Jumat, 18 April 2014

Silence Day



 
 
 Setelah Car Free Day, ada baiknya kota-kota besar Indonesia juga memberlakukan Silence Day. Orang Bali menyebutnya Nyepi. Tujuannya adalah pembersihan diri, fisik, maupun spiritual. Bumi pun ikut bernafas lega, alam semesta merayakan ketenangan.
 Suara burung, angin, dan air jauh lebih indah dari klakson sepeda motor dan cacian pengemudinya. Televisi yang menyiarkan kegaduhan berhenti sejenak, juga gosip-gosip yang meng-entertain kesusahan orang lain. Banyak orang yang tak menyadari keluhan-keluhan dan rasa bencinya telah memengaruhi perputaran hormon orang-orang lain. Kegelisahan dan rasa iri begitu mudah diedarkan, dengan akun palsu yang dibuat sendiri, gratis pula.
 Tak banyak yang menyadari bahwa energi negatif itu tak lepas dari hukum kekekalan energi, terus menekan tiada henti. Beberapa kali saya berada di tengah-tengah masyarakat Bali menikmati Hari Nyepi. Saya merasa tengah berdialog dengan Tuhan dan penuh kedamaian. Esok paginya, udara jauh lebih bersih. Oksigennya banyak dan segar sekali. Namun, seperti biasa, bagi orang kota yang terperangkap dalam suasana itu, apakah karena pesawatnya tak bisa terbang, atau tugas butuh waktu lebih lama berada dalam suasana itu, sudah pasti menimbulkan kegalauan.
 Bagi orang kota, perubahan selalu disambut dengan kegaduhan dan perlawanan. Khususnya, saat lampu di lorong-lorong hotel dipadamkan, diganti lilin-lilin kecil. Sejumlah orang mengeluh. Beberapa orang yang ingin berlibur merasa telah tertangkap dalam kesunyian. Mau pulang tidak bisa, jadi yang keluar hanya keluhan. Namun, begitu selesai, merekalah yang pertama-tama menyebarkan rasa bahagia. Setiap pengorbanan selalu ada imbalannya, demikian juga setiap amarah ada karmanya.
Aura Negatif
 Kerabat-kerabat saya di Pulau Dewata sering mengucapkan kata “aura positip-aura negatip”. Menurut sahabat-sahabat saya di Desa Kedewatan-Ubud, hampir setiap upacara, umat Bali secara simbolik melakukan pembersihan diri, sekaligus menjinakkan aura-aura negatif. Nafsu duniawi, angkara murka, semua yang jahat dilambangkan dengan warna hitam dan wajah-wajah yang menakutkan.
 Semua itu harus dijinakkan. Di Jakarta kita menyebutnya setan atau iblis. Roh-roh jahat pembawa penderitaan. Sedangkan yang baik-baik, suci, dilambangkan dengan segala yang serbaputih dan berwajah ceria. Hitam dan putih selalu berjalan beriringan. Tanpa ada hitam, tak ada keindahan putih. Bagi saya, sehari saja orangorang kota berhenti beraktivitas dan menjalankan Silence Day, manfaatnya akan banyak sekali. Apalagi bila Catur Brata juga dijalankan: Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan, dan Amati Lelanguan.
 Berhenti menyalakan api (tidak mengobarkan hawa nafsu), berhenti kerja (fokus pada Tuhan, menyucikan rohani), tidak bepergian (introspeksi diri, kontemplasi), dan tidak mengobarkan hedonisme. Bayangkan, berapa ton karbon hitam yang bisa kita hemat dan berapa juta ton dosa umat manusia, termasuk segala sampahnya, bisa kita bersihkan. Kapitalisme hanya bisa berhenti kalau semuanya berhenti konsumsi bersama-sama. Walau cuma sesaat.
 Buat orang desa, diam berarti emas. Tetapi, buat orang kota, bicara itu emas. Seorang penyiar radio berkelakar, ”Saya dibayar hanya kalau saya bawel.” Entah bicara positif, entah negatif. Pokoknya bicara. Tetapi, bagi orang-orang yang mendengarkan, emas itu baru berkilauan kalau banyak orang diam. Sesuatu yang berkilauan itu hanya tampak dari aura-aura yang positif. Aura-aura positif dan negatif sama-sama saling menularkan.
 Orang tak senang terhadap sesuatu hal akan didukung oleh orang-orang yang juga tidak senang. Provokator pun laris manis, disambut umpatan- umpatan baru. Di sosial media seorang yang menyebarkan kalimat-kalimat negatif jarang dibantah. Yang ada hanya gulungan-gulungan aura negatif. Hanya orang yang punya lentera jiwa yang terang yang berani mematahkan aura-aura negatif itu. Kicauan negatif biasa dijawab dengan umpatan-umpatan yang lebih negatif.
 Seorang dokter yang memasang foto kepala seekor anjing di Facebook-nya bisa-bisanya mengeluarkan umpatan-umpatan liar sambil mengutip kalimat seorang imam (yang juga beraura negatif). Ia seperti tengah melupakan profesinya. Tetapi, begitu dikritik, ia dengan lantang menyebutkan, “Saya dokter di rumah sakit ‘X’.”
 Indonesia yang Lebih Sejuk
 Kalau orang kota menjalankan Silence Day sehari saja, rasanya Indonesia akan lebih sejuk. Polusi udara dan polusi pikiran akan membuat bangsa ini lebih sehat. Toh, kita sudah lihat, orang-orang yang bersuara negatif ternyata “penjahat” pula. Dulu kita pikir mereka hebat, pemberani, kritis, dan jujur. Ternyata mereka menyimpan agenda-agenda terselubung. Menyerang untuk bertahan.
 Banyak persoalan yang mereka sembunyikan. Begitu dibuka, marahnya minta ampun. Bahkan bisa memerkarakan orang lain. Aura-aura negatif ini sudah terlalu banyak ditabur dan memerangkap banyak orang. Kita pikir itu demokrasi, padahal democrazy. Wartawan saja bisa terkecoh karena mereka pandai membuat “framing”. Pandai menjerat tokoh-tokoh besar untuk meng-endorse langkah- langkah itu.
 Kalau manusia kota berhenti berbicara, berhenti menaburkan aura-aura negatif, manusia introspektif akan terbentuk. Seperti kata Deepak Chopra. “Alam semesta saling berinteraksi, pikiranmu adalah pikiran alam semesta, energimu adalah cerminan dan energi alam semesta”. Alam semesta adalah representasi dari pikir manusia yang tinggal di dalamnya, yang berinteraksi dengannya.
 Jadi, orang Jakarta, seperti juga Surabaya, Semarang, Solo, Yogya, Bandung, dan Serang, dan kota-kota besar lainnya perlu membudayakan Silence Day cukup sehari saja setahun untuk menciptakan kerukunan dan kebahagiaan. Semua berhenti, kecuali suara azan, lonceng gereja, atau panggilan memuja Allah. Siapa mau memulainya?
Rhenald Kasali ; 
Ketua Program MM UI
SINDO, 14 Maret 2013