Hawa
 dingin menulang merajam tubuh siang itu, di kawasan Kintamani. Kabut 
tipis mulai turun, menyaputi pepohonan. Seorang pengendara sepeda motor 
menuju arah Tejakula, Buleleng Timur, berhenti di sebelah kanan jalan 
menuju Desa Sukawana-Singaraja-Kintamani. Wanita yang dibonceng turun, 
diam sejenak sebelum akhirnya menuju tempat suci di sebelah kanan jalan.
 Itulah Pura Puncak Panulisan. “Kami terbiasa bila pulang ke Buleleng 
lewat Kintamani, berhenti sejenak di sini,” tutur Luh Putu Agustini, ibu
 dua putri dari Desa Pacung, Tejakula, itu.
Pura
 Pucak Panulisan di Desa Sukawana, Kintamani, Bangli, memang kerap 
disinggahi orang-orang. Tak sebatas orang Bali, juga tetamu asing yang 
berkunjung ke Bali.
Tempat suci berjarak kira-kira 70 km dari Denpasar ini memiliki banyak sebutan. Ada menamakan Pura Panarajon, ada pula menamai Pura Tegeh Koripan. Karena letaknya di Bukit Panulisan, orang-orang pun kebanyakan menyebut Pura Pucak Panulisan.
Tempat suci berjarak kira-kira 70 km dari Denpasar ini memiliki banyak sebutan. Ada menamakan Pura Panarajon, ada pula menamai Pura Tegeh Koripan. Karena letaknya di Bukit Panulisan, orang-orang pun kebanyakan menyebut Pura Pucak Panulisan.
Secara
 garis besar kompleks pura ini menghadap ke selatan, kecuali pura utama 
yang mengarah ke barat. Pada halaman utama (jeroan) tersimpan 
tinggalan-tinggalan dari masa prasejarah hingga Bali Kuno.
Berpijak dari struktur bangunan, pura ini menganut perpaduan dua konsep. Pertama dari masa megalitik yang tercermin lewat konsep Gunung Suci dan terealisasikan dari wujud bangunan teras piramida, bertingkat-tingkat. Konsep kedua tergambar dalam Sapta Loka, tampak dari struktur tingkatan pura, terdiri dari tujuh tingkatan teras utama yang dihubungkan anak-anak tangga. Pada tingkat ketiga yaitu pada tingkat Swah Loka, terdapat dua palinggih kecil, Pura Dana dan Pura Taman Dana. Pada tingkat keempat, di bagian Maya Loka, di sebelah timur jalan, ditempatkan Pura Ratu Penyarikan, dan di sebelah barat terdapat pemujaan keluarga Dadya Bujangga.
Tingkatan keenam, Tapa Loka, berdiri Pura Ratu Daha Tua. Adapun tingkatan ketujuh (Sunya Loka) merupakan pucak Pura Tegeh Koripan. Di sini ada palinggih pangaruman, piyasan, serta gedong sebagai tempat menyimpan benda-benda purbakala.
Berpijak dari struktur bangunan, pura ini menganut perpaduan dua konsep. Pertama dari masa megalitik yang tercermin lewat konsep Gunung Suci dan terealisasikan dari wujud bangunan teras piramida, bertingkat-tingkat. Konsep kedua tergambar dalam Sapta Loka, tampak dari struktur tingkatan pura, terdiri dari tujuh tingkatan teras utama yang dihubungkan anak-anak tangga. Pada tingkat ketiga yaitu pada tingkat Swah Loka, terdapat dua palinggih kecil, Pura Dana dan Pura Taman Dana. Pada tingkat keempat, di bagian Maya Loka, di sebelah timur jalan, ditempatkan Pura Ratu Penyarikan, dan di sebelah barat terdapat pemujaan keluarga Dadya Bujangga.
Tingkatan keenam, Tapa Loka, berdiri Pura Ratu Daha Tua. Adapun tingkatan ketujuh (Sunya Loka) merupakan pucak Pura Tegeh Koripan. Di sini ada palinggih pangaruman, piyasan, serta gedong sebagai tempat menyimpan benda-benda purbakala.
Belum
 jelas, kapan sejatinya pura ini mulai dibangun. Tim Universitas Udayana
 yang meneliti pura ini tahun 1992 tak mendapatkan kebenderangan sejarah
 awal pendirian pura. Benda-benda purbakala yang tersimpan di sana tak 
satu pun menjelaskan perihal sejarah awal pendirian pura ini, termasuk 
nama Panarajon ataupun Koripan. Para peneliti hanya menyimpulkan 
kesamaan kata pucak, tegeh, dan panarajon yang disebut berasal dari kata
 tuju, berarti tinggi.
Prasasti
 Sukawana A-1 berangka tahun 804 Saka (882 M) yang telah dibaca arkeolog
 R Goris pun dinilai tak memberikan kepastian perihal Pura Pucak 
Panulisan ini. Prasasti ini memang menyebutkan bahwa di Bukit Cintamani 
(Kintamani) ada bangunan suci bernama Ulan kurang mendapat perhatian dan
 sering dijadikan tempat persinggahan, peristirahatan anak atar (para 
pengalu). Bangunan tersebut mendapat perhatian khusus penguasa Bali kala
 itu, lalu ditugaskanlah Senapati Danda yang dijabat Kumpi Marodaya 
dibantu beberapa bhiksu, yakni Siwakangcita, Siwanirmmala, dan 
Siwaprajna membangun kembali tempat suci ini.
Dalam
 buku Keadaan Pura-pura di Bali, Goris juga menyinggung kehadiran Pura 
Pucak Panulisan. Ilmuwan Belanda yang meninggal di Bali ini menyebutkan 
pusat kerajaan pada zaman Bali Kuna terletak di Bedulu, Pejeng. Sebagai 
Pura Panataran sekaligus pemujaan awal terjadinya kehidupan di Bali, 
Goris menunjuk Pura Penataran Sasih di Intaran, Pejeng, Gianyar. Pura 
tempat memuja roh suci leluhur adalah Pura Pucak Panulisan, di 
Kintamani, Bangli, sedangkan sebagai pura laut kemungkinan berlokasi di 
Desa Pejeng berupa Pura Puser Tasik.
Menilik
 lokasi pura di atas bukit dengan sistematika teras piramida ditambah 
dengan tinggalan-tinggalan megalitik, dapat diduga kuat dari dulu pura 
ini menjadi tempat pemujaan bagi warga desa-desa Bali Aga di Kintamani, 
selain sebagai tempat pemujaan roh leluhur, terutama raja-raja Bali 
Kuna. Ini dibuktikan dengan arca-arca perwujudan, seperti Arca Bhatari 
Mandul yang merupakan perwujudan Raja Anak Wungsu. “Ada beragam cerita 
terkait keberadaan Pura Pucak Panulisan. Tapi saya sendiri belum 
mendapatkan kepastian mana yang benar,” urai Jero Kubayan Kiwa, Kubayan 
di Pura Pucak Panulisan.
Pernah
 ada yang menghubungkan keberadaan pura ini dengan Pura Batukaru di 
Tabanan. Konon, Ida Batara di Pucak Panulisan dengan Pura Batukaru 
bersaudara. Semula dibangun sad kahyangan di Pucak Sukawana ini, setelah
 rajeg di Panulisan baru membangun di Pucak Batukaru. Di kedua pura ini 
wewenang spiritual paling tinggi memang dipegang “pejabat” yang 
dinamakan Jero Kubayan. Termasuk saat berlangsung upacara besar, tak 
mempergunakan pandita atau sulinggih layaknya di beberapa pura sad 
kahyangan di Bali.
Khusus
 di Pura Pucak Panulisan ada dua Kubayan, yakni Kubayan Kiwa dan Kubayan
 Mucuk. Keduanya bertugas mengantarkan bakti krama yang menghaturkan 
sembah. Jero Kubayan ini memiliki senjata berwujud golok dipergunakan 
sebagai alat saat ngendag, mulai memotong lis waktu digelar upacara. 
Saat menghaturkan bakti mempergunakan mantra, dinamakan puja sana.
