo kamasutra lebih menitik beratkan pada berbagai posisi dalam bercinta, asmaragama lebih menitik beratkan pada soul dan perasaan yang harus dimiliki dalam bercinta…. yang tujuannya untuk membuat saat bercinta jadi momen yang penuh makna dan penghormatan, dimana kualitas sebuah hubungan dianggap jauh lebuh penting daripada kuantitasnya…
Asmaragama adalah suatu cara untuk menghayati kasih sayang, mempertinggi kualitas dan memperpanjang waktu bercinta…hmmm….
Demikian sekedar resep bagi kaum muda.
Sejarah Pura Goa Raja Besakih
September 07, 2011
Pura Goa Raja merupakan tempat pertemuan (Pesamuhan) “Sang Hyang Naga
Tiga” yakni tiga manifestasi Tuhan yakni “Sang Naga Anantaboga”, “Sang
Hyang Naga Basuki” dan “Sang Hyang Naga Taksaka” yang masing-masing
memiliki tempat tersendiri di komplek pura Besakih.
“Mereka bertemu di Pura Goa Raja untuk merencanakan dan menjaga
Bali,” tuturnya yang mengaku ungkapannya itu didasarkan atas
sumber-sumber tertulis sastra-agama Hindu dan tradisi lisan yang
berkembang di masyarakat.
Dalam lontar “Kusuma Dewa” diungkapkan tentang keberadaan Batara di
Buwana Agung (jagatraya) yakni Gunung Mahameru (Gunung Agung), gunung
tertinggi di Bali puncaknya menggapai angkasa, pangkal dasarnya menembus
tujuh lapisan bumi (Sapta Patala).
“Tempat itulah merupakan lokasi pertemuan para Dewata menciptakan
baik (ayu) dan buruk (ala) menjaga jagat raya Pulau Bali. Oleh sebab itu
jika Pura Besakih baik, Bali akan aman, tentram, damai dan sejahtera,”
tutur Mangku Pande Made Satra.
Leluhur masyarakat Bali dimasa lampau memahami kenyataan alam semesta
sebagai anugrah yang wajib disyukuri karena telah memberikan
kerahayuan, keselamatan dan kesejahteraan umat manusia.
Hingga kini masyarakat Bali tidak henti-hentinya mewujudkan rasa
bakti dan puji syukurnya kehadapan Tuhan Yang Maha Esa melalui upacara
keagamaan baik di Pura Besakih maupun di lambung Gunung Agung, dengan
harapan masyarakat Pulau Dewata selalu menemui keselamatan dan
kedamaian.
Rsi Markandya pada tahun 111 saka (189 masehi) menanam “Pancadhatu”
di komplek Pura Besakih hingga kini memberikan pelajaran berharga dan
amat penting bagi masyarakat setempat.
“Amat keliru bila mengabaikan Pura Besakih, termasuk Pura Goa Raja,
karena dari situlah pusat kerahayuan, keselamatan dan kesejahteraan
jagad Bali,” ungkap I Wayan Surpha, mantan Sekjen Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI) pusat, majelis tertinggi umat Hindu.
Perbaikan secara total terhadap Pura Goa Raja telah dilakukan tahun
2002 atau pemugaran yang ketiga dilakukan menyusul meletusnya Gunung
Agung tahun 1917, yang kemudian meletus lagi tahun 1963.
Sejarah
Sejarah
Pura Besakih dari segi historis terungkap melalui prasasti Purana dan
lontar menerangkan, sebagai tempat beristananya para Dewa yang
dimuliakan masyarakat Bali, sekaligus mempunyai arti penting bagi
kehidupan keagamaan umat Hindu.
Mempunyai fungsi paling penting diantara pura-pura lainnya yang ada.
Tempat suci itu memiliki peranan dan fungsi yang istimewa, antara lain
sebagai Pura “Rwa Bhineda”, “Sad Kahyangan”, “Padma Bhuana” dan pusat
dari segala kegiatan upacara keagamaan.
Perhatian terhadap pura Besakih dimulai dari pemerintahan Raja Sri
Udayana Warmadewa (tahun 1007), hingga pemerintahan Raja-raja keturunan
Sri Kresna Kepakisan (tahun 1444 dan 1454 Masehi).
Perhatian besar sang raja itu, dilanjutkan pada zaman penjajahan
Belanda di Indonesia, yang menaruh perhatian cukup besar, diwujudkan
dengan mengadakan restorasi secara besar-besaran terhadap beberapa
komplek bangunan suci yang rusak akibat bencana alam.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah melakukan perbaikan terhadap
beberapa bangunan fisik yang rusak, sekaligus menggelar rangkaian
upacara keagamaan.
Sejak tahun 1967, Pemprop Bali menyerahkan pengawasan dan
pemeliharaan Pura Besakih kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI),
majelis tertinggi umat Hindu yang kemudian dimandatkan kepada
“Prawartaka” Pura Besakih.
Namun, dalam kenyataannya Pemprop Bali bersama delapan Pemkab dan
Pemkot secara bergotong royong memperbaiki bangunan yang rusak maupun
mendukung pelaksanaan upacara keagamaan, selain peranserta masyarakat
luas secara aktif.
Agama dan Adat Hindu
September 07, 2011
Menurut agama hindu banyak sekali sumber sumber hukum yang dipakai sebagai rujukan dalam usaha mencari penyelesaian permasalahan yang dihadapi, sesuai dengan konteks-nya.
Manawa Darma sastra, Palasara sastra, dsbnya sedangkan yg tidak tertulis disebut dengan Loka dresta dan atmanastuti (yang merupakan mufakat yg terbaik merupkan bisamaorang banyak dilingkungan sekitarnya)
Ingat Hukum adalah merupakan produk jaman, sudah pasti hukum itu akan menyesuai kan diri sesuai dgn tuntutan jaman, oleh karena itulah undang undang (hukum itu) perlu adanya suatu revisi.
Berbeda dengan Veda-Wahyu sabda tuhan: tak pernah berawal dan berakhir selalu relevan sepanjang jaman.
