Paing Dungulan
adalah Purnama Kedasa. Sebagaimana biasa saat itu berlangsung upacara
besar di Pura Ulun Danu Batur. Desa Batur, Kintamani, Bangli. Pura Ulun
Danur Batur sebagai kahyangan jagat umat Hindu di Bali, dimulialan
sebagai stana Bhatara Wisnu. Sedangkan Bhatara Siwa di Besakih dan
Brahma di Lempuyang Luhur, Karangasem.
SEBAGAI
stana Bhatara Wisnu, yang dalam konsep masyarakat Batur terkenal dengan
sebutan Bhatari Dewi Danuh, Pura Ulun Danu memiliki historis yang
sangat menarik, baik berkembang secara turun-temurun sebagai cerita
rakyat yang hidup di Batur serta masyarakat pemuja di sekitarnya, maupun
sebagaimana termuat dalam beberapa babad.
Paling
tidak, sejarah Pura Ulun Danu Batur termuat dalam Babad Pasek yang
ditulis oleh Jro Mangku Gede Ketut Soebandi, Babad Pasek yang ditulis
oleh I Gusti Bagus Sugriwa, serta Babad Kayu Selem yang disalin oleh
Drs. Putu Budiastra, dkk. Bahkan sejarah pura ini juga termuat dalam
Raja Purana Pura Ulun Danu Batur I dan II yang disusun oleh Drs. I Putu
Budiastra, dkk. Sejarah dan terjadinya Gunung Batur serta Pura Ulun Danu
Batur dapat diuraikan sebagai berikut.
Zaman Bahari
Dalam
versi Babad Pasek dan Babad Kayu Selem, semula Pulau Bali dan
Selaparang masih menyatu dan terombang-ambing dihanyutkan arus samudera.
Waktu itu, Ida Bhatara Hyang Pasupati yang berstana di Puncak Gunung
Prabulingga (Gunung Semeru) merasa kasihan melihat kedua pulau tersebut
terombang-ambing. Beliau lantas mengutus tiga putranya yakni Bhatara
Hyang Geni Jaya, Bhatara Hyang Mahadewa, dan Bhatari Dewi Danu agar
menyusup ke Pulau Bali.
‘Nanda
bertiga, Geni Jaya, Putra Jaya (Mahadewa) dan Dwi Danuh hendaknya nanda
bertiga datang ke Pulau Bali agar pulau tersebut tidak
terombang-ambing,’ demikian sabda Hyang Pasupati. ‘Mohon maaf, nanda
ayahanda, nanda masih sangat muda dan belum berpengalaman,’ jawab ketiga
putranya. ‘Nanda jangan khawatir,’ tandas Hyang Pasupati. Begitulah,
akhirnya Hyang Pasupati memasukkan ketiga putranya ke dalam kelapa
gading, dan dihanyutkan lewat dasar laut. Secara gaib ketiganya tiba di
Gunung Agung, dan Beliau sepakat mencari tempat bersemayam. Bhatara
Hyang Geni Jaya memutuskan berstana di Gunung Lempuyang, Bhatara Putra
Jaya (Mahadewa) berstana di Gunung Agung dengan Pura Besakih, dan
Bhatari Dewi Danu memilih sebuah kubangan besar yakni Danau Batur dengan
Gunung Batur sebagai puncaknya.
Setelah
itu, Hyang Pasupati mengirim empat putra lainnya, seterusnya berstana
di Andakasa, Gunung Beratan (Pucak Mangu), Gunung Batukaru, dan Pejeng.
Sehingga bila dirunut secara historis, khususnya dari kajian babad,
seharusnya di Bali ada sapta kahyangan bukannya sad kahyangan.
Purana Tatwa Batur
Siapa
dan bagaimana Gunung Batur serta Beliau yang bersemayam di Pura Ulun
Danu Batur, tersirat pula dalam salah satu bagian: Raja Purana Pura Ulun
Danu Batur — Purana Tatwa. Begitu pula, uraian ini sangat populer di
sekitar pemuja Pura Ulun Danu Batur.
Kisahnya
adalah: Tersebutlah tiga putra Bhatara Indra yang berstana di Pura
Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar, bertanya pada kakeknya Hyang
Pasupati di Gunung Semeru. ‘Mohon maaf Kakek Bhatara, siapakah gerangan
ayahanda cucunda?’
‘Oh
kalau itu cucunda tanyakan, biar nanti bibi yang mengantar cucunda
menjumpai ayahanda’. ‘Nah nanda I Ratu Ayu Mas Membah (sebutan Bhatari
Dewi Danu), sekarang berangkatlah ke Tirta Empul antarkan kemenakan
nanda menghadap ayahandanya.’
Demikianlah
I Ratu Ayu Mas Membah berangkat ke Bali diiringi ketiga putra Bhatara
Indra serta I Ratu Ayu Arak Api. Tak terkisahkan di jalan ketiganya
telah tiba di stana Bhatara Indra di Tirta Empul, dan langsung menghadap
Bhatara Indra. ‘Oh dinda Dewi datang, siapa kiranya anak tampak ketiga
ini?’.
‘Oh
kanda tidak kenal, inilah ketiga putra kanda yang yang semula di Semeru
bersama ayahanda’. ‘Oh begitu, kemarilah Nanda bertiga maaf ayahanda
sudah tua, dan pandangan ayah sudah berkurang’.
‘Nah,
nanda yang tertua, ayah tak punya apa-apa, kiranya apa yang akan nanda
minta?’. ‘Mohon maaf ayahanda dan kiranya ada nanda memohon goa yang
besar serta air suci’. ‘Oh kalau itu, baiklah, kini ayah beri nama nanda
I Ratu Gede Gunung Agung, dan di sanalah nanda menetap di bekas tempat
ayah di pertengahan Gunung Agung, dan ini air suci, nanti beri nama
tirta Mas Manik Kusuma.’ Begitulah, beliau lantas berstana di sekitar
pertengahan Gunung Agung. Selanjutnya, ‘Nanda yang kedua I Gede Nengah,
apa yang nanda minta?’. ‘Hamba juga minta air suci’. ‘Nah nanda I Gede
Nengah tempatkanlah air suci ini di barat laut tempat ibunda, dan beri
nama tirta Mas Manik Mampeh. Letaknya di barat laut Danau Batur.’
‘Nah
nanda yang terkecil namun badannya terbesar apa yang nanda minta?’.
‘Nanda minta balai agung’. Beliau diberikan dan distanakan di Manukaya.
Lalu, Bhatara Indra meminta Mangku Pucangan agar mengantarkan I Ratu Ayu
Mas Membah menuju tempatnya. Beliau dijunjung menuju arah timur laut,
di suatu tempat. Karena kepayahan menjunjung I Ratu Ayu Mas Membah
istirahat sambil nafasnya ‘ah-ah, ah’, sehingga tempat itu disebut
Basang Ah.
Perjalanan
dilanjutkan dan tiba di Desa Pengotan. Saat itu penduduk sedang rapat.
Mangku Pucangan berkata: ‘Tuan berhenti sebentar bersidang, ini Paduka
datang’. Mereka tertawa karena melihat wujud Ida Bhatari layaknya ukiran
janur yang dijunjung oleh Mangku Pucangan. ‘Oh ha, ha, ha dimana ada
Bhatari, orang menjunjung sampyan (ukiran rontal) banyak capak’. Ida
Bhatari berkenan menunjukkan wajah aslinya dan berkata, ‘Nanti jika
kalian semua memuja kepada-Ku, masih di pintu gerbang akan diterbangkan
angin’. Begitulah yang terjadi sampai saat ini, biasanya sesaji warga
Pengotan, hancur di candi Pura Ulun Danu Batur.
Perjalanan
dilanjutkan. Sampai di Penelokan Mangku Pucangan melihat air payau
sangat luas dan Bhatari Ratu Ayu Mas Membah meminta mencari benang dan
bulu ayam. Benda tersebut dilemparkan ke tengah payau lalu benang
tersebut diikuti oleh Mangku Pucangan. Tepat di tengah air payau Beliau
berkata, ‘Sudahlah Mangku Pucangan tempatkan Aku di sini’.
Begitu
Beliau diturunkan, mendadak tempat ini makin tinggi terus menjadi
sebuah gunung tepat di tengah payau (danau). Gunung itu diberi nama
Gunung Tempur/ Tempuh Hyang. Artinya bekas pijakan kaki Ida Bhatari,
sehingga menjadi Gunung Tampur Hyang. Nama lain dari Gunung Tampur Hyang
adalah Gunung Lebah yang artinya sebuah gunung yang letaknya di dataran
rendah, serta Gunung Sinarata — yang diartikan oleh masyarakat Batur
‘gunung yang mendapat sinar matahari secara merata’.
Demikianlah
ceritanya, dan secara berkelanjutan akibat letusan Gunung Batur, mereka
berpindah ke atas, serta puranya bernama Pura Ulun Danu Batur yang
pujawalinya jatuh setiap Purnama Kedasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar