Dalam prakteknya di masyarakat ciri-ciri Pangeleyakan
bersumber dari perilaku manusia, yang disebut dengan Balian Pangiwa dan Balian
Panengen, seperti dijelaskan oleh Nala (2002:114). Balian panengen adalah
Balian yang tujuannya untuk mengobati orang yang sakit sehingga menjadi sembuh.
Balian Pangiwa bertujuan bukan untuk menyembuhkan orang sakit, tetapi membuat
orang yang sehat menjadi sakit dan yang sakit menjadi bertambah sakit, bahkan
sampai meninggal. Balian atau dukun jenis ini sangat sulit untuk dilacak,
pekerjaannya sudah penuh rahasia, terlalu tertutup dan misteri. Tidak sembarang
orang yang datang dapat dipenuhi keinginannya untuk membencanai musuh atau
orang yang dibenci. Jadi dukun/balian inilah yang melakukan berbagai cara untuk
membuat korbannya sakit dengan mempelajari ilmu pengeliyakan, desti,
pepasangan, sasirep, bebahi dan lainnya.
Pengeliyakan adalah sosok tubuh manusia yang tampak seperti
bhuta atau binatang. Desti adalah suatu kekuatan gaib yang dapat menyebabkan seseorang
menjadi sakit. Biasanya mempergunakan benda-benda yang berasal dari orang yang
akan dibencanai yang akan dikenai penyakit. Pepasangan adalah benda yang diisi
kekuatan gaib atau magis, serta ditanam di dalam tahanh atau disembunyikan
secara rahasia ditempat tertentu untuk membendanai seseorang. Benda tersebut
dapat berupa tulang, taring binatang, gigi binatang, daun lontar yang telah
dirajah, rambut kain yang telah diisi tulisan dan lainnya. Bebai atau Bebahi
adalah penyakit yang dibuat dari raga janin dan Kanda Pat, (empat saudara yang
dapat dikirim masuk kedalam tubuh seseorang yang ingin membencanai sehingga
jatuh sakit. (Nala, 2002:177-186).
Yang terdapat dalam lontar Aji Pengeliyakan milik Griya Sangket Karangasem salinan (I Nengah Widana,1995), dan terjemahan I Nyoman Neraka (2008). Lontar tersebut scara garis besarnya, menguraikan tentang: 1). Pasuryan Pangiwa, segala ilmu (pengeliyakan) dapat dicapai dengan terlebih dahulu memusatkan pikiran, beryoga. 2). Gni Sambawana, atau disebut juga pangwa sari. Ini (pengeleyakan) yang paling utama 3). Cambra Berag, ini sangat sakti, karena bersumber dari sebagain kecil Hyang Aji sarswati sebagai batasannya. 4). Rabut Sapetik, ini dapat digunakan membuat orang menjadi gagu semua yang bersuara. 5). Maduri Reges, ini merupakan leyak campuran dari beberapa agama; guna Makasar, guna Jawa, guna Bali, guna leyak putih dari Mekah. 6). Pangiwa Utamaning Dadi, supaya menjadi Butha Dengen (yang membuat bulu kuduk merinding). 7). Rerajahan ring Papetek (sabuk), untuk membersihkan diri, artinya tidak semua pangiwa itu negatif (lihat aksara IV. Dan V). 8). Panugrahan pangiwa, memohon panugrahan kepada Yang Nini Bhatari Gangga, untuk menghidupkan pngiwa yang ada ditengah mata. 9). Tata cara pengiwa untuk orang perempuan, untuk menggabungkan agar Bhtara Brahma, Wisnu dan Iswara berkumpul menjadi Bhatara Kala, agar kesaktiannya tidak terkalahkan. 10). Pengeliyakan Uwig, agar menjadi Bhuta Baliga (lihat aksara VIII dan IX). Pangiwa Swanda, ini adalah ratunya pangiwa. 12). Brahma Maya Murti, agar nampak seperti Hyang Brahma Murti, bertangan delapan ribu berbadan sembilan ribu, berkaki 1000 (alaksa), tangangan memamajang, dan memakai anting-anting bintang di langit. 13). Ni Calon Narang, dapat berubah wujud sampai seribu kali. 14). Rata Gni Sudha Mala, (tanpa penjelasan).
Jadi seperti apa yang diuraiakan di atas, ternyata tidak ada
ciri khusus yang menyatakan tentang pengeliyakan, karena ini bersifat rahasia
dan harus dirahasiakan. Tetapi untuk megetahui, secara samar-samar dapat
dipahami melalui cerita bali Kuno tentang: I Dongding, yang menceiterakan
Balian Baik dan Balian Jahat.
Biasanya pada jaman Bali Kuna, ketika ingin menidurkan anak
atau cucunya, diawali dengan cerita. Ceritanya seperti dibawah ini.
I Dongding, adalah anak pertamanya Men Dongding. Dongding
yang sudah berumur 10 tahun, dan ketika itu ibunya sedang hamil tua. Ayahnya
adalah seorang petani. Ketika ayahnya sedang bekerja di sawah, maka Ibu
Dongding perut mendadak sakit. Maka dipanggilah anaknya, yang bernama I
Donding. ”Dongding-Dongding, mai ja malu, kesini sebentar”. Maka datanglah I
Donding dekat ibunya, ibunya berkata; ”perut ibu sedang sakit tolong carikan
ibu Balian untuk membantu kelahiran. Cari balian yang rumahnya beratap Ijuk
adalah Balian Baik, dan jangan cari Balian yang rumahnya bertap Alang-Alang dia
adalah balian Jahat. Sebab Balian tersebut rumahnya berdampingan, jangan sampai
salah ya nak!, demikian ibunya menuyuruh. Maka I Donding datang kerumah Jero
Balian, tetapi setalah sampai didepan rumah Balian ia lupa. Rumah atap
Alang-alang apa Ijuk? Tetapi akhirnya dalam kebingungan I Donding memilih yang
bertap alang-alang. Kemudian Donding mengetuk pintu, sdambil berkata: ”Jro
Balian... Jro Balian....Jro Balian” Jro Balian menyapa, ”nyen to kauk-kauk?”
siapa itu memanggil-magil. ”Tiang cucun Dadonge I Donding!”, ketika melihat
wajah Nenek Renta Tua, yang berwajah Cinging, berpakian poleng hitam putih
kumat. I Donding merasa dirinya salah mencari Balian, dan bulu kuduknya meriding.
”Men kenken cening tumben ngalih dadong mai? (kenapa kamu tumben kesini.)
Demikian kata Jro Balian Nenek Renta tersebut, kemudian I Donding menjelaskan,
”Dadong orahina nulungin mementiange sedeng beling gede” (Dadong diseruh
membatu melahirkan ibu saya). ”Ya... kalau begitu dimana rumahmu?. Disitu
didekat bale Banjar, tiga rumah keutara. Nenek tidak tahu jaklannya, silahkan
kamu menangkat ayam Nenek yang berwana merah, dan cabut bulunya sebagai
petunjuk jalan.
Ringkas cerita, setelah sampai dirumah dan kebetulan juga
Bapaknya sudah datang dari sawah, maka I Dongding mengatakan sudah mencari
Balian yang rumahnya beratap Alang-alang. Ibu dan Bapaknya kaget, ibunya
berkata; ”bah... Donding-dongding.... sing buwungan suba meme jani mati. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, I Dongding disuruh menyapu bulu ayam sudah
dtebarkan tadi, setelah itu mereka membagi tugas. Ibu-nya Donding bersembunyi
dibwah ketungan, (tempat menumbuk padi. Ayah dan I Donding bersembunyi di
Menten (Balu Utara), kemudian di pintu dapur dipasang talenenan (tempatt
memotong daging) dan di Gebeh (tempat air) ditaruh ular. Kemudian dengan
jalan yang tersiok-siok akhirnya ia datang kerumahnya Dongding, dan
memanggil-mangil tidak ada yang menjawab. Akhirnya dia duduk di atas ketungunan,
sambil mencari kutu dirambutnya. Setiap kutu yang diperoleh di pencat dan
bersuara ”Klepit”, kemudian Ibu Donding duduk dibawah ketungan, dia tertawa.
Akhirnya dia ketahuan oleh Jro Balian yang Cingimg. ”Ye... memen Dongding dini
mengkeb, mai-mai tulunga melahirkan”, (Hai....Ibu Dongding disini ngumpet,
mari-mari aku tolong untuk melahirkan). Ibu Dongding dengan rasa takut,
akhirnya keluar dari temat persembunyian. Dengan sigap Jro Balian, dengan
rambut gimbal yang tak teurus membantu melahirkan. Begitu lahir bayi yang
dikandung, langsung digendong dan dibelai-belai sambil tertawa.
Durga Taweng
Durga Taweng
Tanpa berkata panjang lebar akhirnya anak dan Ibu-nya Donding dimakan bersama satu persatu, dan sisa tulangnya dibiarkan disamping ketungan. Karena perut yang kenyang, kemudian dia kedapur mencari air. Baru dibuka pintunya, kepalanya di bentur oleh talenan, kemudian baru dibuka tempat airnya, dia dipatuk oleh ular. Akhirnya Jro Balian, meningal karena di patuk ular. Kemudian I Donding dan Bapaknya keluar dari Bale Meten, sambil membawa celurit dan Alu. Ketika itu mereka berdua melihat seekor anjing, datang dari timur laut sambil melangkahi tulang belulang Ibu dan anak yang baru lahir tersebut. Akhirnya mereka dapat hidup kembali, seperti sedia kala.
Dari cerita di atas dapt dilihat ciri-ciri, orang yang
mempelajari Ilmu pengeliyakan adalah: 1). Berpakian kumat, artinya pakiannya
jarang dicuci dalam keseharian hidupnya, 2). Berwajah Cinging, artinya suka
mengganggu atau aji Wegig, 3). Rambut gimbal, artinya jarang berkeramas, 4).
Menggunakan ayam merah (biying), artinya memuja Dewa Brahma, dalam ajaran yang
disebarkan melalui emosional yang sering disebut Dewi Durga, 5). Bersuara
klipit, artinya memiliki banya kutu besar-besar, akibat rambutnya tidak pernah
dicuci. Pada umumnya penbgeliyakan adalah seperti di atas, tapi tidak semua
ciri-ciri ini tidak berlaku semua pengeliyakan, karena banyaknya jenis-jenis
pengeliyakan, seperti disebutkan di atas bahwa Ni Calonarang dapat berubah wujud
sampai 1000 kali, artinya paling tidak ada 1000 ciri, dan setiap perubahan
minimal ada 5 ciri (ww).
Penulis : I Wayan Watra, FIAK-UNHI
Tanggal : 2012-08-05
TAKSU
MAJALAH
KEBUDAYAAN BALI ISSN:1907-834X