1. Pengertian pawiwahan
Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain:
- Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
- Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut: ‘Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”(Subekti, 1985: 23).
- Wirjono Projodikoro, Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).
- Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan ( wiwaha) adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).
- Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan
kerabat, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula
menyangkut persoalan keagamaan Dengan terjadinya perkawinan, maka suami
istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus
silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum Adat tidak
semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami
istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina
kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan
hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan
pihak suami. Bukan itu saja menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan
tidak hanya menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan
leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu dalam setiap
upacara perkawinan yang dilaksanakan secara Adat mengunakan
sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka.
(Sumiarni, 2004:4). - Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV dijelaskan bahwa “perkawinan ialah ikatan sekala niskala (lahir bathin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaki rabi) “(Parisada Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).
KONSEP PEMBEBASAN DALAM HINDU
September 07, 2011
DALAM berbagai sastra suci Hindu, sudah diprediksi berbagai
ciri-ciri baik dan buruknya keadaan setiap zaman. Dari zaman Kerta,
Treta, Dwapara maupun zaman Kali. Misalnya ciri-ciri zaman Kali Yuga
seperti sekarang ini. Apa yang terjadi dewasa ini sudah dinyatakan
dengan sangat jelas dalam sastra suci Hindu ribuan tahun yang lalu.
Bagaimana cara mengatasi ciri negatif setiap zaman, juga sudah
diajarkan dalam berbagai sastra suci Hindu. Kalau benar-benar kita paham
dengan cara mengatasi keadaan setiap zaman itu, maka manusia pun akan
selalu dapat memperkecil akibat buruk dari keadaan negatif setiap zaman.
Misalnya keadaan zaman Kali dalam Manawa Dharmasastra dinyatakan bahwa
Dharma hanya berkaki satu sedang Adharma berkaki tiga. Ini artinya suara
ketidakbenaran jauh lebih kuat dari pada suara kebenaran (dharma).
Dalam kekawin Nitisastra juga sudah dikatakan bahwa yang paling
diutamakan pada zaman Kali adalah kekayaan. Dalam kekawin dinyatakan
srbgai berikut: Singgihyan tekaning yugaanta kali tan hana lewiha saking
mahadhana. Artinya: Sunguh kalau zaman Kali datang tidak ada yang lebih
utama dari kekayaan (harta benda). Karena itu zaman Kali ini
benar-benar nyata, uanglah yang paling berkuasa.
Karena itu, dewasa ini uanglah yang menjadi ajang perebutan
sesama manusia. Orang pun rela mengorbankan kehormatan dan harga dirinya
demi uang. Selanjutnya dinyatakan pula dalam kekawin Nitisastra bahwa
orang berilmu, para pemimpin, orang suci, orang kuat pengaruhnya
semuanya mengabdi kepada orang kaya. Dalam kekawin Nitisastra dinyatakan
sbb: Tan waktan guna suura Pandita Widagda pada mengayap ring
dhaneswara. Artinya: sungguh sulit diungkapkan, para ilmuwan, para
pemimpin, orang suci, orang kuat, semuanya menjadi abdi orang kaya.
Dalam sastra lainnya juga diungkapkan bahwa para penguasa tidak
lagi berderma kepada mereka yang miskin malahan disuap oleh orang yang
kaya. Pengusaha (Waisya) tidak lagi menghormati penguasa, karena memang
sudah tidak pantas lagi untuk dihormati. Para Brahmana enggan mentaati
ajaran kitab suci. Orang saling meninggi-ninggikan dirinya. Karena
pengaruh zaman Kali manusia menjadi kegila-gilaan, suka berkelahi
berebut kedudukan. Orang saling bermusuhan dengan saudaranya sendiri dan
mencari perlindungan pada musuh. Demikian antara lain ciri-ciri
negatifnya zaman Kali.
Di Bali pun ada beberapa sumber lontar yang menjelaskan keadaan
zaman Kali yang sangat mirip dengan bunyi sastra suci tersebut.
Misalnya Lontar Sangara Bumi, Yoga Sengara, Kali Yuga dam lainnya. Yang
patut direnungkan bagaimana manusia mencari pembebasan dirinya dari
pengaruh negatif zaman Kali itu untuk dapat hidup bahagia. Pertama-tama
yang patut dilakukan adalah memahami keadaan zaman Kali yang memang
seperti itu adanya.
Kita tidak perlu tegang apa lagi stres menghadap keadaan zaman
Kali seperti itu. Janganlah kita ingin melihat zaman Kerta pada zaman
Kali. Jangankan zaman Kerta, keadaan zaman Treta dan Dwaparapun tidak
mungkin kita jumpai pada zaman Kali.
Demikian juga jangan bermimpi keadaan di dunia fana ini seperti
keadaan di sorga sebagaimana diuraikan dalam berbagai kitab Sastra
Agama. Dengan cara berpikir seperti itu kita akan lebih tenang
menghadapi zaman Kali. Dari ketenangan itu, kadar kecerdasan dan kadar
spiritualitas akan lebih aktif menghasilkan gagasan-gagasan yang
benar-benar bijak untuk mengatasi setiap persoalan yang muncul di zaman
Kali ini. Selanjutnya untuk membebaskan diri kita dari pengaruh negatif
zaman Kali hendaknya kita taati apa yang diajarkan oleh kitab suci.
Sudah dinyatakan dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa cara beragama
zaman Kali adlah dengan cara lebih menekankan pada dana punia.
Tentunya cara-cara yang lainnya seperti bertapa, melakukan
upacara yadnya sebagai media untuk melakukan Jnyana, Karma dan Bhakti
tidak boleh dilupakan. Cuma beda penekanannya saja. Melakukan dana punia
itu tentunya harus dengan cerdas. Artinya ikutilah ajaran tentang
melakukan dana punia sebagaimana diajarkan oleh kitab-kitab sastra suci.
Misalnya dalam Bhagawad Gita XVII.20 yang menyatakan bahwa melakukan
dana punia itu hendaknya berpedoman pada ajaran Desa, Kala dan Patra.
Desa artinya disesuaikan dengan tradisi setempat yang sudah
berlaku baik dan diterima oleh masyarakat luas. Kala melakukan dana
punia itu disesuaikan dengan waktunya. Umumnya dianjurkan ber-dana punia
pada saat matahari Uttarayana. Ber-dana punia juga harus tepat kepada
orang yang disebut Patra. Patra artinya orang yang patut mendapatkan
dana punia. Bhagawad Gita menekankan bahwa yang patut dilakukan zaman
Kali adalah berbhakti pada Tuhan dan melayani sesama (Pujanam Sewanam).
Itulah yang patut dilakukan untuk mencapai pembebasan rohani pada zaman
Kali.
Pura Agung Kentel Gumi
September 07, 2011
“Tri Guna Pura” dengan Fungsi
“Penyegjeg Jagat”
PURA Agung Kentel gumi terletak di Desa Tusan,
Banjarangkan, Klungkung. Merupakan salah satu Pura kahyangan Jagat Bali,
sungsungan umat Hindu sebagai stana Ida Sang Hyang Reka Bhuwana. Pura
ini berfungsi sebagai tempat memohon kedegdegan jagat. Sebagaimana dipaparkan dalam lontar Raja Purana batur, Pura Agung Kentel Gumi merupakan Tri Guna Pura
(Kahyangan Tiga-nya Jagat Bali). Pura Batur/Tampurhyang sebagai Pura
Desa-nya (mohon kesuburan), Pura Kentel Gumi sebagai Puseh (Kedegdegan jagat) dan Pura Agung Besakih/Tohlangkir sebagai Dalem (kesucian sekala niskala).
Terkait catatan tentang Tri Guna Pura, ternyata bukan
ditemukan di Pura Agung Kentel Gumi, melainkan termuat dalam Raja
Purana Batur yang tersimpan di Pura Batur, Kintamani, Bangli.
Berdasarkan penelusuran tokoh agama dan pengurus PHDI bahwa Tri Guna
Pura ini sebelumnya nyaris tak ada yang tahu, sehingga Pura Kentel Gumi
seperti ikut terlupakan.
Terungkapnya fungsi Tri Guna Pura itulah yang menjadi salah satu
dorongan melakukan pemugaran Pura Kentel Gumi. Selain karena kondisi
fisik bangunan, memang banyak yang sudah keropos. Pemugaran, sedapat
mungkin dilakukan dengan mempertahankan “keaslian” pura — detail
pelinggih, tembok, serta corak dan ragam hias ukiran diupayakan semirip
mungkin dengan aslinya. Kalaupun ada tiruan, bahan dan garapan harus
ditiru dari dokumentasi berupa foto-foto Pura Kentel Gumi yang masih
tersimpan.
Pura Agung Kentel Gumi terdiri atas empat halaman utama. Utamaning Utama Mandala terdiri atas 23 pelinggih di antaranya Lingga Reka Bhuwana/Pancer Jagat, Meru Tumpang Solas
(pelinggih Ida Sanghyang Reka Bhuwana). Di sisi utara (kompleks
pelinggih Bathara Maspahit), terdiri atas enam pelinggih. Pelinggih
utama Gedong stana Bathara Maspahit. Di sisi selatan, kompleks pelinggih
Batara Masceti, terdapat 9 pelinggih, Gedong merupakan stana Batara
Masceti.
Utà ma Mandala – beda dengan utamaning utama mandala. Di sini terdapat sumanggen sebagai ciri utama. Ada juga perantenan suci, dengan ciri pelinggih Lumbung Agung/tempat penetegan. Sedangkan di Madya Mandala (tengah). Di sini terdapat empat pelinggih, salah satunya pelingguh Bale Agung, Gedong Sari stana Batari Saraswati. Nista Mandala (jaba sisi/luar). ada dua Padmasari.
Pelinggih-pelinggih itu bagian dan perluasan Pura
Agung Kentel Gumi, yang diawali Mpu Kuturan masa pemenintahan Raja Bali
Kuna dan dinasti Warmadewa yakni Raja Udayana Warmadewa dengan
permaisuri Putri Mahendradatta. Purana mencatat, setelah Mpu Kuturan,
Pura Kentel Gumi diperluas dengan pembangunan pelinggih, menyusul
berkuasanya Sri Haji Cili Kresna Kepakisan (bungsu Danghyang Soma
Kepakisan) yang diminta Mahapatih Gajah Mada/Majapahit menjadi adipati
Bali pasca kalahnya Raja Sri Tapolung di Bedahulu.
Dalam perjalanan menuju Bali, Dalem Cili Kresna Kepakisan tiba di Tusan. Dalem tahu keutamaan tempat suci/parahyangan
Kentel Gumi. Bersama pangiringnya, dipimpin Arya Kenceng dan warga,
dilakukan perbaikan membangun/menambah pelinggih. Di antaranya Meru
Tumpang Solas, Padmasana, Meru Tumpang Sia, Tumpang Pitu, Tumpang Lima,
Tumpang Telu dan pelinggih lainnya. Termasuk palinggih dasar sebagai
stana Ida Dewi Basundari.
Terlupakannya Tri Guna Pura Agung Kentel Gumi,
luput pula ingatan orang tentang salah satu aci (upacara) pokok yang
semestinya digelar di Pura Agung Kentel Gumi sesuai fungsinya sebagai
Pura Puseh Jagat, yakni Upacara Panyegjeg Jagat (upacara Reka Bhumi).
Tersurat dalam sastra — baik purana atau babad — upacara Panyegjeg Jagat
digelar ketika Raja Dalem Waturenggong bertahtha di Gelgel sekaligus
mengukuhkan Pura Kentel Gumi sebagai Tri Guna Pura. Selain Pura Besakih
dan Pura Batur.
Ketika Raja Dalem Waturenggong memerintah, Pulau Bali mencapai
kesejahteraan dan ketenteraman. Karena kewibawaan dan keberanian Raja
yang diabaratkan Sanghyang Hari Murti bentangan empat (Catur Bhuja). Raja Dalem Waturenggong menggelar yadnya di Khayangan Jagat, Eka Dasa Rudra di Besakih, Pancawali Krama di Batur dan Panyegjeg Jagat di Kentel Gumi. Itu yang kemudian dijadikan acuan digelarnya upacara Panyegjeg Jagat di Pura Kentel Gumi. Diperkirakan, sejak 548 tahun lalu upacara Penyegjeg Jagat tidak pernah digelar. Perkiraan itu dikarenakan Dalem Waturenggong naik tahta tahun 1460.
Sekilas Gunung Batur dan Pura Ulun Danu Batur
September 07, 2011
Paing Dungulan
adalah Purnama Kedasa. Sebagaimana biasa saat itu berlangsung upacara
besar di Pura Ulun Danu Batur. Desa Batur, Kintamani, Bangli. Pura Ulun
Danur Batur sebagai kahyangan jagat umat Hindu di Bali, dimulialan
sebagai stana Bhatara Wisnu. Sedangkan Bhatara Siwa di Besakih dan
Brahma di Lempuyang Luhur, Karangasem.
SEBAGAI
stana Bhatara Wisnu, yang dalam konsep masyarakat Batur terkenal dengan
sebutan Bhatari Dewi Danuh, Pura Ulun Danu memiliki historis yang
sangat menarik, baik berkembang secara turun-temurun sebagai cerita
rakyat yang hidup di Batur serta masyarakat pemuja di sekitarnya, maupun
sebagaimana termuat dalam beberapa babad.
Paling
tidak, sejarah Pura Ulun Danu Batur termuat dalam Babad Pasek yang
ditulis oleh Jro Mangku Gede Ketut Soebandi, Babad Pasek yang ditulis
oleh I Gusti Bagus Sugriwa, serta Babad Kayu Selem yang disalin oleh
Drs. Putu Budiastra, dkk. Bahkan sejarah pura ini juga termuat dalam
Raja Purana Pura Ulun Danu Batur I dan II yang disusun oleh Drs. I Putu
Budiastra, dkk. Sejarah dan terjadinya Gunung Batur serta Pura Ulun Danu
Batur dapat diuraikan sebagai berikut.
Zaman Bahari
Dalam
versi Babad Pasek dan Babad Kayu Selem, semula Pulau Bali dan
Selaparang masih menyatu dan terombang-ambing dihanyutkan arus samudera.
Waktu itu, Ida Bhatara Hyang Pasupati yang berstana di Puncak Gunung
Prabulingga (Gunung Semeru) merasa kasihan melihat kedua pulau tersebut
terombang-ambing. Beliau lantas mengutus tiga putranya yakni Bhatara
Hyang Geni Jaya, Bhatara Hyang Mahadewa, dan Bhatari Dewi Danu agar
menyusup ke Pulau Bali.
‘Nanda
bertiga, Geni Jaya, Putra Jaya (Mahadewa) dan Dwi Danuh hendaknya nanda
bertiga datang ke Pulau Bali agar pulau tersebut tidak
terombang-ambing,’ demikian sabda Hyang Pasupati. ‘Mohon maaf, nanda
ayahanda, nanda masih sangat muda dan belum berpengalaman,’ jawab ketiga
putranya. ‘Nanda jangan khawatir,’ tandas Hyang Pasupati. Begitulah,
akhirnya Hyang Pasupati memasukkan ketiga putranya ke dalam kelapa
gading, dan dihanyutkan lewat dasar laut. Secara gaib ketiganya tiba di
Gunung Agung, dan Beliau sepakat mencari tempat bersemayam. Bhatara
Hyang Geni Jaya memutuskan berstana di Gunung Lempuyang, Bhatara Putra
Jaya (Mahadewa) berstana di Gunung Agung dengan Pura Besakih, dan
Bhatari Dewi Danu memilih sebuah kubangan besar yakni Danau Batur dengan
Gunung Batur sebagai puncaknya.
Setelah
itu, Hyang Pasupati mengirim empat putra lainnya, seterusnya berstana
di Andakasa, Gunung Beratan (Pucak Mangu), Gunung Batukaru, dan Pejeng.
Sehingga bila dirunut secara historis, khususnya dari kajian babad,
seharusnya di Bali ada sapta kahyangan bukannya sad kahyangan.
Purana Tatwa Batur
Siapa
dan bagaimana Gunung Batur serta Beliau yang bersemayam di Pura Ulun
Danu Batur, tersirat pula dalam salah satu bagian: Raja Purana Pura Ulun
Danu Batur — Purana Tatwa. Begitu pula, uraian ini sangat populer di
sekitar pemuja Pura Ulun Danu Batur.
Kisahnya
adalah: Tersebutlah tiga putra Bhatara Indra yang berstana di Pura
Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar, bertanya pada kakeknya Hyang
Pasupati di Gunung Semeru. ‘Mohon maaf Kakek Bhatara, siapakah gerangan
ayahanda cucunda?’
‘Oh
kalau itu cucunda tanyakan, biar nanti bibi yang mengantar cucunda
menjumpai ayahanda’. ‘Nah nanda I Ratu Ayu Mas Membah (sebutan Bhatari
Dewi Danu), sekarang berangkatlah ke Tirta Empul antarkan kemenakan
nanda menghadap ayahandanya.’
Demikianlah
I Ratu Ayu Mas Membah berangkat ke Bali diiringi ketiga putra Bhatara
Indra serta I Ratu Ayu Arak Api. Tak terkisahkan di jalan ketiganya
telah tiba di stana Bhatara Indra di Tirta Empul, dan langsung menghadap
Bhatara Indra. ‘Oh dinda Dewi datang, siapa kiranya anak tampak ketiga
ini?’.
‘Oh
kanda tidak kenal, inilah ketiga putra kanda yang yang semula di Semeru
bersama ayahanda’. ‘Oh begitu, kemarilah Nanda bertiga maaf ayahanda
sudah tua, dan pandangan ayah sudah berkurang’.
‘Nah,
nanda yang tertua, ayah tak punya apa-apa, kiranya apa yang akan nanda
minta?’. ‘Mohon maaf ayahanda dan kiranya ada nanda memohon goa yang
besar serta air suci’. ‘Oh kalau itu, baiklah, kini ayah beri nama nanda
I Ratu Gede Gunung Agung, dan di sanalah nanda menetap di bekas tempat
ayah di pertengahan Gunung Agung, dan ini air suci, nanti beri nama
tirta Mas Manik Kusuma.’ Begitulah, beliau lantas berstana di sekitar
pertengahan Gunung Agung. Selanjutnya, ‘Nanda yang kedua I Gede Nengah,
apa yang nanda minta?’. ‘Hamba juga minta air suci’. ‘Nah nanda I Gede
Nengah tempatkanlah air suci ini di barat laut tempat ibunda, dan beri
nama tirta Mas Manik Mampeh. Letaknya di barat laut Danau Batur.’
‘Nah
nanda yang terkecil namun badannya terbesar apa yang nanda minta?’.
‘Nanda minta balai agung’. Beliau diberikan dan distanakan di Manukaya.
Lalu, Bhatara Indra meminta Mangku Pucangan agar mengantarkan I Ratu Ayu
Mas Membah menuju tempatnya. Beliau dijunjung menuju arah timur laut,
di suatu tempat. Karena kepayahan menjunjung I Ratu Ayu Mas Membah
istirahat sambil nafasnya ‘ah-ah, ah’, sehingga tempat itu disebut
Basang Ah.
Perjalanan
dilanjutkan dan tiba di Desa Pengotan. Saat itu penduduk sedang rapat.
Mangku Pucangan berkata: ‘Tuan berhenti sebentar bersidang, ini Paduka
datang’. Mereka tertawa karena melihat wujud Ida Bhatari layaknya ukiran
janur yang dijunjung oleh Mangku Pucangan. ‘Oh ha, ha, ha dimana ada
Bhatari, orang menjunjung sampyan (ukiran rontal) banyak capak’. Ida
Bhatari berkenan menunjukkan wajah aslinya dan berkata, ‘Nanti jika
kalian semua memuja kepada-Ku, masih di pintu gerbang akan diterbangkan
angin’. Begitulah yang terjadi sampai saat ini, biasanya sesaji warga
Pengotan, hancur di candi Pura Ulun Danu Batur.
Perjalanan
dilanjutkan. Sampai di Penelokan Mangku Pucangan melihat air payau
sangat luas dan Bhatari Ratu Ayu Mas Membah meminta mencari benang dan
bulu ayam. Benda tersebut dilemparkan ke tengah payau lalu benang
tersebut diikuti oleh Mangku Pucangan. Tepat di tengah air payau Beliau
berkata, ‘Sudahlah Mangku Pucangan tempatkan Aku di sini’.
Begitu
Beliau diturunkan, mendadak tempat ini makin tinggi terus menjadi
sebuah gunung tepat di tengah payau (danau). Gunung itu diberi nama
Gunung Tempur/ Tempuh Hyang. Artinya bekas pijakan kaki Ida Bhatari,
sehingga menjadi Gunung Tampur Hyang. Nama lain dari Gunung Tampur Hyang
adalah Gunung Lebah yang artinya sebuah gunung yang letaknya di dataran
rendah, serta Gunung Sinarata — yang diartikan oleh masyarakat Batur
‘gunung yang mendapat sinar matahari secara merata’.
Demikianlah
ceritanya, dan secara berkelanjutan akibat letusan Gunung Batur, mereka
berpindah ke atas, serta puranya bernama Pura Ulun Danu Batur yang
pujawalinya jatuh setiap Purnama Kedasa.
Pura Pucak Panulisan
September 07, 2011
Hawa
dingin menulang merajam tubuh siang itu, di kawasan Kintamani. Kabut
tipis mulai turun, menyaputi pepohonan. Seorang pengendara sepeda motor
menuju arah Tejakula, Buleleng Timur, berhenti di sebelah kanan jalan
menuju Desa Sukawana-Singaraja-Kintamani. Wanita yang dibonceng turun,
diam sejenak sebelum akhirnya menuju tempat suci di sebelah kanan jalan.
Itulah Pura Puncak Panulisan. “Kami terbiasa bila pulang ke Buleleng
lewat Kintamani, berhenti sejenak di sini,” tutur Luh Putu Agustini, ibu
dua putri dari Desa Pacung, Tejakula, itu.
Pura
Pucak Panulisan di Desa Sukawana, Kintamani, Bangli, memang kerap
disinggahi orang-orang. Tak sebatas orang Bali, juga tetamu asing yang
berkunjung ke Bali.
Tempat suci berjarak kira-kira 70 km dari Denpasar ini memiliki banyak sebutan. Ada menamakan Pura Panarajon, ada pula menamai Pura Tegeh Koripan. Karena letaknya di Bukit Panulisan, orang-orang pun kebanyakan menyebut Pura Pucak Panulisan.
Tempat suci berjarak kira-kira 70 km dari Denpasar ini memiliki banyak sebutan. Ada menamakan Pura Panarajon, ada pula menamai Pura Tegeh Koripan. Karena letaknya di Bukit Panulisan, orang-orang pun kebanyakan menyebut Pura Pucak Panulisan.
Secara
garis besar kompleks pura ini menghadap ke selatan, kecuali pura utama
yang mengarah ke barat. Pada halaman utama (jeroan) tersimpan
tinggalan-tinggalan dari masa prasejarah hingga Bali Kuno.
Berpijak dari struktur bangunan, pura ini menganut perpaduan dua konsep. Pertama dari masa megalitik yang tercermin lewat konsep Gunung Suci dan terealisasikan dari wujud bangunan teras piramida, bertingkat-tingkat. Konsep kedua tergambar dalam Sapta Loka, tampak dari struktur tingkatan pura, terdiri dari tujuh tingkatan teras utama yang dihubungkan anak-anak tangga. Pada tingkat ketiga yaitu pada tingkat Swah Loka, terdapat dua palinggih kecil, Pura Dana dan Pura Taman Dana. Pada tingkat keempat, di bagian Maya Loka, di sebelah timur jalan, ditempatkan Pura Ratu Penyarikan, dan di sebelah barat terdapat pemujaan keluarga Dadya Bujangga.