Dalam
 struktur kemasyarakatan Sukawana, yang disebut ulu apad, kubayan adalah
 jabatan tertinggi. Di bawahnya ada krama panglanan, naka, nyingguk, dan
 kabau. Jabatan kubayan dipilih masyarakat dan hanya diganti bila yang 
bersangkutan sudah punya kumpi (cicit). Bila tak berketurunan, seperi 
Kubayan Kiwa kini, jabatan kubayan akan dipegang sampai meninggal. 
Mereka tak punya luputan (dispensasi) khusus, terkecuali saat pamadegan,
 pelantikan secara niskala, sepenuhnya jadi tanggung jawab warga Desa 
Sukawana.
Arca
 Ida Batara di Pucak Panulisan kini tersimpan di Pura Bale Agung 
Sukawana, pada Meru Tumpang Lima. Langkah ini diambil tak lepas dari 
upaya krama Sukawana mencegah terjadinya pencurian, mengingat lokasi 
pura dengan tempat tinggal warga amat berjauhan. “Setelah warga kami 
mohonkan secara niskala ke hadapan Ida Batara, diizinkan disimpan di 
Desa Sukawana,” tambah Jero Kubayan Istri Kiwa.
Arca ini akan diusung ke Pura Pucak saban sepuluh tahun sekali, saat digelar upacara pacaruan agung bersaranakan empat kerbau dan seekor kijang. Ida Batara distanakan di pangaruman. Adapun tiap tahun, bertepatan dengan Purnama Kapat, hanya digelar upacara bertingkat alit, sederhana, dengan binatang kurban seekor kijang dan kerbau.
Yang bertanggung jawab terhadap segala kegiatan upacara adalah warga gebug domas. Terbagi atas 200 kepala keluarga (KK) dari Sukawana, Kintamani 200, Selulung 200, dan Desa Bantang 200. Masing-masing anggota gebug domas membawahi beberapa desa yang bila dikumpulkan seluruhnya mencapai 30 desa. Sebagai pamucuk, penanggung jawab inti, tetap krama Desa Sukawana. Manakala ada kekurangan sarana upacara merekalah yang melengkapi.
Arca ini akan diusung ke Pura Pucak saban sepuluh tahun sekali, saat digelar upacara pacaruan agung bersaranakan empat kerbau dan seekor kijang. Ida Batara distanakan di pangaruman. Adapun tiap tahun, bertepatan dengan Purnama Kapat, hanya digelar upacara bertingkat alit, sederhana, dengan binatang kurban seekor kijang dan kerbau.
Yang bertanggung jawab terhadap segala kegiatan upacara adalah warga gebug domas. Terbagi atas 200 kepala keluarga (KK) dari Sukawana, Kintamani 200, Selulung 200, dan Desa Bantang 200. Masing-masing anggota gebug domas membawahi beberapa desa yang bila dikumpulkan seluruhnya mencapai 30 desa. Sebagai pamucuk, penanggung jawab inti, tetap krama Desa Sukawana. Manakala ada kekurangan sarana upacara merekalah yang melengkapi.
Dulu,
 bila upacara hanya bersaranakan kijang, penanggung jawab cukup dari 
warga Sukawana. Desa lain hanya mabakti. Bila upacara besar sepuluh 
tahun sekali barulah warga gebug domas turun semua.
Sejak
 tahun 1950-an ada pergeseran. Mungkin karena rasa bakti warga yang 
semakin tebal ditambah keinginan bertanggung jawab terhadap 
penyelenggaraan piodalan bertambah tinggi, maka tiap kali ada piodalan 
di Pura Pucak krama gebung domas ikut terlibat langsung. Mereka 
mengeluarkan urunan dana dan rerampe-reramon disesuaikan dengan kekayaan
 di desa masing-masing. Desa Selulung, misalkan, banyak punya bambu, 
maka masyarakatnya menghaturkan bambu.
Dulu,
 sebut Jero Kubayan Kiwa, piodalan yang digelar tiap tahun hanya 
menghaturkan seekor kijang. Sejak tahun 1950-an selain kijang juga 
dikurbankan seekor kerbau. “Itu boleh saja asalkan dengan keyakinan 
penuh dan sesuai kemampuan. Jangan sampai upacara dengan kurban besar 
justru keyakinan pada kebesaran Hyang Widhi melorot. Percuma jadinya,” 
Jero Kubayan mengingatkan.
Saat
 upacara ngebo papat juga dilaksanakan upacara pakelem bebek putih dan 
ayam putih di Pura Pucak Panulisan. Bebek dilengkapi kalung uang kepeng 
22 keping, sedangkan ayam 11 keping. Leher bebek juga dikalungi surat 
yang menyatakan Desa Sukawana melaksanakan wali Ida Batara nyatur muka. 
Pakelem dilaksanakan di depan palinggih, pada tempat khusus berupa 
lesung.
“Ada
 kalanya lubang lesung kelihatan, ada kalanya tidak. Meskipun kecil, 
tapi bisa menampung semua sarana upacara yang akan dijadikan pakelem. 
Ini sulit dicerna akal sehat, memang,” tutur Kubayan Kiwa. I Wayan Sucipta
Lingga Purba, Siwa, Ganesa
Pura
 Pucak Panulisan tak hanya berfungsi sebagai tempat memuja keagungan 
Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa Natha. Dari lokasi 
berketinggian 1.745 m dari permukaan laut ini orang bisa mengetahui 
jejak sejarah Bali tempo dulu. 
Di
 tempat ini tersimpan ratusan peninggalan purbakala, artefak 
arkeologis.yang mampu memberikan gambaran apa dan bagaimana Bali dalam 
beberapa periode. Mulai dari zaman prasejarah hingga era pengaruh Hindu.
 Ini peninggalan para moyang yang memikat minat para peneliti, 
sejarawan, arkeolog dalam dan luar negeri. Mereka mencoba mengungkap 
berbagai ‘misteri’ di balik arti benda-benda bersejarah tersebut. 
Beberapa
 peninggalan yang hingga kini tersimpan rapi di Puncak Panulisan, di 
antaranya batu peninggalan masa megalitik, satu batu berhiaskan bulan 
dan matahari, sebuah perwujudan Batara Brahma, tiga arca berpasangan, 
dua lingga perwujudan berpasangan, satu arca Ganesa, beberapa miniatur 
candi sebagai simbolis gunung tempat berstana para dewa atau roh suci.
Tersimpan
 pula ratusan lingga tak berpasangan dengan bentuk berbeda-beda. Ada 
utuh, tak jarang tinggal beberapa bagian tubuh saja. Secara keseluruhan 
lingga-lingga itu merupakan simbol Siwa. Tinggalan kuno ini saban malam 
dijaga warga dari Sukawana yang makemit bergilir di pura.
Berbagai
 kesimpulan mencuat dari para ilmuwan dalam maupun luar negeri perihal 
tinggalan purbakala di Pucak Panulisan. Dr WF Sturterheim dalam buku 
Oudheden Van Bali I-II tahun 1929-1930 menyebutkan, peninggalan 
purbakala yang tersimpan di Pucak Panulisan berasal dari era jayanya 
kerajaan Bali Kuno. Ini dihubungkan dengan ditemukan beberapa prasasti 
yang berhubungan dengan kehidupan Bali masa itu. Sebut, misalkan, 
prasasti berangka tahun 999 saka (1077 M) dan tahun 1352 Saka (1436 M). 
Kebenaran
 tersebut diperkuat lagi dengan ditemukannya arca laki perempuan yang di
 belakangnya terdapat prasasti sebagai pratista Raja Udayana Warmadewa 
dengan Gunapriyadarmapatni. Raja ini menduduki tahta kerajaan di Bali 
sekitar tahun 911-933 Saka. Sedangkan arca wanita dengan sikap berdiri 
di belakangnya menyebut nama Batari Mandul, diperkirakan sebagai 
pratista permaisuri Raja Anak Wungsu yang tak berputra.
Tim Peneliti Fakultas Sastra Unud tahun 1922 menemukan, arca berpasangan (laki-perempuan) bermahkota karanda makuta dan memakai anting-anting berbentuk pilinan rambut, bertinggi 92 cm. Di bagian bawah ada prasasti bertuliskan angka tahun 933 Saka (1026 M), yang dipahat Mpu Bga pada hari pasar wijaya manggala. Berdasarkan angka tahun yang tertuang pada prasasti serta dikaitkan dengan persamaan unsur badaniahnya, maka peninggalan ini termasuk dalam periode Bali Kuno (abad ke-11).
