Perayaan Hari Suci Siwaratri bagi umat Hindu merupakan kegiatan keagamaan rutin tahunan yang dirayakan setiap Purwaning Tilem sasih kepitu. Terakhir untuk tahun 2009 dirayakan tepat pada malam pergantian tahun ke tahun 2010. Siwaratri sendiri memiliki makna malam perenungan dosa.
Perayaan Siwaratri pada awalnya dikenal
dari Kisah Seorang pemburu bernama Lubdaka. Suatu hari saat melakukan
perburuan, ia sama sekali tidak mendapatkan buruan. Lubdaka tidak
membawa makanan ataupun minuman. Oleh karena hari sudah menjelang malam
maka ia memutuskan untuk memanjat sebuah pohon yang dikenal dengan pohon
Billa di tepi telaga. Tujuannya adalah agar tidak dimakan oleh hewan
buas.. Hari pun menjelang malam, Lubdaka tidak berani tidur karena takut
terjatuh, maka ia terjaga semalaman sambil memetik satu persatu daun
billa agar tidak mengantuk.
Malam itu ternyata bertepatan dengan
purwaning tilem sasih kepitu. Saat itu adalah saat dimana Dewa Siwa
melakukan Tapa Bratha. Saat memetik daun billa tersebut, daunnya
berjatuhan dan mengenai lingga siwa. Maka saat itu Lubdaka secara tidak
langsung melakukan pemujaan terhadap siwa.Sekian lama waktu berjalan,
Lubdaka pun meninggal karena sakit. Saat dia meninggal, Atmanya (Rohnya)
menuju sunia loka, bala tentara Sang Suratma (Malaikat yang bertugas
menjaga kahyangan) telah datang menjemputnya. Mereka telah menyiapkan
catatan hidup dari Lubdaka yang penuh dengan kegiatan Himsa Karma
(memati-mati). Namun pada saat yang sama pengikut Siva pun datang
menjemput Atma Lubdaka. Mereka menyiapkan kereta emas. Lubdaka menjadi
rebutan dari kedua balatentara baik pengikut Sang Suratma maupun
pengikut Siva. Ketegangan mulai muncul, semuanya memberikan argumennya
masing-masing. Mereka patuh pada perintah atasannya untuk menjemput Atma
Sang Lubdaka.
Saat ketegangan memuncak Datanglah Sang
Suratma dan Siva. Keduanya kemudian bertatap muka dan berdiskusi. Sang
Suratma menunjukkan catatan hidup dari Lubdaka, Lubdaka telah melakukan
banyak sekali pembunuhan, sudah ratusan bahkan mungkin ribuan binatang
yang telah dibunuhnya, sehingga sudah sepatutnya kalo dia harus
dijebloskan ke negara loka.
Siva menjelaskan bahwa; Lubdaka memang
betul selama hidupnya banyak melakukan kegiatan pembunuhan, tapi semua
itu karena didasari oleh keinginan/niat untuk menghidupi keluarganya.
Dan dia telah melakukan tapa brata (mona brata, jagra dan
upavasa/puasa) salam Siva Ratri/Malam Siva, sehingga dia dibebaskan
dari ikatan karma sebelumnya. Dan sejak malam itu Dia sang Lubdaka
menempuh jalan hidup baru sebagai seorang petani. Oleh karena itu Sang
Lubdaka sudah sepatutnya menuju Suarga Loka (Sorga). Akhirnya Sang
Suratma melepaskan Atma Lubdaka dan menyerahkannya pada Siva. (Kisah ini
adalah merupakan Karya Mpu Tanakung, yang sering digunakan sebagai dasar pelaksanaan Malam Siva Ratri). Untuk cerita lengkapnya bisa baca disini.
Begitulah kisah sang Lubdaka yang menjadi
dasar pelaksanaan perayaan Siwaratri. Kalau melihat kisah tersebut,
kebanyakan masyarakan melakukan penafsiran yang salah tentang malam
Siwaratri. Malam siwaratri di anggap sebagai malam penghapusan dosa.
Dalam Agama Hindu Dosa kita tidak akan bisa dihapuskan karena kita
mengenal akan adanya hukum Karmaphala. Ingatkah kalian bahwa sang
Pandawa pun tak luput dari dosa, mereka sempat di jebloskan di neraka.
Malam Siwaratri sebenarnya merupakan
suatu malam perenungan atas perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan
selama ini agar kita bisa intropeksi diri. Umumnya Siwaratri
dilaksanakan dengan laku brata :
Mona Brata (pengendalian dalam
kata-kata). Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan
kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan
kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang bertandang kerumah dan
menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut, menyebabkan
orang menjadi tersinggung. Maunya melakukan tapa mona brata, justru
malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel
dan sakti hati. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya
pergi ke hutan atau ketempat yang sunyi, jauh darikeramaian.
Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Jadi
disini ditekankan tidak diharuskan untuk berpuasa/tidak makan dan minum
semalam suntuk. Melainkan pengendalian dalam hal makan dan minum. Umat
dibebaskan untuk melaksanakan bratanya, mau puasa ya silahkan, tidakpun
tidak apa-apa. Hanya saja brata itu berlaku untuk seterusnya.
Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam
suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa
sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting
adalah begadang demi dia (Siwa). Bukan begadang main gaple atau nonton
TV. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma Santhi, pergi saling
menungjungi kerumah sahabat, handai toland sambil bermaaf-maafan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Malam
Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan peleburan kepapaan
dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia memiliki kepapaan,
karena dibelengu oleh nafsu-nafsu indrianya/raganya.
Jadi sangat dianjurkan bagi Umat Hindu
untuk melakukan Bratha Siwaratri sehari sebelum Purnamaning sasih
Kepitu. Yang tujuannya mengurangi kepapaan dan nafsu-nafsu indria yang
dimiliki oleh manusia. Dalam hubungannya dengan pengendalian nafsu
indria, ada 7 kegelapan yang harus dikendalikan yang disebut Sapta Timira yang terdiri dari: Surupa (mabuk karena rupawan/rupa tampan atau cantik), Dhana (mabuk karena kekayaan), Guna (mabuk karena kepandaian), Kasuran (mabuk karena kemegahan), kulina (mabuk karena keturunan bangsawan), Yowana (mabuk karena keremajaan), Sura (mabuk karena minuman keras).
Makna Siwaratri adalah agar manusia
menyadari bahwa kita dipengaruhi oleh 7 kegelapan. Kegelapan itulah yang
harus diterangi secara jasmani dan rohani dengan meningkatkan
pengetahuan dan pengamalan ajaran kerohanian.
Yang paling penting sekali adalah berkat
dari Sang Hyang Siwa sendiri. Beliaulah yang akan menghapus kepapaan,
ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri. Mungkin ribuan orang
akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang mendapat hukuman.
Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Sang Hyang Sada Siwa)
menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak membenci
malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti
itu.
Itulah keutamaan beliau, tidak membenci siapapun, walaupun penjahat
kelas kakap yang dibenci jutaan manusia. Beliau tetap berbelas kasih.
Bersedia mengampuni, asal umat-Nya dengan tulus iklas berserah diri,
pasrah total kehadapan-Nya.
Beliau sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-Nya. Maka
sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri ini kepada siapa
saja. Karena pintu tobat dan pengampunan pada hari itu terbuka
lebar-lebar.
Ada lagi disebutkan keutamaan brata Siwaratri dalam lontar “Siwaratrikalpa”
buah karya Mpu Tanakung, bahwa jika seseorang mampu melaksanakan laku ;
upawasa, mona brata dan jagra pada hari itu, yang tujuannya memuja Sang
Hyang Sada Siwa, serta memohon pengampunan-Nya maka dosanya akan
terhapus. Dan beliau (Mpu Tanakung) juga mengisyaratkan bahwa brata
Siwaratri melebihi semua jenis yajna. Untuk itulah, seseorang jangan
berputus asa jika sudah terlanjur melakukan kesalahan. Karena Siwaratri
bisa dilaksanakan dimana saja (di rumah, di Pura, di tempat sunyi,
bahkan di Lembaga Pemasyarakatan / Penjara). Justru disinilah mungkin (
di Lemaga Pemasyarakatan) brata Siwaratri itu dilaksanakan lebih khusuk.
Yang mungkin menjadi pertanyaan kita
selama ini adalah apa sebenarnya tujuan pelaksanaan Mono bratha,
Upasawa, dan Jagra. Secara singkat tujuan dari ketiga bratha Siwaratri
itu adalah sebagai berikut:
1) Monobrata pada hari suci Siwaratri
diarahkan untuk mengucapkan nama Tuhan didalam lubuk hati secara terus
menerus, misalnya ; “Om Namah Siwa Ya, Om Namah Siwa Ya,…. Om Namah Siwa
Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa
Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya. . .dan
seterusnya.
Ada kebiasaan umat yang membawa tasbih atau genitri. Ada juga yang tidak membawa apa-apa. Yang penting adalah nilai kekhusukannya.Tapa
monbrata tujuannya adalah sangat luhur dan mulia, terutama sekali untuk
mengekang nafsu marah dan angkara murka. Sebab kata-kata yang kasar
bisa melukai perasaan orang lain sampai bertahun-tahun.Maka
orang yang dikuasai oleh nafsu murkanya, tak dapat tidak niscaya ia
melakukan perbuatan jahat, sampai akhirnya dapat membunuh guru, dan
sanggup ia membakar hati seorang saleh, yaitu menyerang dia dengan
kata-kata yang kasarTambahan pula orang yang dikuasai oleh nafsu murka,
sekali-kali tidak tahu akan perkataan yang keliru dan yang benar,
sekali-kali mereka tidak mengenal perbuatan yang terlarang dan yang
menyalahi dharma serta sanggup mereka mengatakan sesuatu yang tidak
layak untuk dikatakan.
Maka monobrata diusahakan sekali untuk dilaksanakan meski tidak hanya pada hari Suci Siwaratri saja. Karena begitu besar manfaatnya, bagi pembentukan sifat dan karakter seseorang. Hakekatnya yang disebut nafsu murka, adalah musuh didalam diri kita ; jika ada orang yang dapat menghilangkan nafsu murka itu, maka ia pun akan disegani, dipuji dan dihormati selama ia ada di dunia.
Maka monobrata diusahakan sekali untuk dilaksanakan meski tidak hanya pada hari Suci Siwaratri saja. Karena begitu besar manfaatnya, bagi pembentukan sifat dan karakter seseorang. Hakekatnya yang disebut nafsu murka, adalah musuh didalam diri kita ; jika ada orang yang dapat menghilangkan nafsu murka itu, maka ia pun akan disegani, dipuji dan dihormati selama ia ada di dunia.
2) Kemudian laku upawasa yaitu berpuasa
tidak makan dan minum adalah untuk menunjang jalannya brata monobrata.
Supaya konsentrasi seseorang yang menjalankan laku ini tidak pecah.
Mengistirahatkan kerja usus, lambung dan kerongkongan serta mulut pada
hari suci itu, untuk tujuan pemujaan. Berpuasa secara fisik dan mental
menjadikan tujuan itu terpusat kesatu arah. Apalagi disertai dengan
japam (pengulangan mantra), sehingga meditasi itu menjadi khusuk.
3) Mejagra yaitu begadang semalam suntuk, dalam tradisi India ada
diistilahkan dengan “Akanda Bhajan”. Yaitu mengidungkan nama-nama suci
Tuhan selama 24 jam secara terus menerus, sambung menyambung.
Begitupun halnya dengan mejagra, begadang semalam suntuk sambil mengidungkan nama-Nya di dalam hati secara terus menerus. Makna dari mejagra ini adalah, agar seseorang senantiasa terjaga selama hidupnya, dengan kata lain tidak lupa diri (mabuk) tidak dikuasai oleh 7 (tujuh) nafsu kemabukan itu.
Begitupun halnya dengan mejagra, begadang semalam suntuk sambil mengidungkan nama-Nya di dalam hati secara terus menerus. Makna dari mejagra ini adalah, agar seseorang senantiasa terjaga selama hidupnya, dengan kata lain tidak lupa diri (mabuk) tidak dikuasai oleh 7 (tujuh) nafsu kemabukan itu.