Umat Hindu di Bali, tentu merasa bangga sekali karena telah
berhasil membangun pura di kaki Gunung Semeru. Berdasarkan babad di Bali,
Gunung Semeru adalah stana Hyang Pasupati, yang merupakan leluhur dari Hyang
Putrajaya yang berstana di Gunung Agung. Karena itu, Semeru adalah stana
leluhur orang Bali.
Leluhur orang Bali jelas merupakan kebesaran masa lalu di
Jawa, yaitu Majapahit. Karena sejarah Bali dimulai dari Majapahit. Semua
babad-babad tertulis dari penyerangan Majapahit ke Bali. Sebelum itu, seluruh
babad menyebutkannya sebagai zaman kegelapan. Zaman dimana Bali diperintah raja
raksasa yang bernama Mayadanawa.
Raksasa sudah tentu tidak membangun peradaban. Raksasa hanya
membesarkan perutnya sendiri. Raksasa tidak pernah memperhatikan kesejahteraan
orang lain. Karena itu, era raksasa adalah era kegelapan. Tetapi benarkah itu?
Sejarah yang lainnya yaitu prasasti-prasasti ternyata menggeser opini Majapahit
seperti itu. Prasasti-prasasti menunjukkan bahwa sebelum Majapahit, Bali
memiliki peradaban.
Desa pakraman terbentuk sekitar abad ke-10 Masehi. Subak,
bahkan terbangun sejak abad ke-7 Masehi. Kedua peradaban ini adalah peradaban
besar Bali yang berlangsung hingga saat ini. Karena itu, babad yang menyatakan
bahwa Bali sebelum Majapahit diperintah raksasa jelas hanya isapan jempol. Tak
mungkin raksasa membangun saluran irigasi dan organisasinya yang dikagumi
dunia. Tak mungkin raksasa membangun sebuah pemerintahan demokrasi desa yang
baik.
Sebelum Majapahit, Bali pernah memiliki kejayaan. Bahkan,
Bali sempat ingin membangun pusat dunia di Bali yang disebut sebagai “Pusering
Jagat”, yang sekarang masih ada di Bedulu, Gianyar. Bali juga pernah punya
ambisi untuk menjadi pusat pelayaran dunia, sehingga ada pura yang bernama
“Pusering Tasik”. Karena itu, ambisi “cakrawreti” (raja dunia), tidak hanya
merupakan ambisi raja-raja di Jawa. Hal itu juga menjadi ambisi raja-raja di
Bali.
Akan tetapi, sejarah selalu dicetak oleh orang-orang yang
menang. Orang-orang kalah, bila perlu tidak perlu disebutkan. Pada penulisan
silsilah di Bali, tidak ada satu pun kelihatan keturunan raja-raja Bali kuno.
Silsilah Pasek Kayu Selem memang ada, tetapi hanya disebutkan sebagai putra
angkat Hyang Semeru. Hal ini hanya merupakan bentuk penghormatan kepada
bangsawan Bali (prebali) yang sangat kecil. Diakui sebagai keluarga, tetapi
keluarga angkat.
Kayu Selem ini memang dipersaudarakan dengan Wangsa Pasek,
tetapi diikat oleh sebuah mitos tidak boleh “saling sumbah”. Artinya, kekuasaan
Majapahit masih takut jika ada solidaritas antara Pasek Gelgel dan Pasek Kayu
Selem. Pasek pun harus terbagi lagi menjadi “bangsa” (bahasa alusnya wangsa
–red) bendesa, yang memang waktu dahulu diberikan daerah otoritas di Mas,
Gianyar. Bendesa ini dipersaudarakan dengan para arya dari Jawa. Pada masa
lalu, bendesa dianggap sejajar dengan para arya, sehingga mereka terputus
dengan saudaranya.
Oleh karena itu, solidaritas antara orang Bali memang
dipecah-pecah dari dahulu. Dalem Shri Kresna Kepakisan memang memiliki hubungan
persaudaraan dengan Wangsa Pasek dan Bandesa di Bali. Tetapi, kekuasaannya
terjepit di level menengah oleh para arya. Jadi struktur atas adalah Dalem,
menengah Arya dan lapis bawah Pasek dan Bendesa. Di luar itu, yaitu pegunungan,
ada kekuasaan Kayu Selem. Karena itu, otoritas “dalem” hanya formalitas.
Sedangkan kekuasaan sehari-hari dilakukan para arya, dengan memperalat Pasek
dan Bendesa yang dekat dengan masyarakat.
Majapahit, yang meletakkan orientasi pada Jawa, ternyata
memang hanya menekankan pada politik kekuasaan di Bali. Karena itu, spirit
perlawanan memang berkobar di Bali. Masyarakat Bali akhirnya memang membangun
kekuasaan sendiri, yang disebut dengan Jro Gede Dalem Balikang, yang artinya
raja yang ingin membalikkan (Balikang) keadaan. Ini adalah raja revolusi, yang
ingin membangun republik di Bali.
Oleh karena itu, Jro Gede ini tidak ingin membangun pusat.
Jro Gede Balikang ini ingin mencairkan pusat ke desa-desa, sehingga desa-desa
bisa mandiri. Kalau pun perlu ada pemerintahan bersama, maka pemerintahnya akan
berbentuk majelis yang terdiri dari wakil-wakil desa otonom. Majelis ini nanti
yang akan memutuskan rencana kehidupan bersama di Bali.
Tetapi ide ini dihabisi oleh Majapahit. Majapahit membangun
pemerintahan yang terpusat di Bali. Namun keterpusatan ini luluh di Bali,
karena ambisi para arya yang berkuasa di level menengah. Pada abad ke-17, para
anglurah kemudian mendeklarasikan diri menjadi “raja” tidak resmi. Mereka
saling berperang untuk memperebutkan wilayah. Sedangkan kekuasaan pusat di
Klungkung, lemah tidak berdaya. Hanya diletakkan sebagai simbol agar para arya
tidak mendapatkan pemberontakan dari masyarakat Bali. Sedangkan kekuasaan pasek
dan bendesa semakin menyempit sampai ke tingkat banjar. Bali pun menjadi kacau.
Oleh karena itu, apakah masih orang Bali harus berpikir
tentang pusat? Bali harus bisa mandiri, sebagai sebuah masyarakat. Desa-desa di
Bali, harus mampu merencanakan masa depannya sendiri. Melihat Jawa, apalagi
melihat masa lalu Jawa, hanya merupakan hayalan. Majapahit telah runtuh. Karena
itu, masyarakat Bali tentu tidak arif, membawa impian itu kembali. Masyarakat
Bali harus mengajak Jawa membangun masa depan, dengan berangkat dari masa kini,
bukan dari masa lalu.
Yang lalu, biarlah berlalu. “Karma” orang Bali dan Jawa,
masih bertemu dalam Negara Republik Indonesia. Jalinan ini harus tetap
terpelihara dengan kemandiriannya masing-masing. Bali harus mampu membangun
dirinya dengan dasar keunikannya sendiri, demikian pula Jawa. Bali tidak perlu
membawa keunikannya ke Jawa, demikian pula sebaliknya. Bali harus mulai
berpikir untuk menjadi dirinya yang terbaik, sehingga bisa dicontoh di Jawa.
Pada pola pemikiran seperti itu, konsep Jro Gede “Balikang”
memang cocok untuk masa kini. Orang Bali harus membenahi Bali. Setelah Bali
baik maka biarlah saudara-saudara di Jawa belajar ke Bali. Mereka nanti
mengembangkan kearifan Bali secara lebih luas di Jawa. Airlangga di masa lalu
(sekitar abad ke-11 Masehi) mengembangkan kearifan Bali di Jawa. Beliau
membangun saluran irigasi seperti Subak di Bali, dari Gunung Penanggungan di
Jawa. Pada setiap perempatan air, selalu ada candi. Candi terbesar ada di
“Belahan”. Nama “Belahan” menunjukkan arti “pembagian” air. Jadi, kearifan Bali
biarlah disebarkan secara lebih luas oleh murid-murid Bali. Jadi, Bali tak
perlu ke Jawa, untuk mem”Bali”kan Jawa. Kembalilah ke Bali, untuk membangun
Bali dengan keunikannya sendiri.
Oleh: I Gede Sutarya
Bali Tribune, 18 Juli 2012