Tingkatan keenam, Tapa Loka, berdiri Pura Ratu Daha Tua. Adapun tingkatan ketujuh (Sunya Loka) merupakan pucak Pura Tegeh Koripan. Di sini ada palinggih pangaruman, piyasan, serta gedong sebagai tempat menyimpan benda-benda purbakala.
Berpijak dari struktur bangunan, pura ini menganut perpaduan dua konsep. Pertama dari masa megalitik yang tercermin lewat konsep Gunung Suci dan terealisasikan dari wujud bangunan teras piramida, bertingkat-tingkat. Konsep kedua tergambar dalam Sapta Loka, tampak dari struktur tingkatan pura, terdiri dari tujuh tingkatan teras utama yang dihubungkan anak-anak tangga. Pada tingkat ketiga yaitu pada tingkat Swah Loka, terdapat dua palinggih kecil, Pura Dana dan Pura Taman Dana. Pada tingkat keempat, di bagian Maya Loka, di sebelah timur jalan, ditempatkan Pura Ratu Penyarikan, dan di sebelah barat terdapat pemujaan keluarga Dadya Bujangga.
Tingkatan keenam, Tapa Loka, berdiri Pura Ratu Daha Tua. Adapun tingkatan ketujuh (Sunya Loka) merupakan pucak Pura Tegeh Koripan. Di sini ada palinggih pangaruman, piyasan, serta gedong sebagai tempat menyimpan benda-benda purbakala.
Belum
jelas, kapan sejatinya pura ini mulai dibangun. Tim Universitas Udayana
yang meneliti pura ini tahun 1992 tak mendapatkan kebenderangan sejarah
awal pendirian pura. Benda-benda purbakala yang tersimpan di sana tak
satu pun menjelaskan perihal sejarah awal pendirian pura ini, termasuk
nama Panarajon ataupun Koripan. Para peneliti hanya menyimpulkan
kesamaan kata pucak, tegeh, dan panarajon yang disebut berasal dari kata
tuju, berarti tinggi.
Prasasti
Sukawana A-1 berangka tahun 804 Saka (882 M) yang telah dibaca arkeolog
R Goris pun dinilai tak memberikan kepastian perihal Pura Pucak
Panulisan ini. Prasasti ini memang menyebutkan bahwa di Bukit Cintamani
(Kintamani) ada bangunan suci bernama Ulan kurang mendapat perhatian dan
sering dijadikan tempat persinggahan, peristirahatan anak atar (para
pengalu). Bangunan tersebut mendapat perhatian khusus penguasa Bali kala
itu, lalu ditugaskanlah Senapati Danda yang dijabat Kumpi Marodaya
dibantu beberapa bhiksu, yakni Siwakangcita, Siwanirmmala, dan
Siwaprajna membangun kembali tempat suci ini.
Dalam
buku Keadaan Pura-pura di Bali, Goris juga menyinggung kehadiran Pura
Pucak Panulisan. Ilmuwan Belanda yang meninggal di Bali ini menyebutkan
pusat kerajaan pada zaman Bali Kuna terletak di Bedulu, Pejeng. Sebagai
Pura Panataran sekaligus pemujaan awal terjadinya kehidupan di Bali,
Goris menunjuk Pura Penataran Sasih di Intaran, Pejeng, Gianyar. Pura
tempat memuja roh suci leluhur adalah Pura Pucak Panulisan, di
Kintamani, Bangli, sedangkan sebagai pura laut kemungkinan berlokasi di
Desa Pejeng berupa Pura Puser Tasik.
Menilik
lokasi pura di atas bukit dengan sistematika teras piramida ditambah
dengan tinggalan-tinggalan megalitik, dapat diduga kuat dari dulu pura
ini menjadi tempat pemujaan bagi warga desa-desa Bali Aga di Kintamani,
selain sebagai tempat pemujaan roh leluhur, terutama raja-raja Bali
Kuna. Ini dibuktikan dengan arca-arca perwujudan, seperti Arca Bhatari
Mandul yang merupakan perwujudan Raja Anak Wungsu. “Ada beragam cerita
terkait keberadaan Pura Pucak Panulisan. Tapi saya sendiri belum
mendapatkan kepastian mana yang benar,” urai Jero Kubayan Kiwa, Kubayan
di Pura Pucak Panulisan.
Pernah
ada yang menghubungkan keberadaan pura ini dengan Pura Batukaru di
Tabanan. Konon, Ida Batara di Pucak Panulisan dengan Pura Batukaru
bersaudara. Semula dibangun sad kahyangan di Pucak Sukawana ini, setelah
rajeg di Panulisan baru membangun di Pucak Batukaru. Di kedua pura ini
wewenang spiritual paling tinggi memang dipegang “pejabat” yang
dinamakan Jero Kubayan. Termasuk saat berlangsung upacara besar, tak
mempergunakan pandita atau sulinggih layaknya di beberapa pura sad
kahyangan di Bali.
Khusus
di Pura Pucak Panulisan ada dua Kubayan, yakni Kubayan Kiwa dan Kubayan
Mucuk. Keduanya bertugas mengantarkan bakti krama yang menghaturkan
sembah. Jero Kubayan ini memiliki senjata berwujud golok dipergunakan
sebagai alat saat ngendag, mulai memotong lis waktu digelar upacara.
Saat menghaturkan bakti mempergunakan mantra, dinamakan puja sana.
Dalam
struktur kemasyarakatan Sukawana, yang disebut ulu apad, kubayan adalah
jabatan tertinggi. Di bawahnya ada krama panglanan, naka, nyingguk, dan
kabau. Jabatan kubayan dipilih masyarakat dan hanya diganti bila yang
bersangkutan sudah punya kumpi (cicit). Bila tak berketurunan, seperi
Kubayan Kiwa kini, jabatan kubayan akan dipegang sampai meninggal.
Mereka tak punya luputan (dispensasi) khusus, terkecuali saat pamadegan,
pelantikan secara niskala, sepenuhnya jadi tanggung jawab warga Desa
Sukawana.
Arca
Ida Batara di Pucak Panulisan kini tersimpan di Pura Bale Agung
Sukawana, pada Meru Tumpang Lima. Langkah ini diambil tak lepas dari
upaya krama Sukawana mencegah terjadinya pencurian, mengingat lokasi
pura dengan tempat tinggal warga amat berjauhan. “Setelah warga kami
mohonkan secara niskala ke hadapan Ida Batara, diizinkan disimpan di
Desa Sukawana,” tambah Jero Kubayan Istri Kiwa.
Arca ini akan diusung ke Pura Pucak saban sepuluh tahun sekali, saat digelar upacara pacaruan agung bersaranakan empat kerbau dan seekor kijang. Ida Batara distanakan di pangaruman. Adapun tiap tahun, bertepatan dengan Purnama Kapat, hanya digelar upacara bertingkat alit, sederhana, dengan binatang kurban seekor kijang dan kerbau.
Yang bertanggung jawab terhadap segala kegiatan upacara adalah warga gebug domas. Terbagi atas 200 kepala keluarga (KK) dari Sukawana, Kintamani 200, Selulung 200, dan Desa Bantang 200. Masing-masing anggota gebug domas membawahi beberapa desa yang bila dikumpulkan seluruhnya mencapai 30 desa. Sebagai pamucuk, penanggung jawab inti, tetap krama Desa Sukawana. Manakala ada kekurangan sarana upacara merekalah yang melengkapi.
Arca ini akan diusung ke Pura Pucak saban sepuluh tahun sekali, saat digelar upacara pacaruan agung bersaranakan empat kerbau dan seekor kijang. Ida Batara distanakan di pangaruman. Adapun tiap tahun, bertepatan dengan Purnama Kapat, hanya digelar upacara bertingkat alit, sederhana, dengan binatang kurban seekor kijang dan kerbau.
Yang bertanggung jawab terhadap segala kegiatan upacara adalah warga gebug domas. Terbagi atas 200 kepala keluarga (KK) dari Sukawana, Kintamani 200, Selulung 200, dan Desa Bantang 200. Masing-masing anggota gebug domas membawahi beberapa desa yang bila dikumpulkan seluruhnya mencapai 30 desa. Sebagai pamucuk, penanggung jawab inti, tetap krama Desa Sukawana. Manakala ada kekurangan sarana upacara merekalah yang melengkapi.
Dulu,
bila upacara hanya bersaranakan kijang, penanggung jawab cukup dari
warga Sukawana. Desa lain hanya mabakti. Bila upacara besar sepuluh
tahun sekali barulah warga gebug domas turun semua.
Sejak
tahun 1950-an ada pergeseran. Mungkin karena rasa bakti warga yang
semakin tebal ditambah keinginan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan piodalan bertambah tinggi, maka tiap kali ada piodalan
di Pura Pucak krama gebung domas ikut terlibat langsung. Mereka
mengeluarkan urunan dana dan rerampe-reramon disesuaikan dengan kekayaan
di desa masing-masing. Desa Selulung, misalkan, banyak punya bambu,
maka masyarakatnya menghaturkan bambu.
Dulu,
sebut Jero Kubayan Kiwa, piodalan yang digelar tiap tahun hanya
menghaturkan seekor kijang. Sejak tahun 1950-an selain kijang juga
dikurbankan seekor kerbau. “Itu boleh saja asalkan dengan keyakinan
penuh dan sesuai kemampuan. Jangan sampai upacara dengan kurban besar
justru keyakinan pada kebesaran Hyang Widhi melorot. Percuma jadinya,”
Jero Kubayan mengingatkan.
Saat
upacara ngebo papat juga dilaksanakan upacara pakelem bebek putih dan
ayam putih di Pura Pucak Panulisan. Bebek dilengkapi kalung uang kepeng
22 keping, sedangkan ayam 11 keping. Leher bebek juga dikalungi surat
yang menyatakan Desa Sukawana melaksanakan wali Ida Batara nyatur muka.
Pakelem dilaksanakan di depan palinggih, pada tempat khusus berupa
lesung.
“Ada
kalanya lubang lesung kelihatan, ada kalanya tidak. Meskipun kecil,
tapi bisa menampung semua sarana upacara yang akan dijadikan pakelem.
Ini sulit dicerna akal sehat, memang,” tutur Kubayan Kiwa. I Wayan Sucipta
Lingga Purba, Siwa, Ganesa
Pura
Pucak Panulisan tak hanya berfungsi sebagai tempat memuja keagungan
Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa Natha. Dari lokasi
berketinggian 1.745 m dari permukaan laut ini orang bisa mengetahui
jejak sejarah Bali tempo dulu.
Di
tempat ini tersimpan ratusan peninggalan purbakala, artefak
arkeologis.yang mampu memberikan gambaran apa dan bagaimana Bali dalam
beberapa periode. Mulai dari zaman prasejarah hingga era pengaruh Hindu.
Ini peninggalan para moyang yang memikat minat para peneliti,
sejarawan, arkeolog dalam dan luar negeri. Mereka mencoba mengungkap
berbagai ‘misteri’ di balik arti benda-benda bersejarah tersebut.
Beberapa
peninggalan yang hingga kini tersimpan rapi di Puncak Panulisan, di
antaranya batu peninggalan masa megalitik, satu batu berhiaskan bulan
dan matahari, sebuah perwujudan Batara Brahma, tiga arca berpasangan,
dua lingga perwujudan berpasangan, satu arca Ganesa, beberapa miniatur
candi sebagai simbolis gunung tempat berstana para dewa atau roh suci.
Tersimpan
pula ratusan lingga tak berpasangan dengan bentuk berbeda-beda. Ada
utuh, tak jarang tinggal beberapa bagian tubuh saja. Secara keseluruhan
lingga-lingga itu merupakan simbol Siwa. Tinggalan kuno ini saban malam
dijaga warga dari Sukawana yang makemit bergilir di pura.
Berbagai
kesimpulan mencuat dari para ilmuwan dalam maupun luar negeri perihal
tinggalan purbakala di Pucak Panulisan. Dr WF Sturterheim dalam buku
Oudheden Van Bali I-II tahun 1929-1930 menyebutkan, peninggalan
purbakala yang tersimpan di Pucak Panulisan berasal dari era jayanya
kerajaan Bali Kuno. Ini dihubungkan dengan ditemukan beberapa prasasti
yang berhubungan dengan kehidupan Bali masa itu. Sebut, misalkan,
prasasti berangka tahun 999 saka (1077 M) dan tahun 1352 Saka (1436 M).
Kebenaran
tersebut diperkuat lagi dengan ditemukannya arca laki perempuan yang di
belakangnya terdapat prasasti sebagai pratista Raja Udayana Warmadewa
dengan Gunapriyadarmapatni. Raja ini menduduki tahta kerajaan di Bali
sekitar tahun 911-933 Saka. Sedangkan arca wanita dengan sikap berdiri
di belakangnya menyebut nama Batari Mandul, diperkirakan sebagai
pratista permaisuri Raja Anak Wungsu yang tak berputra.
Tim Peneliti Fakultas Sastra Unud tahun 1922 menemukan, arca berpasangan (laki-perempuan) bermahkota karanda makuta dan memakai anting-anting berbentuk pilinan rambut, bertinggi 92 cm. Di bagian bawah ada prasasti bertuliskan angka tahun 933 Saka (1026 M), yang dipahat Mpu Bga pada hari pasar wijaya manggala. Berdasarkan angka tahun yang tertuang pada prasasti serta dikaitkan dengan persamaan unsur badaniahnya, maka peninggalan ini termasuk dalam periode Bali Kuno (abad ke-11).
Kemudian ada arca wanita berdiri dengan tinggi 154 cm yang terbuat dari batu padas. Pada bagian belakang sandaran ada terpahat prasasti menggunakan huruf Kadiri Kuadarat. Prasasti tersebut menyebut Batarai Mandul dan angka tahun 999 Saka (1077 M). Langgam serta angka tahun prasasti ini masuk periode Bali Kuno (abad ke-11).
Ada pula arca laki-laki berdiri dengan sikap tangan kanan dijulurkan ke bawah sejajar badan dan tangan kiri ditekuk ke depan. Arca ini oleh peneliti Unud diperkirakan terbuat pada masa Bali Madya (abad ke-13).
Selain arca Batari Mandul, di sini juga terdapat arca perwujudan Dewa Brahma, dengan atribut empat muka, atau caturmuka. Dewa yang kerap dihubungkan dengan caturmuka memang Dewa Brahma. Arca ini juga membawa kuncup bunga yang merupakan benda pelepasan. Ciri badaniah serta karakter agak kekaku-kakuan ini diperkirkan terbuat era Bali Madya (abad ke-13).
Di Pucak Panulisan juga tersimpan arca Dewa Ganesa dengan ciri berkepala gajah, berbadan manusia dengan perut buncit, bertangan empat, dan memiliki satu taring. Di belakang kepala Ganesa terpahat hiasan dedaunan. Dari ciri badaniah yang dimiliki, diperkirakan arca Ganesa ini tergolong ke dalam periode Bali Madya (abad ke-13).
Tim Peneliti Fakultas Sastra Unud tahun 1922 menemukan, arca berpasangan (laki-perempuan) bermahkota karanda makuta dan memakai anting-anting berbentuk pilinan rambut, bertinggi 92 cm. Di bagian bawah ada prasasti bertuliskan angka tahun 933 Saka (1026 M), yang dipahat Mpu Bga pada hari pasar wijaya manggala. Berdasarkan angka tahun yang tertuang pada prasasti serta dikaitkan dengan persamaan unsur badaniahnya, maka peninggalan ini termasuk dalam periode Bali Kuno (abad ke-11).
Kemudian ada arca wanita berdiri dengan tinggi 154 cm yang terbuat dari batu padas. Pada bagian belakang sandaran ada terpahat prasasti menggunakan huruf Kadiri Kuadarat. Prasasti tersebut menyebut Batarai Mandul dan angka tahun 999 Saka (1077 M). Langgam serta angka tahun prasasti ini masuk periode Bali Kuno (abad ke-11).
Ada pula arca laki-laki berdiri dengan sikap tangan kanan dijulurkan ke bawah sejajar badan dan tangan kiri ditekuk ke depan. Arca ini oleh peneliti Unud diperkirakan terbuat pada masa Bali Madya (abad ke-13).
Selain arca Batari Mandul, di sini juga terdapat arca perwujudan Dewa Brahma, dengan atribut empat muka, atau caturmuka. Dewa yang kerap dihubungkan dengan caturmuka memang Dewa Brahma. Arca ini juga membawa kuncup bunga yang merupakan benda pelepasan. Ciri badaniah serta karakter agak kekaku-kakuan ini diperkirkan terbuat era Bali Madya (abad ke-13).
Di Pucak Panulisan juga tersimpan arca Dewa Ganesa dengan ciri berkepala gajah, berbadan manusia dengan perut buncit, bertangan empat, dan memiliki satu taring. Di belakang kepala Ganesa terpahat hiasan dedaunan. Dari ciri badaniah yang dimiliki, diperkirakan arca Ganesa ini tergolong ke dalam periode Bali Madya (abad ke-13).
I
Gusti Ngurah Agung Wiratemaja, dalam karya tulis Pura Tegeh Koripan,
Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Bangli (Kajian Kosepsi) menyebutkan,
ada satu ciri kental yang menunjukkan tokoh yang digambarkan ini
merupakan keluarga Dewa Siwa. Terbukti dengan adanya mata ketiga di
antara kening, selain adanya beberapa lingga tunggal maupun lingga
berpasangan sebagai simbol Dewa Siwa yang tersimpan di Pura Puncak
Panulisan.
Langganan:
Postingan (Atom)