Kemudian ada arca wanita berdiri dengan tinggi 154 cm yang terbuat dari batu padas. Pada bagian belakang sandaran ada terpahat prasasti menggunakan huruf Kadiri Kuadarat. Prasasti tersebut menyebut Batarai Mandul dan angka tahun 999 Saka (1077 M). Langgam serta angka tahun prasasti ini masuk periode Bali Kuno (abad ke-11).
Ada pula arca laki-laki berdiri dengan sikap tangan kanan dijulurkan ke bawah sejajar badan dan tangan kiri ditekuk ke depan. Arca ini oleh peneliti Unud diperkirakan terbuat pada masa Bali Madya (abad ke-13).
Selain arca Batari Mandul, di sini juga terdapat arca perwujudan Dewa Brahma, dengan atribut empat muka, atau caturmuka. Dewa yang kerap dihubungkan dengan caturmuka memang Dewa Brahma. Arca ini juga membawa kuncup bunga yang merupakan benda pelepasan. Ciri badaniah serta karakter agak kekaku-kakuan ini diperkirkan terbuat era Bali Madya (abad ke-13).
Di Pucak Panulisan juga tersimpan arca Dewa Ganesa dengan ciri berkepala gajah, berbadan manusia dengan perut buncit, bertangan empat, dan memiliki satu taring. Di belakang kepala Ganesa terpahat hiasan dedaunan. Dari ciri badaniah yang dimiliki, diperkirakan arca Ganesa ini tergolong ke dalam periode Bali Madya (abad ke-13).
Tim Peneliti Fakultas Sastra Unud tahun 1922 menemukan, arca berpasangan (laki-perempuan) bermahkota karanda makuta dan memakai anting-anting berbentuk pilinan rambut, bertinggi 92 cm. Di bagian bawah ada prasasti bertuliskan angka tahun 933 Saka (1026 M), yang dipahat Mpu Bga pada hari pasar wijaya manggala. Berdasarkan angka tahun yang tertuang pada prasasti serta dikaitkan dengan persamaan unsur badaniahnya, maka peninggalan ini termasuk dalam periode Bali Kuno (abad ke-11).
Kemudian ada arca wanita berdiri dengan tinggi 154 cm yang terbuat dari batu padas. Pada bagian belakang sandaran ada terpahat prasasti menggunakan huruf Kadiri Kuadarat. Prasasti tersebut menyebut Batarai Mandul dan angka tahun 999 Saka (1077 M). Langgam serta angka tahun prasasti ini masuk periode Bali Kuno (abad ke-11).
Ada pula arca laki-laki berdiri dengan sikap tangan kanan dijulurkan ke bawah sejajar badan dan tangan kiri ditekuk ke depan. Arca ini oleh peneliti Unud diperkirakan terbuat pada masa Bali Madya (abad ke-13).
Selain arca Batari Mandul, di sini juga terdapat arca perwujudan Dewa Brahma, dengan atribut empat muka, atau caturmuka. Dewa yang kerap dihubungkan dengan caturmuka memang Dewa Brahma. Arca ini juga membawa kuncup bunga yang merupakan benda pelepasan. Ciri badaniah serta karakter agak kekaku-kakuan ini diperkirkan terbuat era Bali Madya (abad ke-13).
Di Pucak Panulisan juga tersimpan arca Dewa Ganesa dengan ciri berkepala gajah, berbadan manusia dengan perut buncit, bertangan empat, dan memiliki satu taring. Di belakang kepala Ganesa terpahat hiasan dedaunan. Dari ciri badaniah yang dimiliki, diperkirakan arca Ganesa ini tergolong ke dalam periode Bali Madya (abad ke-13).
I
 Gusti Ngurah Agung Wiratemaja, dalam karya tulis Pura Tegeh Koripan, 
Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Bangli (Kajian Kosepsi) menyebutkan,
 ada satu ciri kental yang menunjukkan tokoh yang digambarkan ini 
merupakan keluarga Dewa Siwa. Terbukti dengan adanya mata ketiga di 
antara kening, selain adanya beberapa lingga tunggal maupun lingga 
berpasangan sebagai simbol Dewa Siwa yang tersimpan di Pura Puncak 
Panulisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar