Pura Goa Raja merupakan tempat pertemuan (Pesamuhan) “Sang Hyang Naga
 Tiga” yakni tiga manifestasi Tuhan yakni “Sang Naga Anantaboga”, “Sang 
Hyang Naga Basuki” dan “Sang Hyang Naga Taksaka” yang masing-masing 
memiliki tempat tersendiri di komplek pura Besakih.
“Mereka bertemu di Pura Goa Raja untuk merencanakan dan menjaga 
Bali,” tuturnya yang mengaku ungkapannya itu didasarkan atas 
sumber-sumber tertulis sastra-agama Hindu dan tradisi lisan yang 
berkembang di masyarakat.
Dalam lontar “Kusuma Dewa” diungkapkan tentang keberadaan Batara di 
Buwana Agung (jagatraya) yakni Gunung Mahameru (Gunung Agung), gunung 
tertinggi di Bali puncaknya menggapai angkasa, pangkal dasarnya menembus
 tujuh lapisan bumi (Sapta Patala).
“Tempat itulah merupakan lokasi pertemuan para Dewata menciptakan 
baik (ayu) dan buruk (ala) menjaga jagat raya Pulau Bali. Oleh sebab itu
 jika Pura Besakih baik, Bali akan aman, tentram, damai dan sejahtera,” 
tutur Mangku Pande Made Satra.
Leluhur masyarakat Bali dimasa lampau memahami kenyataan alam semesta
 sebagai anugrah yang wajib disyukuri karena telah memberikan 
kerahayuan, keselamatan dan kesejahteraan umat manusia.
Hingga kini masyarakat Bali tidak henti-hentinya mewujudkan rasa 
bakti dan puji syukurnya kehadapan Tuhan Yang Maha Esa melalui upacara 
keagamaan baik di Pura Besakih maupun di lambung Gunung Agung, dengan 
harapan masyarakat Pulau Dewata selalu menemui keselamatan dan 
kedamaian.
Rsi Markandya pada tahun 111 saka (189 masehi) menanam “Pancadhatu” 
di komplek Pura Besakih hingga kini memberikan pelajaran berharga dan 
amat penting bagi masyarakat setempat.
“Amat keliru bila mengabaikan Pura Besakih, termasuk Pura Goa Raja, 
karena dari situlah pusat kerahayuan, keselamatan dan kesejahteraan 
jagad Bali,” ungkap I Wayan Surpha, mantan Sekjen Parisada Hindu Dharma 
Indonesia (PHDI) pusat, majelis tertinggi umat Hindu.
Perbaikan secara total terhadap Pura Goa Raja telah dilakukan tahun 
2002 atau pemugaran yang ketiga dilakukan menyusul meletusnya Gunung 
Agung tahun 1917, yang kemudian meletus lagi tahun 1963.
Sejarah
Sejarah
Pura Besakih dari segi historis terungkap melalui prasasti Purana dan
 lontar menerangkan, sebagai tempat beristananya para Dewa yang 
dimuliakan masyarakat Bali, sekaligus mempunyai arti penting bagi 
kehidupan keagamaan umat Hindu.
Mempunyai fungsi paling penting diantara pura-pura lainnya yang ada. 
Tempat suci itu memiliki peranan dan fungsi yang istimewa, antara lain 
sebagai Pura “Rwa Bhineda”, “Sad Kahyangan”, “Padma Bhuana” dan pusat 
dari segala kegiatan upacara keagamaan.
Perhatian terhadap pura Besakih dimulai dari pemerintahan Raja Sri 
Udayana Warmadewa (tahun 1007), hingga pemerintahan Raja-raja keturunan 
Sri Kresna Kepakisan (tahun 1444 dan 1454 Masehi).
Perhatian besar sang raja itu, dilanjutkan pada zaman penjajahan 
Belanda di Indonesia, yang menaruh perhatian cukup besar, diwujudkan 
dengan mengadakan restorasi secara besar-besaran terhadap beberapa 
komplek bangunan suci yang rusak akibat bencana alam.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah melakukan perbaikan terhadap 
beberapa bangunan fisik yang rusak, sekaligus menggelar rangkaian 
upacara keagamaan.
Sejak tahun 1967, Pemprop Bali menyerahkan pengawasan dan 
pemeliharaan Pura Besakih kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI),
 majelis tertinggi umat Hindu yang kemudian dimandatkan kepada 
“Prawartaka” Pura Besakih.
Namun, dalam kenyataannya Pemprop Bali bersama delapan Pemkab dan 
Pemkot secara bergotong royong memperbaiki bangunan yang rusak maupun 
mendukung pelaksanaan upacara keagamaan, selain peranserta masyarakat 
luas secara aktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar