Menurut agama hindu banyak sekali sumber sumber hukum yang dipakai sebagai rujukan dalam usaha mencari penyelesaian permasalahan yang dihadapi, sesuai dengan konteks-nya.
Manawa Darma sastra, Palasara sastra, dsbnya sedangkan yg tidak tertulis disebut dengan Loka dresta dan atmanastuti (yang merupakan mufakat yg terbaik merupkan bisamaorang banyak dilingkungan sekitarnya)
Ingat Hukum adalah merupakan produk jaman, sudah pasti hukum itu akan menyesuai kan diri sesuai dgn tuntutan jaman, oleh karena itulah undang undang (hukum itu) perlu adanya suatu revisi.
Berbeda dengan Veda-Wahyu sabda tuhan: tak pernah berawal dan berakhir selalu relevan sepanjang jaman.
1. Pengertian pawiwahan
Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain:
- Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
- Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut: ‘Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”(Subekti, 1985: 23).
- Wirjono Projodikoro, Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).
- Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan ( wiwaha) adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).
- Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan
kerabat, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula
menyangkut persoalan keagamaan Dengan terjadinya perkawinan, maka suami
istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus
silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum Adat tidak
semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami
istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina
kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan
hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan
pihak suami. Bukan itu saja menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan
tidak hanya menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan
leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu dalam setiap
upacara perkawinan yang dilaksanakan secara Adat mengunakan
sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka.
(Sumiarni, 2004:4). - Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV dijelaskan bahwa “perkawinan ialah ikatan sekala niskala (lahir bathin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaki rabi) “(Parisada Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar