Rabu, 07 September 2011

sanggara my character of cabal















manfaat Tri Sandya

Manfaat, TRI ,SANDYA
Ada dua alasan untuk kembali mengedepankan masalah Tri Sandya. Pertama, masih banyak umat Hindu yang belum memahami arti dan manfaat ber-Tri Sandya. Kedua, ketetapan Maha Sabha VI tahun 1991 menugaskan kepada pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat untuk menyebarluaskan teks Tri Sandya yang telah disempurnakan itu. Tri Sandya berasal dari kata Tri dan Sandya, Tri berarti tiga. Sandya berasal dari urat kata sam dan dhi. Sam berarti berkumpul, baik, sempurna, dan dhi berarti pikiran. Jadi Sandya berarti memusatkan pikiran kepada Tuhan. Sandya dapat pula diartikan berkonsentrasi secara sungguh­-sungguh dan sempurna kepada Tuhan.
Untuk memusatkan pikiran kepada Tuhan tugas kita adalah mengendalikan kewajiban. Dan, agar proses pengendalian ini berhasil, kita harus mengatasi hambatan yang ditimbulkan oleh Tri Guna (sattwa, rajas, tamas). Kita harus sekuat mungkin bertahan dari tarikan dan desakan alami Tri Guna dengan jalan berserah kepada-Nya. Inilah kewajiban kita yang pertama dalam perjuangan mendekatkan diri dengan Tuhan.
Harus diyakini bahwa Tuhan adalah Mahasempuma. Maka unntuk mencapaiNya kita harus mendasari diri dengan kepercayaan yang sempurna pula. Bila tidak, maka kekuatan yang mengikat kita dengan Tuhan tidak dapat berkembang. Kita harus memiliki bhakti (cinta kasih) kepada Tuhan secara sungguh-sungguh agar kita dianugrahi asih-Nya. Keragu-raguan, hanyalah akan merusak azas hubungan asih dan bhakti serta menjauhkan kita dari Tuhan.
Mendekat atau duduk dekat dengan Tuhan disebut upasana atau upasthana. Tetapi jangan keliru, sebab duduk dekat atau berdekatan saja tidak cukup. Katak duduk dekat dengan bunga teratai tetapi tak bisa menikmati manisnya madu bunga teratai. Hanya merasa dekat saja tak ada gunanya, apabila tidak ada bhakti menyertainya. Sama halnya saat bersembahyang, boleh saja kita duduk dekat sekali dengan Padmasana. Akan tetapi apabila tak ada rasa bhakti yang mendalam, kedekatan phisik itu tidak berarti apa­-apa bagi kemajuan hidup rohani kita. Jadi bersamaan dengan dekatnya phisik harus disertai dengan dekatnya bathin kita kepada Tuhan,
Untuk lebih mengerti makna dekat dan bhakti pada Tuhan menarik untuk disimak contoh pembanding dalam kehidupan sehari-hari berikut.
Kalau kita bergerak ke arah matahari, maka bayangan akan berada di belakang dan mengikuti kita. Tetapi kalau kita bergerak sebaliknya maka bayangan akan jatuh di depan kita. Begitulah halnya apabila kita menghadap Tuhan, segala kegelapan alam akan ada di belakang mengikuti kita. Tetapi kalau kita membelakangi Tuhan maka kegelapan, kebodohan, yang menuntun jalan hidup kita.
Hal penting yang dapat kita simpulkan dari dari contoh-contoh di atas adalah bahwa dalam setiap keadaan suatu sifat bisa bergeser dan digantikan oleh sifat yang lain. Begitulah kalau kita dekat dan bhakti kepada Tuhan, sifat buruk yang ada pada diri kita akan hapus dan berganti dengan sifat-sifat ketuhanan.
Dalam Bhagavadgita (BG), II.45 Krishna mengajarkan kepada Arjuna agar membebaskan diri dari Tri Guna, juga dari dualisme dengan memusatkan pikiran kepada kesucian dan melepaskan diri dari ikatan duniawi sehingga bisa bersatu dengan Atman.
Disitu dengan tegas tersirat bahwa kita harus membebaskan diri dari pengarnh sattwa, rajas, tamas dan pengaruh sifat ganda yaitu susah dan senang, puji dan maki dengan cara memusatkan pikiran kepada kesucian (Tuhan).
Saat-saat Untuk Mendekat dan Berbhakti
Sudah merupakan hukum alam bahwa, pagi hari adalah periode sifat sattwik, tengah hari adalah sifat rajasik, dan sore hari atau senja merupakan periode tamasik.
Waktu fajar menyingsing (abang wetan) pikiran dibangunkan dari kegelapan tidur, pikiran dibebaskan dari keresahan dan kemurungan sehingga pikiran menjadi tenang dan jernih. ltulah sebabnya kita diperintahkan agar melakukan Pratah Sandya atau doa Sandya yang dilakukan pada dini hari. Sementara hari bertambah siang kita dirasuki oleh raja guna yakni sifat aktif, ambisi, lincah penuh usaha, dan kita memasuki lapangan kegiatan atau kerja keras. Sebelum makan siang kita diberi petunjuk agar bersembahyang lagi kepada Tuhan dan mempersembahkan pekerjaan beserta hasilnya yang kita peroleh dari pekerjaan itu. Setelah itu baru boleh makan dengan bersyukur atas karunia-Nya. Inilah yang dimaksudkan dengan madhyannikam atau pemujaan pada tengah hari. Dengan melakukan madyannikam ini raja guna dapat dikendalikan.
Sifat ketiga yang menguasai manusia adalah tamas. Ketika matahari terbenam kita bergegas pulang makan, kemudian mengantuk dan tidur. Makan dan tidur adalah kebiasaan para pemalas dan penganggur. Ketika tamas yaitu, sifat terburuk di antara ketiga sifat itu hendak menguasai kita, maka cara terbaik untuk menghindari lilitannya adalah dengan cara bersembahyang, berkumpul dengan sesama bhakta dengan mengagungkan Tuhan, dan membaca buku yang mengagungkan kebesaran-Nya. Ini merupakan sembahyang pada petang hari yang disebut Sandya Vandanam yang juga sudah ditentukan.
Karena itu pikiran dan perasaan yang bangkit dari kekosongan pada waktu tidur harus dilatih dan dibina dengan semestinya. Kita harus berusaha belajar merasakan bahwa kebahagiaan setelah bersembahyang dan rasa suka cita yang diperoleh ketika kita mengalahkan pandangan dan pikiran dari dunia luar. Hal ini jauh lebih agung dan lebih lestari jika dibandingkan dengan kenikmatan yang diperoleh dengan jalan tidur seperti yang biasa dilakukan.
Para Rsi mengatakan bahwa orang yang sepanjang hidupnya menjalankan Sandya tiga kali sehari dengan tekun ia akan menjadi manusia utama. la selalu berjaya. Ia akan mencapai kebebasan semasih hidup. Ia akan mencapai Jivan Mukti.
“Dia yang mengabdi kepada-Ku sujud dengan kebaktian yoga, ia naik ke atas melampaui guna, ia wajar bersatu dengan Brah·man”. Begitu sabda Krishna kepada Arjuna dalam BG. XlV. 26.
Pengaruh Tri Guna Terhadap Jiwa
Tri Guna yang lahir dari prakerti selalu membelenggu atma.
Sifat sattwa yang mulia memberikan cahaya, serta kesehatan membelenggu atma dengan ikatan kebahagiaan dan ilmu pengetahuan (BG. XIV 6).
Sifat rajas yang bernafsu, menjadi sumber kehausan dan keinginan akan hidup membelenggu atma dengan ikatan kerja (BG.XIV 7).
Sifat tamas yang terlahir dari ketidaktahuan membelenggu penghuni badan (atma) dengan ketololan, kemalasan dan kepalsuan (BG. XIV 8).
Sifat sattwa mengikat seseorang dengan kebahagiaan, rajas dengan kegiatan (kerja bernafsu) dan tamas mengikuti budi pekerti yang mengikatnya dengan kebingungan (BG. XIV 9).
Ketiga sifat ini ada pada tiap manusia hanya saja tingkatannya berbeda satu dengan yang lain. Setiap orang tidak dapat melepas­kan diri dari Tri Guna tersebut, biasanya salah satu dari sifat itu menonjol melebihi yang lain. Bagaimana kalau sattwa berkuasa? Bagaimana kalau manusia dikuasai oleh rajas? Dan bagaimana pula kalau sifat tamas menguasai manusia?
Jawabannya, apabila sattwa berkuasa cahaya ilmu pengetahuan menembusi semua pintu gerbang badan (BG. XlV. 11).
Apabila rajas berkuasa maka orang menjadi serakah, giat dalam usaha, gelisah, hawa nafsu merajalela (BG.XIV. 12).
Apabila tamas menguasai manusia maka kegelapan, kelesuan, ketololan, dan kekacauan pikiran timbul (BG. XIV 13).
Dari ketiganya, sifat sattwa-lah yang terbaik. Tetapi lebih tinggi dari sifat baik itu adalah jika kita dapat melampaui Tri Guna menjadi Guna Tita (orang sadhu).
Nah, melakukan Tri Sandya tidak lain maksudnya adalah untuk memperkecil pengaruh Tri Guna itu kepada jiwa kita. Yang perlu diperhatikan adalah agar Sandya itu jangan dianggap sebagai upacara rutin.
Sandya harus dilakukan dengan memahami artinya dan memusatkan pikiran pada maknanya yang terpendam. Apalagi dalam mantram Tri Sandya itu terkandung ibu dari segala mantra, yaitu Gayatri.
Menurut Abinach Chandra Bose dalam bukunya Panggilan Weda, “Suatu sebab mengapa Gayatri dipandang doa yang mewakili semuanya di dalam Weda ialah karena Gayatri adalah doa untuk daya kekuatan yang dapat dimiliki orang ialah “dhi” yaitu kecerdasan yang tinggi yang memberikan padanya pengetahuan, materi dan kemampuan mengatasi hal-hal keduniawian. Sebagai halnya mata bagi badan, demikian “dhi” atau kecerdasan untuk pikiran”.
Manu menekankan hal ini secara khusus. la mengata-kan Gayatri merupakan nafas kehidupan para Brahmin. Ini adalah kebenaran.
Apakah yang lebih berguna untuk kemajuan spiritual kita selain bersembahyang atau bermeditasi kepada Tuhan yang menerangi dan memelihara akal budi manusia? Adalah yang lebih bermanfaat dari doa yang memohon agar pikiran kita diselamatkan dari kecendrungan dosa?
Bagi manusia tidak ada perisai yang lebih ampuh daripada mengembangkan sifat-sifat yang baik. Gayatri menganugrahkan kekuatan batin untuk membantu mengembangkan tenaga tersebut, maka doa ini harus dilakukan dengan cermat pada saat yang tepat. Untuk pertumbuhan tubuh, makanan yang murni dan sattwik sangat diperlukan. Demikian pula kecemerlangan matahari harus didapatkan dan diserap untuk memperkuat cahaya batin manusia dalam bentuk imajinasi yang kreatif. Bila kekuatanj jiwa bertambah. daya pengertian dan pertimbanganpun menjadi lebih aktif terarah pada jalur-jalur yang bermanfaat. Bila kekuatan berkurang maka daya pengertian dan pertimbangan melemah dan membuat kita kecewa. Jadi apabila tenaga matahari diserap pada waktu yang tepat, ia akan seperti benih yang ditanam pada musim yang tepat dan hasil panennya pun terjamin. Teknik proses ini telah ditetapkan oleh para Rsi zaman dahulu demi kebaikan semua peminat spiritual. Kalau kita mau mempelajari dan mempraktekkan pesan para Rsi tentu kita akzr kebenaran jalan yang ditempuh para Rsi melalui pengalaman kita sendiri. Karena itu marilah kita mengaktifkan untuk ber-Tri Sandya agar kita dapat menyeberangi kehidupan dengan selamat.

Tiga Kerangka Agama Hindu


tiga, kerangka , dasar, dalam, umat , hindu
Mengutip artikel berikut, Agama Hindu memiliki tri kerangka yaitu:
1. Tatwa
2. Susila
3. Upacara.
Ketiga kerangka Agama Hindu diatas harus diwujudkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari oleh umat Hindu, karena menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jika dalam kehidupan sehari-hari hanya menonjolkan hanya salah satu diantara ketiga diatas akan dapat memunculkan sifat-sifat negatif.
1. Tatwa (filsafat) tanpa  susila =muncul  sifat munafik, sombong, dan angkuh.
2. Susila tanpa upacara (dalam arti luas) = muncul  rasa fanatik.
3. Upacara tanpa didasari tatwa dan susila= muncul sifat dogmatis.
Tiga kerangka Agama Hindu diatas mirip dengan Tiga sifat manusia indonesia yang di anugerahkan TUHAN YME yaitu :
1. Jujur
2. Cerdas
3. Ingin jadi pejabat (legislatif, eksekutif, yudikatif, sipil,militer) disingkat pejabat
Namun sayangnya TUHAN YME hanya mengizinkan setiap Manusia Indonesia memiliki 2 saja dari 3 anugerah tersebut sehingga Manusia Indonesia terdiri dari 3 golongan :
1. Pejabat dan Jujur maka dapat dipastikan dia tidak cerdas
2. Pejabat dan Cerdas maka dapat dipastikan dia tidak jujur
3. Jujur dan Cerdas maka dapat dipastikan dia bukan pejabat
Agama Hindu mesti Dihayati Utuh
Agama Hindu mesti dihayati secara utuh. Artinya, agama tidak hanya dihayati, direnungkan, dan dicamkan. Tetapi mesti diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Agama bukan hanya diomongkan melainkan dilaksanakan dengan penuh keyakinan yang bermuara pada logika dan rasa batin (atmanastuti) .
Karena itu, dalam agama yang dipentingkan adalah kesucian batin. Agama Hindu memiliki tri kerangka yaitu tatwa, susila dan upacara. Ini pun mesti diwujudkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, karena menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jika hanya menonjolkan tatwa (filsafat) tanpa diwujudkan dengan susila akan dapat memunculkan sifat-sifat munafik, sombong, dan angkuh. Jika hanya menonjolkan susila tanpa upacara (dalam arti luas), dapat menimbulkan rasa fanatik. Apabila menonjolkan upacara saja tanpa didasari tatwa dan susila, akan bisa bersifat dogmatis.

Sembahyang sebelum berhubungan badan

Kesucian dalam berhubungan sex, banyak diatur dalam Manawa Dharmasastra, dll. :

1. Hubungan sex dalam Hindu tidak semata-mata “for fun” tetapi yang lebih utama adalah untuk mendapat keturunan yang disebut sebagai “dharma sampati” Dengan demikian sex di luar nikah, menurut Hindu adalah dosa, termasuk “paradara” dalam trikaya parisuda (kayika).
2. Hubungan sex antara Suami /Istri agar dilakukan secara sakral :
a. Membersihkan badan/mandi terlebih dahulu
b. Sembahyang mohon restu Dewa-Dewi Smara Ratih
c. Hubungan sex jangan dilakukan :
- ketika sedang marah, mabuk, tidak sadar, sedih, takut, terlalu senang.
- ketika wanita sedang haid
- waktu yang tidak tepat : siang kangin (fajar), bajeg surya (tengah hari), sandyakala (menjelang matahari terbenam), purnama, tilem, rerainan (hari raya), odalan, sedang melaksanakan upacara panca yadnya.
- jangan meniru “gaya binatang”, yang disebut “alangkahi akasa” (melangkahi angkasa)
- dalam berhubungan sex selalu berbentuk “lingga-yoni”
d. Kalau senang hubungan sex diiringi musik, pilih yang slow/tenang, jangan lagu dangdut atau yang ribut/underground atau house- music, apalagi gaya tripping. Makanya di Bali dahulu ada gambelan “semare
pegulingan” (artinya : asmara di tempat tidur) adalah jenis gambelan khas yang di tabuh di Puri-Puri disaat Raja sedang berintim ria dengan Permaisuri. Lama-lama menjadi ’semar pegulingan’ jangan salah arti, ada yang mengartikan ‘tualen gelalang-geliling’
3. Bila hubungan sex dilaksanakan dengan patut sesuai swadharma kama sutra, maka anak yang lahir mudah-mudahan berbudi pekerti yang baik, menuruti nasihat ortu, rajin sembahyang, pintar, sehat, pandai bergaul dan hidupnya sukses. Tetapi bila hubungan sex menyimpang, maka anak yang lahir disebut anak “dia-diu” yakni : bandel, menyakiti hati ortu, bodoh, jahat, banyak musuh, sulit hidupnya, sakit-sakitan.
Bhagawan Dwija
=====================================================
Asmaragama
Teori yang diambil dari kata ASMARA dan SENGGAMA, bukan saja hanya sekedar memaparkan tehnik bercinta,  tapi juga menyediakan track untuk pemahaman seks yang benar, mulai dari merawat rasa sampai mendapatkan kepuasan…
Ada 5 tahapan dalam asmaragama
Asmaranala
Cinta itu diyakini sebagai awal yang baik untuk memulai sebuah hubungan seks.
Dimana getaran yang muncul saat bertatapan jadi mutlak dimiliki, yang katanya ciuman pertama bukan dilakukan oleh bibir, melainkan mata…
Asmaratura
Yang dimaksud adalah respek, tanpa respek tak akan terjalin hub seks yang sehat & dalam, respek akan menutup segala kekurangan yg ada dalam diri pasangan kita..
walau badan pasangan kita kurus kering ato hitah legam, dengan respek maka dia akan tetap indah di mata kita…
Asmaraturida
Senda gurau yang mesra dianggap bisa jadi rangsangan pada pendengaran kita,
ya ga perlu ngelawak kaya jojon sih, cukup tentang hal2 lucu yang terjadi dikeseharian aja… Tujuannya …supaya rileks….
Asmaradana
Boleh dong belajar jadi penyair…ucapkan kata2 yang manis dan lembut ke telinga pasangan, ini sama aja dengan membelai hatinya…kalau selama ini cowo dikenal pinter ngrayu, sesekali kenapa gak cewe yg jadi perayu ulung….toh cowo juga seneng dirayu….
Asmaratantra
ciman memang bisa jadi pematik gairah yang sangat dahsyat, makanya jangan lewatkan foreplay tanpa yang satu ini… taburkan ciuman di berbagai tempat ditubuhnya… coba deh cium bagian2 yang biasanya luput dari bibir….. hmmm pasti seru…!!!
Akhirnya…
Asamaragama
Puncak cinta kasih yang ditandai dengan aktivitas bercinta…
sebuah hubungan yang sangat dalam yang mampu menyatukan dua raga dalam satu jiwa…..
Asmaragama adalah filosofi hidup yang seyogyanya dimiliki setiap pasangan…
Kalo kamasutra lebih menitik beratkan pada berbagai posisi dalam bercinta, asmaragama lebih menitik beratkan pada soul dan perasaan yang harus dimiliki dalam bercinta…. yang tujuannya untuk membuat saat bercinta jadi momen yang penuh makna dan penghormatan, dimana kualitas sebuah hubungan dianggap jauh lebuh penting daripada kuantitasnya…
Asmaragama adalah suatu cara untuk menghayati kasih sayang, mempertinggi kualitas dan memperpanjang waktu bercinta…hmmm….
Demikian sekedar resep bagi kaum muda.

Sejarah Pura Goa Raja Besakih


Sejarah, Pura, Goa, Raja, Besakih


Pura Goa Raja merupakan tempat pertemuan (Pesamuhan) “Sang Hyang Naga Tiga” yakni tiga manifestasi Tuhan yakni “Sang Naga Anantaboga”, “Sang Hyang Naga Basuki” dan “Sang Hyang Naga Taksaka” yang masing-masing memiliki tempat tersendiri di komplek pura Besakih.
“Mereka bertemu di Pura Goa Raja untuk merencanakan dan menjaga Bali,” tuturnya yang mengaku ungkapannya itu didasarkan atas sumber-sumber tertulis sastra-agama Hindu dan tradisi lisan yang berkembang di masyarakat.
Dalam lontar “Kusuma Dewa” diungkapkan tentang keberadaan Batara di Buwana Agung (jagatraya) yakni Gunung Mahameru (Gunung Agung), gunung tertinggi di Bali puncaknya menggapai angkasa, pangkal dasarnya menembus tujuh lapisan bumi (Sapta Patala).
“Tempat itulah merupakan lokasi pertemuan para Dewata menciptakan baik (ayu) dan buruk (ala) menjaga jagat raya Pulau Bali. Oleh sebab itu jika Pura Besakih baik, Bali akan aman, tentram, damai dan sejahtera,” tutur Mangku Pande Made Satra.
Leluhur masyarakat Bali dimasa lampau memahami kenyataan alam semesta sebagai anugrah yang wajib disyukuri karena telah memberikan kerahayuan, keselamatan dan kesejahteraan umat manusia.
Hingga kini masyarakat Bali tidak henti-hentinya mewujudkan rasa bakti dan puji syukurnya kehadapan Tuhan Yang Maha Esa melalui upacara keagamaan baik di Pura Besakih maupun di lambung Gunung Agung, dengan harapan masyarakat Pulau Dewata selalu menemui keselamatan dan kedamaian.
Rsi Markandya pada tahun 111 saka (189 masehi) menanam “Pancadhatu” di komplek Pura Besakih hingga kini memberikan pelajaran berharga dan amat penting bagi masyarakat setempat.
“Amat keliru bila mengabaikan Pura Besakih, termasuk Pura Goa Raja, karena dari situlah pusat kerahayuan, keselamatan dan kesejahteraan jagad Bali,” ungkap I Wayan Surpha, mantan Sekjen Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) pusat, majelis tertinggi umat Hindu.
Perbaikan secara total terhadap Pura Goa Raja telah dilakukan tahun 2002 atau pemugaran yang ketiga dilakukan menyusul meletusnya Gunung Agung tahun 1917, yang kemudian meletus lagi tahun 1963.

Sejarah
Pura Besakih dari segi historis terungkap melalui prasasti Purana dan lontar menerangkan, sebagai tempat beristananya para Dewa yang dimuliakan masyarakat Bali, sekaligus mempunyai arti penting bagi kehidupan keagamaan umat Hindu.
Mempunyai fungsi paling penting diantara pura-pura lainnya yang ada. Tempat suci itu memiliki peranan dan fungsi yang istimewa, antara lain sebagai Pura “Rwa Bhineda”, “Sad Kahyangan”, “Padma Bhuana” dan pusat dari segala kegiatan upacara keagamaan.
Perhatian terhadap pura Besakih dimulai dari pemerintahan Raja Sri Udayana Warmadewa (tahun 1007), hingga pemerintahan Raja-raja keturunan Sri Kresna Kepakisan (tahun 1444 dan 1454 Masehi).
Perhatian besar sang raja itu, dilanjutkan pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia, yang menaruh perhatian cukup besar, diwujudkan dengan mengadakan restorasi secara besar-besaran terhadap beberapa komplek bangunan suci yang rusak akibat bencana alam.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah melakukan perbaikan terhadap beberapa bangunan fisik yang rusak, sekaligus menggelar rangkaian upacara keagamaan.
Sejak tahun 1967, Pemprop Bali menyerahkan pengawasan dan pemeliharaan Pura Besakih kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), majelis tertinggi umat Hindu yang kemudian dimandatkan kepada “Prawartaka” Pura Besakih.
Namun, dalam kenyataannya Pemprop Bali bersama delapan Pemkab dan Pemkot secara bergotong royong memperbaiki bangunan yang rusak maupun mendukung pelaksanaan upacara keagamaan, selain peranserta masyarakat luas secara aktif.

Agama dan Adat Hindu

Perkawinan ,Menurut ,Hukum ,Agama ,HinduMenurut agama hindu banyak sekali sumber sumber hukum yang dipakai sebagai rujukan dalam usaha mencari penyelesaian permasalahan yang dihadapi, sesuai dengan konteks-nya.

Adapun sumber sumber hukum menurut hindu ada yg tertulis maupun yg tidak tertulis, Hukum hukum hindu yang tertulis sering disebut dengan sastra dresta yg banyak sekali sastra – sastra hindu yg mengatur tentang hal ini, salah satu contoh adalah
Manawa Darma sastra, Palasara sastra, dsbnya sedangkan yg tidak tertulis disebut dengan Loka dresta dan atmanastuti (yang merupakan mufakat yg terbaik merupkan bisamaorang banyak dilingkungan sekitarnya)
Ingat Hukum adalah merupakan produk jaman, sudah pasti hukum itu akan menyesuai kan diri sesuai dgn tuntutan jaman, oleh karena itulah undang undang (hukum itu) perlu adanya suatu revisi.
Berbeda dengan Veda-Wahyu sabda tuhan: tak pernah berawal dan berakhir selalu relevan sepanjang jaman.
1. Pengertian pawiwahan
Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain:
  1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
  2. Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut: ‘Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”(Subekti, 1985: 23).
  3. Wirjono Projodikoro, Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).
  4. Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan ( wiwaha) adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).
  5. Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan kerabat, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula menyangkut persoalan keagamaan Dengan terjadinya perkawinan, maka suami istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum Adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Bukan itu saja menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan tidak hanya menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu dalam setiap upacara perkawinan yang dilaksanakan secara Adat mengunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka.
    (Sumiarni, 2004:4).
  6. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV dijelaskan bahwa “perkawinan ialah ikatan sekala niskala (lahir bathin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaki rabi) “(Parisada Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa: pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.

KONSEP PEMBEBASAN DALAM HINDU



DALAM berbagai sastra suci Hindu, sudah diprediksi berbagai ciri-ciri baik dan buruknya keadaan setiap zaman. Dari zaman Kerta, Treta, Dwapara maupun zaman Kali. Misalnya ciri-ciri zaman Kali Yuga seperti sekarang ini. Apa yang terjadi dewasa ini sudah dinyatakan dengan sangat jelas dalam sastra suci Hindu ribuan tahun yang lalu.
Bagaimana cara mengatasi ciri negatif setiap zaman, juga sudah diajarkan dalam berbagai sastra suci Hindu. Kalau benar-benar kita paham dengan cara mengatasi keadaan setiap zaman itu, maka manusia pun akan selalu dapat memperkecil akibat buruk dari keadaan negatif setiap zaman. Misalnya keadaan zaman Kali dalam Manawa Dharmasastra dinyatakan bahwa Dharma hanya berkaki satu sedang Adharma berkaki tiga. Ini artinya suara ketidakbenaran jauh lebih kuat dari pada suara kebenaran (dharma).
Dalam kekawin Nitisastra juga sudah dikatakan bahwa yang paling diutamakan pada zaman Kali adalah kekayaan. Dalam kekawin dinyatakan srbgai berikut: Singgihyan tekaning yugaanta kali tan hana lewiha saking mahadhana. Artinya: Sunguh kalau zaman Kali datang tidak ada yang lebih utama dari kekayaan (harta benda). Karena itu zaman Kali ini benar-benar nyata, uanglah yang paling berkuasa.
Karena itu, dewasa ini uanglah yang menjadi ajang perebutan sesama manusia. Orang pun rela mengorbankan kehormatan dan harga dirinya demi uang. Selanjutnya dinyatakan pula dalam kekawin Nitisastra bahwa orang berilmu, para pemimpin, orang suci, orang kuat pengaruhnya semuanya mengabdi kepada orang kaya. Dalam kekawin Nitisastra dinyatakan sbb: Tan waktan guna suura Pandita Widagda pada mengayap ring dhaneswara. Artinya: sungguh sulit diungkapkan, para ilmuwan, para pemimpin, orang suci, orang kuat, semuanya menjadi abdi orang kaya.
Dalam sastra lainnya juga diungkapkan bahwa para penguasa tidak lagi berderma kepada mereka yang miskin malahan disuap oleh orang yang kaya. Pengusaha (Waisya) tidak lagi menghormati penguasa, karena memang sudah tidak pantas lagi untuk dihormati. Para Brahmana enggan mentaati ajaran kitab suci. Orang saling meninggi-ninggikan dirinya. Karena pengaruh zaman Kali manusia menjadi kegila-gilaan, suka berkelahi berebut kedudukan. Orang saling bermusuhan dengan saudaranya sendiri dan mencari perlindungan pada musuh. Demikian antara lain ciri-ciri negatifnya zaman Kali.
Di Bali pun ada beberapa sumber lontar yang menjelaskan keadaan zaman Kali yang sangat mirip dengan bunyi sastra suci tersebut. Misalnya Lontar Sangara Bumi, Yoga Sengara, Kali Yuga dam lainnya. Yang patut direnungkan bagaimana manusia mencari pembebasan dirinya dari pengaruh negatif zaman Kali itu untuk dapat hidup bahagia. Pertama-tama yang patut dilakukan adalah memahami keadaan zaman Kali yang memang seperti itu adanya.
Kita tidak perlu tegang apa lagi stres menghadap keadaan zaman Kali seperti itu. Janganlah kita ingin melihat zaman Kerta pada zaman Kali. Jangankan zaman Kerta, keadaan zaman Treta dan Dwaparapun tidak mungkin kita jumpai pada zaman Kali.
Demikian juga jangan bermimpi keadaan di dunia fana ini seperti keadaan di sorga sebagaimana diuraikan dalam berbagai kitab Sastra Agama. Dengan cara berpikir seperti itu kita akan lebih tenang menghadapi zaman Kali. Dari ketenangan itu, kadar kecerdasan dan kadar spiritualitas akan lebih aktif menghasilkan gagasan-gagasan yang benar-benar bijak untuk mengatasi setiap persoalan yang muncul di zaman Kali ini. Selanjutnya untuk membebaskan diri kita dari pengaruh negatif zaman Kali hendaknya kita taati apa yang diajarkan oleh kitab suci. Sudah dinyatakan dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa cara beragama zaman Kali adlah dengan cara lebih menekankan pada dana punia.
Tentunya cara-cara yang lainnya seperti bertapa, melakukan upacara yadnya sebagai media untuk melakukan Jnyana, Karma dan Bhakti tidak boleh dilupakan. Cuma beda penekanannya saja. Melakukan dana punia itu tentunya harus dengan cerdas. Artinya ikutilah ajaran tentang melakukan dana punia sebagaimana diajarkan oleh kitab-kitab sastra suci. Misalnya dalam Bhagawad Gita XVII.20 yang menyatakan bahwa melakukan dana punia itu hendaknya berpedoman pada ajaran Desa, Kala dan Patra.
Desa artinya disesuaikan dengan tradisi setempat yang sudah berlaku baik dan diterima oleh masyarakat luas. Kala melakukan dana punia itu disesuaikan dengan waktunya. Umumnya dianjurkan ber-dana punia pada saat matahari Uttarayana. Ber-dana punia juga harus tepat kepada orang yang disebut Patra. Patra artinya orang yang patut mendapatkan dana punia. Bhagawad Gita menekankan bahwa yang patut dilakukan zaman Kali adalah berbhakti pada Tuhan dan melayani sesama (Pujanam Sewanam). Itulah yang patut dilakukan untuk mencapai pembebasan rohani pada zaman Kali.

Pura Agung Kentel Gumi


Pura ,Agung ,Kentel ,Gumi



“Tri Guna Pura” dengan Fungsi
“Penyegjeg Jagat”
PURA Agung Kentel gumi terletak di Desa Tusan, Banjarangkan, Klungkung. Merupakan salah satu Pura kahyangan Jagat Bali, sungsungan umat Hindu sebagai stana Ida Sang Hyang Reka Bhuwana. Pura ini berfungsi sebagai tempat memohon kedegdegan jagat. Sebagaimana dipaparkan dalam lontar Raja Purana batur, Pura Agung Kentel Gumi merupakan Tri Guna Pura (Kahyangan Tiga-nya Jagat Bali). Pura Batur/Tampurhyang sebagai Pura Desa-nya (mohon kesuburan), Pura Kentel Gumi sebagai Puseh (Kedegdegan jagat) dan Pura Agung Besakih/Tohlangkir sebagai Dalem (kesucian sekala niskala).
Terkait catatan tentang Tri Guna Pura, ternyata bukan ditemukan di Pura Agung Kentel Gumi, melainkan termuat dalam Raja Purana Batur yang tersimpan di Pura Batur, Kintamani, Bangli. Berdasarkan penelusuran tokoh agama dan pengurus PHDI bahwa Tri Guna Pura ini sebelumnya nyaris tak ada yang tahu, sehingga Pura Kentel Gumi seperti ikut terlupakan.
Terungkapnya fungsi Tri Guna Pura itulah yang menjadi salah satu dorongan melakukan pemugaran Pura Kentel Gumi. Selain karena kondisi fisik bangunan, memang banyak yang sudah keropos. Pemugaran, sedapat mungkin dilakukan dengan mempertahankan “keaslian” pura — detail pelinggih, tembok, serta corak dan ragam hias ukiran diupayakan semirip mungkin dengan aslinya. Kalaupun ada tiruan, bahan dan garapan harus ditiru dari dokumentasi berupa foto-foto Pura Kentel Gumi yang masih tersimpan.
Pura Agung Kentel Gumi terdiri atas empat halaman utama. Utamaning Utama Mandala terdiri atas 23 pelinggih di antaranya Lingga Reka Bhuwana/Pancer Jagat, Meru Tumpang Solas (pelinggih Ida Sanghyang Reka Bhuwana). Di sisi utara (kompleks pelinggih Bathara Maspahit), terdiri atas enam pelinggih. Pelinggih utama Gedong stana Bathara Maspahit. Di sisi selatan, kompleks pelinggih Batara Masceti, terdapat 9 pelinggih, Gedong merupakan stana Batara Masceti.
Utàma Mandala – beda dengan utamaning utama mandala. Di sini terdapat sumanggen sebagai ciri utama. Ada juga perantenan suci, dengan ciri pelinggih Lumbung Agung/tempat penetegan. Sedangkan di Madya Mandala (tengah). Di sini terdapat empat pelinggih, salah satunya pelingguh Bale Agung, Gedong Sari stana Batari Saraswati. Nista Mandala (jaba sisi/luar). ada dua Padmasari.
Pelinggih-pelinggih itu bagian dan perluasan Pura Agung Kentel Gumi, yang diawali Mpu Kuturan masa pemenintahan Raja Bali Kuna dan dinasti Warmadewa yakni Raja Udayana Warmadewa dengan permaisuri Putri Mahendradatta. Purana mencatat, setelah Mpu Kuturan, Pura Kentel Gumi diperluas dengan pembangunan pelinggih, menyusul berkuasanya Sri Haji Cili Kresna Kepakisan (bungsu Danghyang Soma Kepakisan) yang diminta Mahapatih Gajah Mada/Majapahit menjadi adipati Bali pasca kalahnya Raja Sri Tapolung di Bedahulu.
Dalam perjalanan menuju Bali, Dalem Cili Kresna Kepakisan tiba di Tusan. Dalem tahu keutamaan tempat suci/parahyangan Kentel Gumi. Bersama pangiringnya, dipimpin Arya Kenceng dan warga, dilakukan perbaikan membangun/menambah pelinggih. Di antaranya Meru Tumpang Solas, Padmasana, Meru Tumpang Sia, Tumpang Pitu, Tumpang Lima, Tumpang Telu dan pelinggih lainnya. Termasuk palinggih dasar sebagai stana Ida Dewi Basundari.
Terlupakannya Tri Guna Pura Agung Kentel Gumi, luput pula ingatan orang tentang salah satu aci (upacara) pokok yang semestinya digelar di Pura Agung Kentel Gumi sesuai fungsinya sebagai Pura Puseh Jagat, yakni Upacara Panyegjeg Jagat (upacara Reka Bhumi). Tersurat dalam sastra — baik purana atau babad — upacara Panyegjeg Jagat digelar ketika Raja Dalem Waturenggong bertahtha di Gelgel sekaligus mengukuhkan Pura Kentel Gumi sebagai Tri Guna Pura. Selain Pura Besakih dan Pura Batur.
Ketika Raja Dalem Waturenggong memerintah, Pulau Bali mencapai kesejahteraan dan ketenteraman. Karena kewibawaan dan keberanian Raja yang diabaratkan Sanghyang Hari Murti bentangan empat (Catur Bhuja). Raja Dalem Waturenggong menggelar yadnya di Khayangan Jagat, Eka Dasa Rudra di Besakih, Pancawali Krama di Batur dan Panyegjeg Jagat di Kentel Gumi. Itu yang kemudian dijadikan acuan digelarnya upacara Panyegjeg Jagat di Pura Kentel Gumi. Diperkirakan, sejak 548 tahun lalu upacara Penyegjeg Jagat tidak pernah digelar. Perkiraan itu dikarenakan Dalem Waturenggong naik tahta tahun 1460.

Sekilas Gunung Batur dan Pura Ulun Danu Batur

Sekilas ,Gunung, Batur , Pura ,Ulun ,Danu, Batur
Paing Dungulan adalah Purnama Kedasa. Sebagaimana biasa saat itu berlangsung upacara besar di Pura Ulun Danu Batur. Desa Batur, Kintamani, Bangli. Pura Ulun Danur Batur sebagai kahyangan jagat umat Hindu di Bali, dimulialan sebagai stana Bhatara Wisnu. Sedangkan Bhatara Siwa di Besakih dan Brahma di Lempuyang Luhur, Karangasem.
SEBAGAI stana Bhatara Wisnu, yang dalam konsep masyarakat Batur terkenal dengan sebutan Bhatari Dewi Danuh, Pura Ulun Danu memiliki historis yang sangat menarik, baik berkembang secara turun-temurun sebagai cerita rakyat yang hidup di Batur serta masyarakat pemuja di sekitarnya, maupun sebagaimana termuat dalam beberapa babad.
Paling tidak, sejarah Pura Ulun Danu Batur termuat dalam Babad Pasek yang ditulis oleh Jro Mangku Gede Ketut Soebandi, Babad Pasek yang ditulis oleh I Gusti Bagus Sugriwa, serta Babad Kayu Selem yang disalin oleh Drs. Putu Budiastra, dkk. Bahkan sejarah pura ini juga termuat dalam Raja Purana Pura Ulun Danu Batur I dan II yang disusun oleh Drs. I Putu Budiastra, dkk. Sejarah dan terjadinya Gunung Batur serta Pura Ulun Danu Batur dapat diuraikan sebagai berikut.
Zaman Bahari
Dalam versi Babad Pasek dan Babad Kayu Selem, semula Pulau Bali dan Selaparang masih menyatu dan terombang-ambing dihanyutkan arus samudera. Waktu itu, Ida Bhatara Hyang Pasupati yang berstana di Puncak Gunung Prabulingga (Gunung Semeru) merasa kasihan melihat kedua pulau tersebut terombang-ambing. Beliau lantas mengutus tiga putranya yakni Bhatara Hyang Geni Jaya, Bhatara Hyang Mahadewa, dan Bhatari Dewi Danu agar menyusup ke Pulau Bali.
‘Nanda bertiga, Geni Jaya, Putra Jaya (Mahadewa) dan Dwi Danuh hendaknya nanda bertiga datang ke Pulau Bali agar pulau tersebut tidak terombang-ambing,’ demikian sabda Hyang Pasupati. ‘Mohon maaf, nanda ayahanda, nanda masih sangat muda dan belum berpengalaman,’ jawab ketiga putranya. ‘Nanda jangan khawatir,’ tandas Hyang Pasupati. Begitulah, akhirnya Hyang Pasupati memasukkan ketiga putranya ke dalam kelapa gading, dan dihanyutkan lewat dasar laut. Secara gaib ketiganya tiba di Gunung Agung, dan Beliau sepakat mencari tempat bersemayam. Bhatara Hyang Geni Jaya memutuskan berstana di Gunung Lempuyang, Bhatara Putra Jaya (Mahadewa) berstana di Gunung Agung dengan Pura Besakih, dan Bhatari Dewi Danu memilih sebuah kubangan besar yakni Danau Batur dengan Gunung Batur sebagai puncaknya.
Setelah itu, Hyang Pasupati mengirim empat putra lainnya, seterusnya berstana di Andakasa, Gunung Beratan (Pucak Mangu), Gunung Batukaru, dan Pejeng. Sehingga bila dirunut secara historis, khususnya dari kajian babad, seharusnya di Bali ada sapta kahyangan bukannya sad kahyangan.
Purana Tatwa Batur
Siapa dan bagaimana Gunung Batur serta Beliau yang bersemayam di Pura Ulun Danu Batur, tersirat pula dalam salah satu bagian: Raja Purana Pura Ulun Danu Batur — Purana Tatwa. Begitu pula, uraian ini sangat populer di sekitar pemuja Pura Ulun Danu Batur.
Kisahnya adalah: Tersebutlah tiga putra Bhatara Indra yang berstana di Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar, bertanya pada kakeknya Hyang Pasupati di Gunung Semeru. ‘Mohon maaf Kakek Bhatara, siapakah gerangan ayahanda cucunda?’
‘Oh kalau itu cucunda tanyakan, biar nanti bibi yang mengantar cucunda menjumpai ayahanda’. ‘Nah nanda I Ratu Ayu Mas Membah (sebutan Bhatari Dewi Danu), sekarang berangkatlah ke Tirta Empul antarkan kemenakan nanda menghadap ayahandanya.’
Demikianlah I Ratu Ayu Mas Membah berangkat ke Bali diiringi ketiga putra Bhatara Indra serta I Ratu Ayu Arak Api. Tak terkisahkan di jalan ketiganya telah tiba di stana Bhatara Indra di Tirta Empul, dan langsung menghadap Bhatara Indra. ‘Oh dinda Dewi datang, siapa kiranya anak tampak ketiga ini?’.
‘Oh kanda tidak kenal, inilah ketiga putra kanda yang yang semula di Semeru bersama ayahanda’. ‘Oh begitu, kemarilah Nanda bertiga maaf ayahanda sudah tua, dan pandangan ayah sudah berkurang’.
‘Nah, nanda yang tertua, ayah tak punya apa-apa, kiranya apa yang akan nanda minta?’. ‘Mohon maaf ayahanda dan kiranya ada nanda memohon goa yang besar serta air suci’. ‘Oh kalau itu, baiklah, kini ayah beri nama nanda I Ratu Gede Gunung Agung, dan di sanalah nanda menetap di bekas tempat ayah di pertengahan Gunung Agung, dan ini air suci, nanti beri nama tirta Mas Manik Kusuma.’ Begitulah, beliau lantas berstana di sekitar pertengahan Gunung Agung. Selanjutnya, ‘Nanda yang kedua I Gede Nengah, apa yang nanda minta?’. ‘Hamba juga minta air suci’. ‘Nah nanda I Gede Nengah tempatkanlah air suci ini di barat laut tempat ibunda, dan beri nama tirta Mas Manik Mampeh. Letaknya di barat laut Danau Batur.’
‘Nah nanda yang terkecil namun badannya terbesar apa yang nanda minta?’. ‘Nanda minta balai agung’. Beliau diberikan dan distanakan di Manukaya. Lalu, Bhatara Indra meminta Mangku Pucangan agar mengantarkan I Ratu Ayu Mas Membah menuju tempatnya. Beliau dijunjung menuju arah timur laut, di suatu tempat. Karena kepayahan menjunjung I Ratu Ayu Mas Membah istirahat sambil nafasnya ‘ah-ah, ah’, sehingga tempat itu disebut Basang Ah.
Perjalanan dilanjutkan dan tiba di Desa Pengotan. Saat itu penduduk sedang rapat. Mangku Pucangan berkata: ‘Tuan berhenti sebentar bersidang, ini Paduka datang’. Mereka tertawa karena melihat wujud Ida Bhatari layaknya ukiran janur yang dijunjung oleh Mangku Pucangan. ‘Oh ha, ha, ha dimana ada Bhatari, orang menjunjung sampyan (ukiran rontal) banyak capak’. Ida Bhatari berkenan menunjukkan wajah aslinya dan berkata, ‘Nanti jika kalian semua memuja kepada-Ku, masih di pintu gerbang akan diterbangkan angin’. Begitulah yang terjadi sampai saat ini, biasanya sesaji warga Pengotan, hancur di candi Pura Ulun Danu Batur.
Perjalanan dilanjutkan. Sampai di Penelokan Mangku Pucangan melihat air payau sangat luas dan Bhatari Ratu Ayu Mas Membah meminta mencari benang dan bulu ayam. Benda tersebut dilemparkan ke tengah payau lalu benang tersebut diikuti oleh Mangku Pucangan. Tepat di tengah air payau Beliau berkata, ‘Sudahlah Mangku Pucangan tempatkan Aku di sini’.
Begitu Beliau diturunkan, mendadak tempat ini makin tinggi terus menjadi sebuah gunung tepat di tengah payau (danau). Gunung itu diberi nama Gunung Tempur/ Tempuh Hyang. Artinya bekas pijakan kaki Ida Bhatari, sehingga menjadi Gunung Tampur Hyang. Nama lain dari Gunung Tampur Hyang adalah Gunung Lebah yang artinya sebuah gunung yang letaknya di dataran rendah, serta Gunung Sinarata — yang diartikan oleh masyarakat Batur ‘gunung yang mendapat sinar matahari secara merata’.
Demikianlah ceritanya, dan secara berkelanjutan akibat letusan Gunung Batur, mereka berpindah ke atas, serta puranya bernama Pura Ulun Danu Batur yang pujawalinya jatuh setiap Purnama Kedasa.

Pura Pucak Panulisan



Hawa dingin menulang merajam tubuh siang itu, di kawasan Kintamani. Kabut tipis mulai turun, menyaputi pepohonan. Seorang pengendara sepeda motor menuju arah Tejakula, Buleleng Timur, berhenti di sebelah kanan jalan menuju Desa Sukawana-Singaraja-Kintamani. Wanita yang dibonceng turun, diam sejenak sebelum akhirnya menuju tempat suci di sebelah kanan jalan. Itulah Pura Puncak Panulisan. “Kami terbiasa bila pulang ke Buleleng lewat Kintamani, berhenti sejenak di sini,” tutur Luh Putu Agustini, ibu dua putri dari Desa Pacung, Tejakula, itu.
Pura Pucak Panulisan di Desa Sukawana, Kintamani, Bangli, memang kerap disinggahi orang-orang. Tak sebatas orang Bali, juga tetamu asing yang berkunjung ke Bali.
Tempat suci berjarak kira-kira 70 km dari Denpasar ini memiliki banyak sebutan. Ada menamakan Pura Panarajon, ada pula menamai Pura Tegeh Koripan. Karena letaknya di Bukit Panulisan, orang-orang pun kebanyakan menyebut Pura Pucak Panulisan.
Secara garis besar kompleks pura ini menghadap ke selatan, kecuali pura utama yang mengarah ke barat. Pada halaman utama (jeroan) tersimpan tinggalan-tinggalan dari masa prasejarah hingga Bali Kuno.
Berpijak dari struktur bangunan, pura ini menganut perpaduan dua konsep. Pertama dari masa megalitik yang tercermin lewat konsep Gunung Suci dan terealisasikan dari wujud bangunan teras piramida, bertingkat-tingkat. Konsep kedua tergambar dalam Sapta Loka, tampak dari struktur tingkatan pura, terdiri dari tujuh tingkatan teras utama yang dihubungkan anak-anak tangga. Pada tingkat ketiga yaitu pada tingkat Swah Loka, terdapat dua palinggih kecil, Pura Dana dan Pura Taman Dana. Pada tingkat keempat, di bagian Maya Loka, di sebelah timur jalan, ditempatkan Pura Ratu Penyarikan, dan di sebelah barat terdapat pemujaan keluarga Dadya Bujangga.
Tingkatan keenam, Tapa Loka, berdiri Pura Ratu Daha Tua. Adapun tingkatan ketujuh (Sunya Loka) merupakan pucak Pura Tegeh Koripan. Di sini ada palinggih pangaruman, piyasan, serta gedong sebagai tempat menyimpan benda-benda purbakala.
Belum jelas, kapan sejatinya pura ini mulai dibangun. Tim Universitas Udayana yang meneliti pura ini tahun 1992 tak mendapatkan kebenderangan sejarah awal pendirian pura. Benda-benda purbakala yang tersimpan di sana tak satu pun menjelaskan perihal sejarah awal pendirian pura ini, termasuk nama Panarajon ataupun Koripan. Para peneliti hanya menyimpulkan kesamaan kata pucak, tegeh, dan panarajon yang disebut berasal dari kata tuju, berarti tinggi.
Prasasti Sukawana A-1 berangka tahun 804 Saka (882 M) yang telah dibaca arkeolog R Goris pun dinilai tak memberikan kepastian perihal Pura Pucak Panulisan ini. Prasasti ini memang menyebutkan bahwa di Bukit Cintamani (Kintamani) ada bangunan suci bernama Ulan kurang mendapat perhatian dan sering dijadikan tempat persinggahan, peristirahatan anak atar (para pengalu). Bangunan tersebut mendapat perhatian khusus penguasa Bali kala itu, lalu ditugaskanlah Senapati Danda yang dijabat Kumpi Marodaya dibantu beberapa bhiksu, yakni Siwakangcita, Siwanirmmala, dan Siwaprajna membangun kembali tempat suci ini.
Dalam buku Keadaan Pura-pura di Bali, Goris juga menyinggung kehadiran Pura Pucak Panulisan. Ilmuwan Belanda yang meninggal di Bali ini menyebutkan pusat kerajaan pada zaman Bali Kuna terletak di Bedulu, Pejeng. Sebagai Pura Panataran sekaligus pemujaan awal terjadinya kehidupan di Bali, Goris menunjuk Pura Penataran Sasih di Intaran, Pejeng, Gianyar. Pura tempat memuja roh suci leluhur adalah Pura Pucak Panulisan, di Kintamani, Bangli, sedangkan sebagai pura laut kemungkinan berlokasi di Desa Pejeng berupa Pura Puser Tasik.
Menilik lokasi pura di atas bukit dengan sistematika teras piramida ditambah dengan tinggalan-tinggalan megalitik, dapat diduga kuat dari dulu pura ini menjadi tempat pemujaan bagi warga desa-desa Bali Aga di Kintamani, selain sebagai tempat pemujaan roh leluhur, terutama raja-raja Bali Kuna. Ini dibuktikan dengan arca-arca perwujudan, seperti Arca Bhatari Mandul yang merupakan perwujudan Raja Anak Wungsu. “Ada beragam cerita terkait keberadaan Pura Pucak Panulisan. Tapi saya sendiri belum mendapatkan kepastian mana yang benar,” urai Jero Kubayan Kiwa, Kubayan di Pura Pucak Panulisan.
Pernah ada yang menghubungkan keberadaan pura ini dengan Pura Batukaru di Tabanan. Konon, Ida Batara di Pucak Panulisan dengan Pura Batukaru bersaudara. Semula dibangun sad kahyangan di Pucak Sukawana ini, setelah rajeg di Panulisan baru membangun di Pucak Batukaru. Di kedua pura ini wewenang spiritual paling tinggi memang dipegang “pejabat” yang dinamakan Jero Kubayan. Termasuk saat berlangsung upacara besar, tak mempergunakan pandita atau sulinggih layaknya di beberapa pura sad kahyangan di Bali.
Khusus di Pura Pucak Panulisan ada dua Kubayan, yakni Kubayan Kiwa dan Kubayan Mucuk. Keduanya bertugas mengantarkan bakti krama yang menghaturkan sembah. Jero Kubayan ini memiliki senjata berwujud golok dipergunakan sebagai alat saat ngendag, mulai memotong lis waktu digelar upacara. Saat menghaturkan bakti mempergunakan mantra, dinamakan puja sana.
Dalam struktur kemasyarakatan Sukawana, yang disebut ulu apad, kubayan adalah jabatan tertinggi. Di bawahnya ada krama panglanan, naka, nyingguk, dan kabau. Jabatan kubayan dipilih masyarakat dan hanya diganti bila yang bersangkutan sudah punya kumpi (cicit). Bila tak berketurunan, seperi Kubayan Kiwa kini, jabatan kubayan akan dipegang sampai meninggal. Mereka tak punya luputan (dispensasi) khusus, terkecuali saat pamadegan, pelantikan secara niskala, sepenuhnya jadi tanggung jawab warga Desa Sukawana.
Arca Ida Batara di Pucak Panulisan kini tersimpan di Pura Bale Agung Sukawana, pada Meru Tumpang Lima. Langkah ini diambil tak lepas dari upaya krama Sukawana mencegah terjadinya pencurian, mengingat lokasi pura dengan tempat tinggal warga amat berjauhan. “Setelah warga kami mohonkan secara niskala ke hadapan Ida Batara, diizinkan disimpan di Desa Sukawana,” tambah Jero Kubayan Istri Kiwa.
Arca ini akan diusung ke Pura Pucak saban sepuluh tahun sekali, saat digelar upacara pacaruan agung bersaranakan empat kerbau dan seekor kijang. Ida Batara distanakan di pangaruman. Adapun tiap tahun, bertepatan dengan Purnama Kapat, hanya digelar upacara bertingkat alit, sederhana, dengan binatang kurban seekor kijang dan kerbau.
Yang bertanggung jawab terhadap segala kegiatan upacara adalah warga gebug domas. Terbagi atas 200 kepala keluarga (KK) dari Sukawana, Kintamani 200, Selulung 200, dan Desa Bantang 200. Masing-masing anggota gebug domas membawahi beberapa desa yang bila dikumpulkan seluruhnya mencapai 30 desa. Sebagai pamucuk, penanggung jawab inti, tetap krama Desa Sukawana. Manakala ada kekurangan sarana upacara merekalah yang melengkapi.
Dulu, bila upacara hanya bersaranakan kijang, penanggung jawab cukup dari warga Sukawana. Desa lain hanya mabakti. Bila upacara besar sepuluh tahun sekali barulah warga gebug domas turun semua.
Sejak tahun 1950-an ada pergeseran. Mungkin karena rasa bakti warga yang semakin tebal ditambah keinginan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan piodalan bertambah tinggi, maka tiap kali ada piodalan di Pura Pucak krama gebung domas ikut terlibat langsung. Mereka mengeluarkan urunan dana dan rerampe-reramon disesuaikan dengan kekayaan di desa masing-masing. Desa Selulung, misalkan, banyak punya bambu, maka masyarakatnya menghaturkan bambu.
Dulu, sebut Jero Kubayan Kiwa, piodalan yang digelar tiap tahun hanya menghaturkan seekor kijang. Sejak tahun 1950-an selain kijang juga dikurbankan seekor kerbau. “Itu boleh saja asalkan dengan keyakinan penuh dan sesuai kemampuan. Jangan sampai upacara dengan kurban besar justru keyakinan pada kebesaran Hyang Widhi melorot. Percuma jadinya,” Jero Kubayan mengingatkan.
Saat upacara ngebo papat juga dilaksanakan upacara pakelem bebek putih dan ayam putih di Pura Pucak Panulisan. Bebek dilengkapi kalung uang kepeng 22 keping, sedangkan ayam 11 keping. Leher bebek juga dikalungi surat yang menyatakan Desa Sukawana melaksanakan wali Ida Batara nyatur muka. Pakelem dilaksanakan di depan palinggih, pada tempat khusus berupa lesung.
“Ada kalanya lubang lesung kelihatan, ada kalanya tidak. Meskipun kecil, tapi bisa menampung semua sarana upacara yang akan dijadikan pakelem. Ini sulit dicerna akal sehat, memang,” tutur Kubayan Kiwa. I Wayan Sucipta
Lingga Purba, Siwa, Ganesa
Pura Pucak Panulisan tak hanya berfungsi sebagai tempat memuja keagungan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa Natha. Dari lokasi berketinggian 1.745 m dari permukaan laut ini orang bisa mengetahui jejak sejarah Bali tempo dulu.
Di tempat ini tersimpan ratusan peninggalan purbakala, artefak arkeologis.yang mampu memberikan gambaran apa dan bagaimana Bali dalam beberapa periode. Mulai dari zaman prasejarah hingga era pengaruh Hindu. Ini peninggalan para moyang yang memikat minat para peneliti, sejarawan, arkeolog dalam dan luar negeri. Mereka mencoba mengungkap berbagai ‘misteri’ di balik arti benda-benda bersejarah tersebut.
Beberapa peninggalan yang hingga kini tersimpan rapi di Puncak Panulisan, di antaranya batu peninggalan masa megalitik, satu batu berhiaskan bulan dan matahari, sebuah perwujudan Batara Brahma, tiga arca berpasangan, dua lingga perwujudan berpasangan, satu arca Ganesa, beberapa miniatur candi sebagai simbolis gunung tempat berstana para dewa atau roh suci.
Tersimpan pula ratusan lingga tak berpasangan dengan bentuk berbeda-beda. Ada utuh, tak jarang tinggal beberapa bagian tubuh saja. Secara keseluruhan lingga-lingga itu merupakan simbol Siwa. Tinggalan kuno ini saban malam dijaga warga dari Sukawana yang makemit bergilir di pura.
Berbagai kesimpulan mencuat dari para ilmuwan dalam maupun luar negeri perihal tinggalan purbakala di Pucak Panulisan. Dr WF Sturterheim dalam buku Oudheden Van Bali I-II tahun 1929-1930 menyebutkan, peninggalan purbakala yang tersimpan di Pucak Panulisan berasal dari era jayanya kerajaan Bali Kuno. Ini dihubungkan dengan ditemukan beberapa prasasti yang berhubungan dengan kehidupan Bali masa itu. Sebut, misalkan, prasasti berangka tahun 999 saka (1077 M) dan tahun 1352 Saka (1436 M).
Kebenaran tersebut diperkuat lagi dengan ditemukannya arca laki perempuan yang di belakangnya terdapat prasasti sebagai pratista Raja Udayana Warmadewa dengan Gunapriyadarmapatni. Raja ini menduduki tahta kerajaan di Bali sekitar tahun 911-933 Saka. Sedangkan arca wanita dengan sikap berdiri di belakangnya menyebut nama Batari Mandul, diperkirakan sebagai pratista permaisuri Raja Anak Wungsu yang tak berputra.
Tim Peneliti Fakultas Sastra Unud tahun 1922 menemukan, arca berpasangan (laki-perempuan) bermahkota karanda makuta dan memakai anting-anting berbentuk pilinan rambut, bertinggi 92 cm. Di bagian bawah ada prasasti bertuliskan angka tahun 933 Saka (1026 M), yang dipahat Mpu Bga pada hari pasar wijaya manggala. Berdasarkan angka tahun yang tertuang pada prasasti serta dikaitkan dengan persamaan unsur badaniahnya, maka peninggalan ini termasuk dalam periode Bali Kuno (abad ke-11).
Kemudian ada arca wanita berdiri dengan tinggi 154 cm yang terbuat dari batu padas. Pada bagian belakang sandaran ada terpahat prasasti menggunakan huruf Kadiri Kuadarat. Prasasti tersebut menyebut Batarai Mandul dan angka tahun 999 Saka (1077 M). Langgam serta angka tahun prasasti ini masuk periode Bali Kuno (abad ke-11).
Ada pula arca laki-laki berdiri dengan sikap tangan kanan dijulurkan ke bawah sejajar badan dan tangan kiri ditekuk ke depan. Arca ini oleh peneliti Unud diperkirakan terbuat pada masa Bali Madya (abad ke-13).
Selain arca Batari Mandul, di sini juga terdapat arca perwujudan Dewa Brahma, dengan atribut empat muka, atau caturmuka. Dewa yang kerap dihubungkan dengan caturmuka memang Dewa Brahma. Arca ini juga membawa kuncup bunga yang merupakan benda pelepasan. Ciri badaniah serta karakter agak kekaku-kakuan ini diperkirkan terbuat era Bali Madya (abad ke-13).
Di Pucak Panulisan juga tersimpan arca Dewa Ganesa dengan ciri berkepala gajah, berbadan manusia dengan perut buncit, bertangan empat, dan memiliki satu taring. Di belakang kepala Ganesa terpahat hiasan dedaunan. Dari ciri badaniah yang dimiliki, diperkirakan arca Ganesa ini tergolong ke dalam periode Bali Madya (abad ke-13).
I Gusti Ngurah Agung Wiratemaja, dalam karya tulis Pura Tegeh Koripan, Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Bangli (Kajian Kosepsi) menyebutkan, ada satu ciri kental yang menunjukkan tokoh yang digambarkan ini merupakan keluarga Dewa Siwa. Terbukti dengan adanya mata ketiga di antara kening, selain adanya beberapa lingga tunggal maupun lingga berpasangan sebagai simbol Dewa Siwa yang tersimpan di Pura Puncak Panulisan.