Jumat, 18 April 2014
Makna Hari Suci Siwaratri
April 18, 2014
Perayaan Hari Suci Siwaratri bagi umat Hindu merupakan kegiatan keagamaan rutin tahunan yang dirayakan setiap Purwaning Tilem sasih kepitu. Terakhir untuk tahun 2009 dirayakan tepat pada malam pergantian tahun ke tahun 2010. Siwaratri sendiri memiliki makna malam perenungan dosa.
Perayaan Siwaratri pada awalnya dikenal
dari Kisah Seorang pemburu bernama Lubdaka. Suatu hari saat melakukan
perburuan, ia sama sekali tidak mendapatkan buruan. Lubdaka tidak
membawa makanan ataupun minuman. Oleh karena hari sudah menjelang malam
maka ia memutuskan untuk memanjat sebuah pohon yang dikenal dengan pohon
Billa di tepi telaga. Tujuannya adalah agar tidak dimakan oleh hewan
buas.. Hari pun menjelang malam, Lubdaka tidak berani tidur karena takut
terjatuh, maka ia terjaga semalaman sambil memetik satu persatu daun
billa agar tidak mengantuk.
Malam itu ternyata bertepatan dengan
purwaning tilem sasih kepitu. Saat itu adalah saat dimana Dewa Siwa
melakukan Tapa Bratha. Saat memetik daun billa tersebut, daunnya
berjatuhan dan mengenai lingga siwa. Maka saat itu Lubdaka secara tidak
langsung melakukan pemujaan terhadap siwa.Sekian lama waktu berjalan,
Lubdaka pun meninggal karena sakit. Saat dia meninggal, Atmanya (Rohnya)
menuju sunia loka, bala tentara Sang Suratma (Malaikat yang bertugas
menjaga kahyangan) telah datang menjemputnya. Mereka telah menyiapkan
catatan hidup dari Lubdaka yang penuh dengan kegiatan Himsa Karma
(memati-mati). Namun pada saat yang sama pengikut Siva pun datang
menjemput Atma Lubdaka. Mereka menyiapkan kereta emas. Lubdaka menjadi
rebutan dari kedua balatentara baik pengikut Sang Suratma maupun
pengikut Siva. Ketegangan mulai muncul, semuanya memberikan argumennya
masing-masing. Mereka patuh pada perintah atasannya untuk menjemput Atma
Sang Lubdaka.
Saat ketegangan memuncak Datanglah Sang
Suratma dan Siva. Keduanya kemudian bertatap muka dan berdiskusi. Sang
Suratma menunjukkan catatan hidup dari Lubdaka, Lubdaka telah melakukan
banyak sekali pembunuhan, sudah ratusan bahkan mungkin ribuan binatang
yang telah dibunuhnya, sehingga sudah sepatutnya kalo dia harus
dijebloskan ke negara loka.
Siva menjelaskan bahwa; Lubdaka memang
betul selama hidupnya banyak melakukan kegiatan pembunuhan, tapi semua
itu karena didasari oleh keinginan/niat untuk menghidupi keluarganya.
Dan dia telah melakukan tapa brata (mona brata, jagra dan
upavasa/puasa) salam Siva Ratri/Malam Siva, sehingga dia dibebaskan
dari ikatan karma sebelumnya. Dan sejak malam itu Dia sang Lubdaka
menempuh jalan hidup baru sebagai seorang petani. Oleh karena itu Sang
Lubdaka sudah sepatutnya menuju Suarga Loka (Sorga). Akhirnya Sang
Suratma melepaskan Atma Lubdaka dan menyerahkannya pada Siva. (Kisah ini
adalah merupakan Karya Mpu Tanakung, yang sering digunakan sebagai dasar pelaksanaan Malam Siva Ratri). Untuk cerita lengkapnya bisa baca disini.
Begitulah kisah sang Lubdaka yang menjadi
dasar pelaksanaan perayaan Siwaratri. Kalau melihat kisah tersebut,
kebanyakan masyarakan melakukan penafsiran yang salah tentang malam
Siwaratri. Malam siwaratri di anggap sebagai malam penghapusan dosa.
Dalam Agama Hindu Dosa kita tidak akan bisa dihapuskan karena kita
mengenal akan adanya hukum Karmaphala. Ingatkah kalian bahwa sang
Pandawa pun tak luput dari dosa, mereka sempat di jebloskan di neraka.
Malam Siwaratri sebenarnya merupakan
suatu malam perenungan atas perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan
selama ini agar kita bisa intropeksi diri. Umumnya Siwaratri
dilaksanakan dengan laku brata :
Mona Brata (pengendalian dalam
kata-kata). Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan
kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan
kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang bertandang kerumah dan
menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut, menyebabkan
orang menjadi tersinggung. Maunya melakukan tapa mona brata, justru
malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel
dan sakti hati. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya
pergi ke hutan atau ketempat yang sunyi, jauh darikeramaian.
Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Jadi
disini ditekankan tidak diharuskan untuk berpuasa/tidak makan dan minum
semalam suntuk. Melainkan pengendalian dalam hal makan dan minum. Umat
dibebaskan untuk melaksanakan bratanya, mau puasa ya silahkan, tidakpun
tidak apa-apa. Hanya saja brata itu berlaku untuk seterusnya.
Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam
suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa
sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting
adalah begadang demi dia (Siwa). Bukan begadang main gaple atau nonton
TV. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma Santhi, pergi saling
menungjungi kerumah sahabat, handai toland sambil bermaaf-maafan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Malam
Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan peleburan kepapaan
dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia memiliki kepapaan,
karena dibelengu oleh nafsu-nafsu indrianya/raganya.
Jadi sangat dianjurkan bagi Umat Hindu
untuk melakukan Bratha Siwaratri sehari sebelum Purnamaning sasih
Kepitu. Yang tujuannya mengurangi kepapaan dan nafsu-nafsu indria yang
dimiliki oleh manusia. Dalam hubungannya dengan pengendalian nafsu
indria, ada 7 kegelapan yang harus dikendalikan yang disebut Sapta Timira yang terdiri dari: Surupa (mabuk karena rupawan/rupa tampan atau cantik), Dhana (mabuk karena kekayaan), Guna (mabuk karena kepandaian), Kasuran (mabuk karena kemegahan), kulina (mabuk karena keturunan bangsawan), Yowana (mabuk karena keremajaan), Sura (mabuk karena minuman keras).
Makna Siwaratri adalah agar manusia
menyadari bahwa kita dipengaruhi oleh 7 kegelapan. Kegelapan itulah yang
harus diterangi secara jasmani dan rohani dengan meningkatkan
pengetahuan dan pengamalan ajaran kerohanian.
Yang paling penting sekali adalah berkat
dari Sang Hyang Siwa sendiri. Beliaulah yang akan menghapus kepapaan,
ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri. Mungkin ribuan orang
akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang mendapat hukuman.
Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Sang Hyang Sada Siwa)
menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak membenci
malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti
itu.
Itulah keutamaan beliau, tidak membenci siapapun, walaupun penjahat
kelas kakap yang dibenci jutaan manusia. Beliau tetap berbelas kasih.
Bersedia mengampuni, asal umat-Nya dengan tulus iklas berserah diri,
pasrah total kehadapan-Nya.
Beliau sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-Nya. Maka
sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri ini kepada siapa
saja. Karena pintu tobat dan pengampunan pada hari itu terbuka
lebar-lebar.
Ada lagi disebutkan keutamaan brata Siwaratri dalam lontar “Siwaratrikalpa”
buah karya Mpu Tanakung, bahwa jika seseorang mampu melaksanakan laku ;
upawasa, mona brata dan jagra pada hari itu, yang tujuannya memuja Sang
Hyang Sada Siwa, serta memohon pengampunan-Nya maka dosanya akan
terhapus. Dan beliau (Mpu Tanakung) juga mengisyaratkan bahwa brata
Siwaratri melebihi semua jenis yajna. Untuk itulah, seseorang jangan
berputus asa jika sudah terlanjur melakukan kesalahan. Karena Siwaratri
bisa dilaksanakan dimana saja (di rumah, di Pura, di tempat sunyi,
bahkan di Lembaga Pemasyarakatan / Penjara). Justru disinilah mungkin (
di Lemaga Pemasyarakatan) brata Siwaratri itu dilaksanakan lebih khusuk.
Yang mungkin menjadi pertanyaan kita
selama ini adalah apa sebenarnya tujuan pelaksanaan Mono bratha,
Upasawa, dan Jagra. Secara singkat tujuan dari ketiga bratha Siwaratri
itu adalah sebagai berikut:
1) Monobrata pada hari suci Siwaratri
diarahkan untuk mengucapkan nama Tuhan didalam lubuk hati secara terus
menerus, misalnya ; “Om Namah Siwa Ya, Om Namah Siwa Ya,…. Om Namah Siwa
Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa
Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya. . .dan
seterusnya.
Ada kebiasaan umat yang membawa tasbih atau genitri. Ada juga yang tidak membawa apa-apa. Yang penting adalah nilai kekhusukannya.Tapa
monbrata tujuannya adalah sangat luhur dan mulia, terutama sekali untuk
mengekang nafsu marah dan angkara murka. Sebab kata-kata yang kasar
bisa melukai perasaan orang lain sampai bertahun-tahun.Maka
orang yang dikuasai oleh nafsu murkanya, tak dapat tidak niscaya ia
melakukan perbuatan jahat, sampai akhirnya dapat membunuh guru, dan
sanggup ia membakar hati seorang saleh, yaitu menyerang dia dengan
kata-kata yang kasarTambahan pula orang yang dikuasai oleh nafsu murka,
sekali-kali tidak tahu akan perkataan yang keliru dan yang benar,
sekali-kali mereka tidak mengenal perbuatan yang terlarang dan yang
menyalahi dharma serta sanggup mereka mengatakan sesuatu yang tidak
layak untuk dikatakan.
Maka monobrata diusahakan sekali untuk dilaksanakan meski tidak hanya pada hari Suci Siwaratri saja. Karena begitu besar manfaatnya, bagi pembentukan sifat dan karakter seseorang. Hakekatnya yang disebut nafsu murka, adalah musuh didalam diri kita ; jika ada orang yang dapat menghilangkan nafsu murka itu, maka ia pun akan disegani, dipuji dan dihormati selama ia ada di dunia.
Maka monobrata diusahakan sekali untuk dilaksanakan meski tidak hanya pada hari Suci Siwaratri saja. Karena begitu besar manfaatnya, bagi pembentukan sifat dan karakter seseorang. Hakekatnya yang disebut nafsu murka, adalah musuh didalam diri kita ; jika ada orang yang dapat menghilangkan nafsu murka itu, maka ia pun akan disegani, dipuji dan dihormati selama ia ada di dunia.
2) Kemudian laku upawasa yaitu berpuasa
tidak makan dan minum adalah untuk menunjang jalannya brata monobrata.
Supaya konsentrasi seseorang yang menjalankan laku ini tidak pecah.
Mengistirahatkan kerja usus, lambung dan kerongkongan serta mulut pada
hari suci itu, untuk tujuan pemujaan. Berpuasa secara fisik dan mental
menjadikan tujuan itu terpusat kesatu arah. Apalagi disertai dengan
japam (pengulangan mantra), sehingga meditasi itu menjadi khusuk.
3) Mejagra yaitu begadang semalam suntuk, dalam tradisi India ada
diistilahkan dengan “Akanda Bhajan”. Yaitu mengidungkan nama-nama suci
Tuhan selama 24 jam secara terus menerus, sambung menyambung.
Begitupun halnya dengan mejagra, begadang semalam suntuk sambil mengidungkan nama-Nya di dalam hati secara terus menerus. Makna dari mejagra ini adalah, agar seseorang senantiasa terjaga selama hidupnya, dengan kata lain tidak lupa diri (mabuk) tidak dikuasai oleh 7 (tujuh) nafsu kemabukan itu.
Begitupun halnya dengan mejagra, begadang semalam suntuk sambil mengidungkan nama-Nya di dalam hati secara terus menerus. Makna dari mejagra ini adalah, agar seseorang senantiasa terjaga selama hidupnya, dengan kata lain tidak lupa diri (mabuk) tidak dikuasai oleh 7 (tujuh) nafsu kemabukan itu.
April 18, 2014
Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan. Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain: menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat saya simpulkan bahwa pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.
Tujuan wiwaha menurut Agama Hindu
Pada dasarnya manusia selain sebagai
mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup
bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah
menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan
wanita yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing.
Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk
sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling
mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda
seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan.
Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena
Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
“Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah.
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”
“Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan
dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan
karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan
istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).
Menurut I Made Titib
dalam makalah “Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga”
disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan
3 hal yaitu:
- Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña dapat dilaksanakan secara sempurna.
- Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
- Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.
Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha)
dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal. Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun
1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan
untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka
dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda
perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali
dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava
Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”
“Hendaknya supaya hubungan yang setia
berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum
tertinggi sebagai suami istri”.
“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,
Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang
terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya
supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan
antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).
Berdasarkan kedua sloka di atas
nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian.
Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya
dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan
terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan
tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma
sastra III. 60 , sebagai berikut:
“Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,
Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”
“Pada keluarga dimana suami berbahagia
dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya,
kebahagiaan pasti kekal” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan wiwaha
menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para
orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan
tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan
kekal (moksa).
Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8 bentuk perkawinan sebagai berikut:
Sistem Pawiwahan dalam Agama Hindu
- Brahma wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pria ahli Veda dan berkelakukan baik yang diundang oleh pihak wanita.
- Daiwa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pendeta pemimpin upacara.
- Arsa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak timbal-balik kedua belah pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan dengan menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci.
- Prajapatya wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki.
- Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.
- Gandharva wiwaha adalah bentuk perkawinan berdasarkan cinta sama cinta dimana pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin tahu.
- Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil paksa wanita dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang.
- Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan diam-diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang.
Syarat Sah suatu Pawiwahan menurut Hindu.
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 dan Kitab Suci Manava Dharmasastra maka syarat tersebut
menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:
- Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang berbunyi:
“Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”
“Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului
dengan percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna
lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama” (Pudja
dan Sudharta, 2002: 141).
- Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur.
minimal tersebut untuk melangsungkan
perkawinan maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain
yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang
hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 yang
menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai usia layak untuk
kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir
hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang
baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur
yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan dan orang tua harus
memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka tersebut
disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru
dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu
dan Budha, 2001: 34).
- Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.
- Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.
Samskara
atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya
suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma
sastra II. 26 sebagai berikut:
“Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca”
“Sesuai dengan ketentuan-ketentuan
pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat
terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara kemanusiaan
lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa
dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia” (Pudja dan Sudharta,
2002:69).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara
) tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam
masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat
Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang
telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan
melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan
mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia
(Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharma
sastra II. 9 sebagai berikut:
“Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,
iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham”
“Karena orang yang mengikuti hukum yang
diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti adat istiadat yang
keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah meninggal
menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)” ( Pudja dan
Sudharta, 2002: 63).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik
berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa
wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan
jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu
menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan
syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:
1) Sapta pada
(melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai
itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya)
sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi
tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
2) Panigraha yaitu
upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon
mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan.
Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis
selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada
masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.
3) Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).
4) Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña
tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi
oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan
semua simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani.
Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut
tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.
5) Lascarya artinya suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.
6) Sastra artinya suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.
7) Daksina artinya
adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau
uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.
8) Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.
9) Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.
10) Nasmita artinya suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.
Demikianlah tinjauan secara umum tentang
pelaksanaan perkawinan atau pawiwahan yang ideal menurut agama Hindu.
Perkawinan yang sakral tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan oleh
sebab itu sebelum melakukan perkawinan hendaknya dipikirkan dahulu
secara matang agar nantinya tidak menimbulkan permasalahan dalam rumah
tangga setelah menikah.
Sumber: www.dharmavada.wordpress.com
Pemahaman yang Salah Tentang Kasta di Bali
April 18, 2014
Sampai saat ini umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali masih mengalami polemik masalah Kasta. Hal ini menyebabkan ketidaksetaraan status sosial diantara masyarakat Hindu. Masalah ini muncul karena pengetahuan dan pemahaman yang dangkal tentang ajaran Agama Hindu dan Kitab Suci Weda yang merupakan pedoman yang paling ampuh bagi umat Hindu agar menjadi manusia yang beradab yaitu memiliki kemampuan bergerak (bayu), bersuara (sabda) dan berpikir (idep) dan berbudaya yaitu menghormati sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa tanpa membedakan asal usul keturunan, status sosial, dan ekonomi.
Pada masyarakat Hindu di Bali,terjadi
kesalahan dan kekaburan dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan
wangsa yang berkepanjangan. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah
Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila
kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna
adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal
(dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain).
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat
yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih
tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk merubah pandangan seperti ini
memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu, lebih
baik tidak diperdebatkan lagi.
Wiana (2000) menjelaskan perbedaan antara warna dan kasta. Warna merupakan penggolongan masyarakat berdasarkan fungsi dan profesi. Dalam ajaran Agama Hindu dikenal adanya empat warna/Catur Warna yaitu brahmana-orang-orang yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual, ksatria-orang orang yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya, waisya-orang yang bertugas untuk mengatur perekonomian, dan sudra-orang yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain.
Warna dan gelar serta namanya sama sekali tidak diturunkan atau diwariskan ke generasi berikutnya.
Warna tidak bersifat statis, tetapi dinamis. Artinya, warna bisa
berubah setiap saat sesuai dengan fungsi dan profesinya, sebagai contoh;
seorang yang berasal dari golongan sudra karena ketekunannya dalam
belajar dan bekerja berhasil menjadi seorang polisi atau tentara maka
secara otomatis golongannya meningkat menjadi seorang ksatria yang
bertugas untuk membela dan mempertahankan kedaulatan negara. Bisa saja
seorang brahmana yang melakukan tindak kejahatan seperti; pencurian,
pemerkosaan, perjinahan dan tinakan melawan hukum lainnya turun
derajatnya menjadi golongan yang lebih dan bahkan paling rendah karena
perbuatannya sehingga harus menjalani hukuman penjara dan setelah
selesai menjalani hukuman akan kembali bergabung dengan masyarakat dan
tidak tahu lagi akan menjadi bergelut dalam bidang apa.
Hubungan di antara golongan pada warna hanya dibatasi oleh “dharma”-kewajiban
yang berbeda-beda tetapi menuju satu tujuan yakni kesempurnaan hidup.
Jadi, catur warna sama sekali tidak membeda-bedakan harkat dan martabat
manusia dan memberikan manusia untuk mencari jalan hidup dan bekerja
sesuai dengan sifat, bakat, dan pembawaannya sejak lahir hingga akhir
hayatnya.
Sedangkan kasta merupakan
penggolongan status sosial masyarakat dengan mengadopsi konsep catur
warna (brahmana, ksatria, wesyia, dan sudra) yang gelar dan atribut
namanya diturunkan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Artinya,
walaupun keturunannya tidak lagi berprofesi sebagai pendeta atau pedanda
tetapi masih menggunakan gelar dan nama yang dimiliki leluhurnya yang
dulunya menjadi pendeta atau pedanda. Ini sangat tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin seseorang yang belum tentu atau tidak memiliki
sifat-sifat brahmana harus disebut sebagai brahmana, dan juga terjadi
pada kasta yang lainnya.
Terlebih lagi nama dan gelar warisan masing-masing leluhurnya sekarang ini semakin diagung-agungkan dan digunakan untuk mempertajam kesenjangan di antara golongan kasta yang ada. Tetapi, jika nama dan gelarnya yang dipakai keturunannya hanya dijadikan sebagai tanda penghormatan kepada leluhurnya, maka tindakan ini merupakan tindakan yang sangat mulia dan terhormat.
Terlebih lagi nama dan gelar warisan masing-masing leluhurnya sekarang ini semakin diagung-agungkan dan digunakan untuk mempertajam kesenjangan di antara golongan kasta yang ada. Tetapi, jika nama dan gelarnya yang dipakai keturunannya hanya dijadikan sebagai tanda penghormatan kepada leluhurnya, maka tindakan ini merupakan tindakan yang sangat mulia dan terhormat.
Konsep kasta sangat bertentangan dengan
konsep warna dalam ajaran agama hindu. Namun, kesalahan pemahaman
tentang kasta dan warna masih saja terjadi dan terus berlangsung hingga
sekarang ini. Jika terjadi kesalahpahaman yang berkelanjutan maka tidak
tertutup kemungkinan akan terjadi konflik, perpecahan, dan kekacauan di
masa yang akan datang.
Tidak dapat dipungkiri banyak konflik yang terjadi akibat perbedaan kasta ini, seperti Konflik antar masyarakat yang terjadi pada Bulan Maret 2007 di Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung-Bali merupakan salah satu buntut dari tidak harmonisnya hubungan antara kaum brahmana dan sudra. Puluhan rumah kaum “kasta brahmana” dirusak dan dihanguskan oleh masyarakat sehingga masyarakat yang rumahnya hancur harus dievakuasi dan diamankan serta ditampung di MAPOLRES (Markas Polisi Resor) Klungkung. Perlu dipertanyakan kenapa ini terjadi? Tak bisa dibayangkan lagi bagaimana benci dan marahnya masyarakat terhadap kaum brahmana sehingga tega melakukan hal-hal yang anarkis ini. Belum ada penjelasan dari aparat berwenang mengenai penyebab kejadian ini. Walaupun demikian, patut diacungi jempol para masyarakat di sana bisa berdamai dan hidup berdampiangan kembali serta membuat pernyataan damai di antara masyarakat yang berkonflik.
Tidak dapat dipungkiri banyak konflik yang terjadi akibat perbedaan kasta ini, seperti Konflik antar masyarakat yang terjadi pada Bulan Maret 2007 di Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung-Bali merupakan salah satu buntut dari tidak harmonisnya hubungan antara kaum brahmana dan sudra. Puluhan rumah kaum “kasta brahmana” dirusak dan dihanguskan oleh masyarakat sehingga masyarakat yang rumahnya hancur harus dievakuasi dan diamankan serta ditampung di MAPOLRES (Markas Polisi Resor) Klungkung. Perlu dipertanyakan kenapa ini terjadi? Tak bisa dibayangkan lagi bagaimana benci dan marahnya masyarakat terhadap kaum brahmana sehingga tega melakukan hal-hal yang anarkis ini. Belum ada penjelasan dari aparat berwenang mengenai penyebab kejadian ini. Walaupun demikian, patut diacungi jempol para masyarakat di sana bisa berdamai dan hidup berdampiangan kembali serta membuat pernyataan damai di antara masyarakat yang berkonflik.
Dari penjelasan diatas jelas sudah
perbedaan pandangan mengenai kasta, warna, dan wangsa. Kita sebagai umat
Hindu yang memiliki intelektual sudah menjadi kewajiban memahami konsep
ini agar tidak terjadi pandangan yang salah yang dapat menyebabkan
kesenjangan sosial antarumat Hindu lebih-lebih bisa menyebabkan konflik
yang berkepanjangan. Namun, sekarang ini nampaknya ada usaha-usaha untuk
semakin mempertajam kesenjangan umat Hindu khususnya di Bali. Sebagai
contoh mengenai pembagian wewenang, hak dan kewajiban pendeta. Pedanda
(pendeta yang berasal dari kalangan Kasta Brahmana) memiliki wewenang
yang jauh lebih tinggi dari pada pemangku (pendeta yang berasal dari
Kasta Sudra). Pendanda bisa menyelesaikan kelima upacara keagamaan yang
ada dalam agama hindu di Bali yang lazim disebut sebagai Panca Yadnya yaitu:
(1) Dewa yadnya-upacara
keagamaan yang ditujukan kepada Tuhan dan manifestasinya seperti odalan
di pura-pura baik pura sad khayangan (pura umum yang bisa dikunjungi dan
disembahyangi oleh semua umat hindu tanpa membedakan asal-usul
keturunan) pura dang kayangan (pura yang sempat disinggahi oleh Dang
Hyang Niratha-penyebar Agama Hindu dari Jawa) maupun pura keluarga atau
merajan;
(2) Rsi yadnya-upacara
keagamaan yang ditujukan untuk para rsi atau upacara penyucian manusia
seperti upacara dwi jadi (pengukuhan stutus dari masyarakat biasa
menjadi pedanda atau pemangku);
(3) Manusia yadnya-upacara
keagamaan yang ditujukan untuk manusia seperti upacara bayi tujuh bulan
dalam kandungan (magedong-gedongan), upacara satu bulan tujuh hari
setelah bayi lahir (tutug kambuhan), upacara tiga bulan setelah bayi
lahir (nelu bulanin), enam bulan setelah lahir (otonan), upacara potong
gigi, dan upacara pernikahan (mewidhi- wedhana);
(4) Pitra yadnya-upacara yang ditujukan kepada pitara atau orang yang sudah meninggal seperti upacara ngaben, ngeroras, dan nuntun;
(5) Butha yadnya-upacara yang ditujukan kepada bhuta kala yang bertujuan untuk menyeimbangkan dunia dari pengaruh positif dan negatif.
Sedangkan pendeta yang berasal dari kalangan kasta lain tidak bisa menyelesaikan kelima upacara agama tersebut di atas. Pembagian wewenang ini tanpa berlandaskan sumber yang jelas dan sering kali berasal dari justifikasi dan penapsiran orang atau kalangan tertentu saja.
Sistem pembagian tugas dan wewenang pendeta ini hanya cocok diberlakukan di Bali saja karena tidak semua umat Hindu di seluruh Indonesia maupun dunia memiliki pendeta yang berasal dari golongan kasta brahmana.
Sedangkan pendeta yang berasal dari kalangan kasta lain tidak bisa menyelesaikan kelima upacara agama tersebut di atas. Pembagian wewenang ini tanpa berlandaskan sumber yang jelas dan sering kali berasal dari justifikasi dan penapsiran orang atau kalangan tertentu saja.
Sistem pembagian tugas dan wewenang pendeta ini hanya cocok diberlakukan di Bali saja karena tidak semua umat Hindu di seluruh Indonesia maupun dunia memiliki pendeta yang berasal dari golongan kasta brahmana.
Dalam Bhagawad Gita secara jelas
disebutkan bahwa dasar persembahan kepada Tuhan adalah “keiklasan” dan
sama sekali tidak berdasarkan besar atau kecilnya persembahan dan siapa
yang menyelesaikan upacara karena semua manusia sama di hadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa. Apa yang dijelaskan di dalam ajaran suci Agama Hindu
ini juga mempertegas bahwa tidak ada perbedaan di antara kita semua.
Kita semua mahluk Tuhan dan tak perlu lagi ada pengkotak-kotakan yang
berakibat pada perpecahan. Cintailah semua ciptaan Tuhan, semoga damai!
Sumber: www.parisadahindu.org dan www.subadra.wordpress.com
Sejarah Agama Hindu
April 18, 2014
AWAL PERKEMBANGAN AGAMA HINDU
Agama
Hindu merupakan agama yang mempunyai usia tertua dan merupakan agama
yang pertama kali dikenal oleh manusia. Agama Hindu pertama kali dikenal
di India. Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat
dibagi menjadi 4 Jaman/fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa,
menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu
telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang
menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa.
Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada
jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap Dewa-dewa.
1. Jaman Weda–>Jaman
Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai
Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak
bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa
Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa
seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun
Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan
Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang
sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut “Rta”. Pada jaman
ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
2. Jaman Brahmana–>Pada
Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan
keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada
para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai
tersusunnya “Tata Cara Upacara” beragama yang teratur. Kitab Brahmana,
adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan
tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang
termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.
3.Jaman Upanisad–>Pada
Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan
Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang
lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad
ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu
jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran
filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada
ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan
sebagai Tri Murti menjadi umum.
4.Jaman Budha–>pada
Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama
“Sidharta”, menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem
yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu
makin lama semakin menyebar mulai dari India Selatan hingga keluar dari
India dengan berbagai cara, sterutama melalui perdagangan bebas
Internasional.
Dalam suatu penggalian di Mesir ditemukan
sebuah inskripsi yang diketahui berangka tahun 1200 SM. Isinya adalah
perjanjian antara Ramses II dengan Hittites. Dalam perjanjian ini “Maitra Waruna” yaitu gelar manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa menurut agama Hindu yang disebut- sebut dalam Weda dianggap sebagai saksi.
Gurun Sahara yang terdapat di Afrika Utara menurut penelitian Geologi adalah bekas lautan yang sudah mengering. Dalam bahasa Sanskerta Sagara artinya laut; dan nama Sahara adalah perkembangan dari kata Sagara. Diketahui pula bahwa penduduk yang hidup di sekelilingnya pada jaman dahulu berhubungan erat dengan Raja Kosala yang beragama Hindu dari India.
Penduduk asli Mexico mengenal dan merayakan hari raya Rama Sinta, yang bertepatan dengan perayaan Nawa Ratri di India. Dari hasil penggalian di daerah itu didapatkan patung- patung Ganesa yang erat hubungannya dengan agama Hindu. Di samping itu penduduk purba negeri tersebut adalah orang- orang Astika (Aztec), yaitu orang- orang yang meyakini ajaran- ajaran Weda. Kata Astika ini adalah istilah yang sangat dekat sekali hubungannya dengan “Aztec” yaitu nama penduduk asli daerah itu, sebagaimana dikenal namanya sekarang ini.
Penduduk asli Peru mempunyai hari raya tahunan yang dirayakan pada saat- saat matahari berada pada jarak terjauh dari katulistiwa dan penduduk asli ini disebut Inca. Kata “Inca” berasal dari kata “Ina” dalam bahasa Sanskerta yang berarti “matahari” dan memang orang- orang Inca adalah pemuja Surya.
Uraian tentang Aswameda Yadnya (korban kuda) dalam Purana yaitu salah satu Smrti Hindu menyatakan bahwa Raja Sagara terbakar menjadi abu oleh Resi Kapila. Putra- putra raja ini berusaha ke Patala loka (negeri di balik bumi= Amerika di balik India) dalam usaha korban kuda itu. Karena Maha Resi Kapila yang sedang bertapa di hutan (Aranya) terganggu, lalu marah dan membakar semua putra- putra raja Sagara sehingga menjadi abu. Pengertian Patala loka adalah negeri di balik India yaitu Amerika. Sedangkan nama Kapila Aranya dihubungkan dengan nama California dan di sana terdapat taman gunung abu (Ash Mountain Park).
Di lingkungan suku- suku penduduk asli Australia ada suatu jenis tarian tertentu yang dilukiskan sebagai tarian Siwa (Siwa Dance). Tarian itu dibawakan oleh penari- penarinya dengan memakai tanda “Tri Kuta” atau tanda mata ketiga pada dahinya. Tanda- tanda yang sugestif ini jelas menunjukkan bahwa di negeri itu telah mengenal kebudayaan yang dibawa oleh agama Hindu.
Gurun Sahara yang terdapat di Afrika Utara menurut penelitian Geologi adalah bekas lautan yang sudah mengering. Dalam bahasa Sanskerta Sagara artinya laut; dan nama Sahara adalah perkembangan dari kata Sagara. Diketahui pula bahwa penduduk yang hidup di sekelilingnya pada jaman dahulu berhubungan erat dengan Raja Kosala yang beragama Hindu dari India.
Penduduk asli Mexico mengenal dan merayakan hari raya Rama Sinta, yang bertepatan dengan perayaan Nawa Ratri di India. Dari hasil penggalian di daerah itu didapatkan patung- patung Ganesa yang erat hubungannya dengan agama Hindu. Di samping itu penduduk purba negeri tersebut adalah orang- orang Astika (Aztec), yaitu orang- orang yang meyakini ajaran- ajaran Weda. Kata Astika ini adalah istilah yang sangat dekat sekali hubungannya dengan “Aztec” yaitu nama penduduk asli daerah itu, sebagaimana dikenal namanya sekarang ini.
Penduduk asli Peru mempunyai hari raya tahunan yang dirayakan pada saat- saat matahari berada pada jarak terjauh dari katulistiwa dan penduduk asli ini disebut Inca. Kata “Inca” berasal dari kata “Ina” dalam bahasa Sanskerta yang berarti “matahari” dan memang orang- orang Inca adalah pemuja Surya.
Uraian tentang Aswameda Yadnya (korban kuda) dalam Purana yaitu salah satu Smrti Hindu menyatakan bahwa Raja Sagara terbakar menjadi abu oleh Resi Kapila. Putra- putra raja ini berusaha ke Patala loka (negeri di balik bumi= Amerika di balik India) dalam usaha korban kuda itu. Karena Maha Resi Kapila yang sedang bertapa di hutan (Aranya) terganggu, lalu marah dan membakar semua putra- putra raja Sagara sehingga menjadi abu. Pengertian Patala loka adalah negeri di balik India yaitu Amerika. Sedangkan nama Kapila Aranya dihubungkan dengan nama California dan di sana terdapat taman gunung abu (Ash Mountain Park).
Di lingkungan suku- suku penduduk asli Australia ada suatu jenis tarian tertentu yang dilukiskan sebagai tarian Siwa (Siwa Dance). Tarian itu dibawakan oleh penari- penarinya dengan memakai tanda “Tri Kuta” atau tanda mata ketiga pada dahinya. Tanda- tanda yang sugestif ini jelas menunjukkan bahwa di negeri itu telah mengenal kebudayaan yang dibawa oleh agama Hindu.
PENYEBARAN AGAMA HINDU DI INDONESIA
Berdasarkan beberapa pendapat,
diperkirakan bahwa Agama Hindu pertama kalinya berkembang di Lembah
Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu
dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari
lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok
dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan
akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang
masuknya Agama Hindu ke Indonesia.
Beberapa Teori tentang masuknya Agama Hindu di Indonesia:
Krom (ahli – Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul “Hindu Javanesche Geschiedenis“, menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.
Dalam bukunya yang berjudul “Hindu Javanesche Geschiedenis“, menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.
Mookerjee (ahli – India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.
Moens dan Bosch (ahli – Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.
Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.
Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya
menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan
pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang
menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke
Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India
Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran
agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:
Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.
Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.
SEJARAH SINGKAT AGAMA HINU DI INDONESIA
Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal Tarikh Masehi, dibawa oleh para Musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para Musafir dari Tiongkok yakni Musafir Budha Pahyien.
Ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda
purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa
peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu
didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang
menyatakan bahwa: “Yupa itu didirikan untuk memperingati dan
melaksanakan yadnya oleh Mulawarman”. Keterangan yang lain menyebutkan
bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk
memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara“.
Masuknya agama Hindu ke Indonesia,
menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman
prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan
beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga
munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di
Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat
mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni
prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan
Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf
Pallawa.
Dari prassti-prassti itu didapatkan
keterangan yang menyebutkan bahwa “Raja Purnawarman adalah Raja
Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan
lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu”
Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat
adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan
diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data
tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu
dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan
adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa
sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti
Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu
Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan
berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan lain juga disebutkan dalam
prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa.
Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576
Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: “Sruti indriya rasa”, Isinya
memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma
sebagai Tri Murti.
Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi
Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi
dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan
pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama
Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa
Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo)
dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno.
Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja
Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda,
para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah
salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan
suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan
Hindu di Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu
Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang
artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa.
Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya
munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042)
yang juga adalah penganut Hindu yang setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa
Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban
agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu,
misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka,
Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari
(tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi
Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan
kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa
Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi
seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang
kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan
berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa
Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.
Selanjutnya agama Hindu berkembang pula
di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal
ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga
adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini
bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari
abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali,
bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan
datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana.
Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup
pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan
Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana
termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya
pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas
jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura
Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya,
sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19
masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada
masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan
dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16.
Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian
pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti
Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah
runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat
mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul
dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923
di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur
Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para
Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di
Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal
23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal
17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma
Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan
yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada
tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan
menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan
menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang
selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
sumber: www.parisadahindu.org dan www.babadbali.com
Ciri-Ciri Orang Bisa Ngeleyak "Berajah Cinging"
April 18, 2014
Dalam prakteknya di masyarakat ciri-ciri Pangeleyakan
bersumber dari perilaku manusia, yang disebut dengan Balian Pangiwa dan Balian
Panengen, seperti dijelaskan oleh Nala (2002:114). Balian panengen adalah
Balian yang tujuannya untuk mengobati orang yang sakit sehingga menjadi sembuh.
Balian Pangiwa bertujuan bukan untuk menyembuhkan orang sakit, tetapi membuat
orang yang sehat menjadi sakit dan yang sakit menjadi bertambah sakit, bahkan
sampai meninggal. Balian atau dukun jenis ini sangat sulit untuk dilacak,
pekerjaannya sudah penuh rahasia, terlalu tertutup dan misteri. Tidak sembarang
orang yang datang dapat dipenuhi keinginannya untuk membencanai musuh atau
orang yang dibenci. Jadi dukun/balian inilah yang melakukan berbagai cara untuk
membuat korbannya sakit dengan mempelajari ilmu pengeliyakan, desti,
pepasangan, sasirep, bebahi dan lainnya.
Pengeliyakan adalah sosok tubuh manusia yang tampak seperti
bhuta atau binatang. Desti adalah suatu kekuatan gaib yang dapat menyebabkan seseorang
menjadi sakit. Biasanya mempergunakan benda-benda yang berasal dari orang yang
akan dibencanai yang akan dikenai penyakit. Pepasangan adalah benda yang diisi
kekuatan gaib atau magis, serta ditanam di dalam tahanh atau disembunyikan
secara rahasia ditempat tertentu untuk membendanai seseorang. Benda tersebut
dapat berupa tulang, taring binatang, gigi binatang, daun lontar yang telah
dirajah, rambut kain yang telah diisi tulisan dan lainnya. Bebai atau Bebahi
adalah penyakit yang dibuat dari raga janin dan Kanda Pat, (empat saudara yang
dapat dikirim masuk kedalam tubuh seseorang yang ingin membencanai sehingga
jatuh sakit. (Nala, 2002:177-186).
Yang terdapat dalam lontar Aji Pengeliyakan milik Griya Sangket Karangasem salinan (I Nengah Widana,1995), dan terjemahan I Nyoman Neraka (2008). Lontar tersebut scara garis besarnya, menguraikan tentang: 1). Pasuryan Pangiwa, segala ilmu (pengeliyakan) dapat dicapai dengan terlebih dahulu memusatkan pikiran, beryoga. 2). Gni Sambawana, atau disebut juga pangwa sari. Ini (pengeleyakan) yang paling utama 3). Cambra Berag, ini sangat sakti, karena bersumber dari sebagain kecil Hyang Aji sarswati sebagai batasannya. 4). Rabut Sapetik, ini dapat digunakan membuat orang menjadi gagu semua yang bersuara. 5). Maduri Reges, ini merupakan leyak campuran dari beberapa agama; guna Makasar, guna Jawa, guna Bali, guna leyak putih dari Mekah. 6). Pangiwa Utamaning Dadi, supaya menjadi Butha Dengen (yang membuat bulu kuduk merinding). 7). Rerajahan ring Papetek (sabuk), untuk membersihkan diri, artinya tidak semua pangiwa itu negatif (lihat aksara IV. Dan V). 8). Panugrahan pangiwa, memohon panugrahan kepada Yang Nini Bhatari Gangga, untuk menghidupkan pngiwa yang ada ditengah mata. 9). Tata cara pengiwa untuk orang perempuan, untuk menggabungkan agar Bhtara Brahma, Wisnu dan Iswara berkumpul menjadi Bhatara Kala, agar kesaktiannya tidak terkalahkan. 10). Pengeliyakan Uwig, agar menjadi Bhuta Baliga (lihat aksara VIII dan IX). Pangiwa Swanda, ini adalah ratunya pangiwa. 12). Brahma Maya Murti, agar nampak seperti Hyang Brahma Murti, bertangan delapan ribu berbadan sembilan ribu, berkaki 1000 (alaksa), tangangan memamajang, dan memakai anting-anting bintang di langit. 13). Ni Calon Narang, dapat berubah wujud sampai seribu kali. 14). Rata Gni Sudha Mala, (tanpa penjelasan).
Jadi seperti apa yang diuraiakan di atas, ternyata tidak ada
ciri khusus yang menyatakan tentang pengeliyakan, karena ini bersifat rahasia
dan harus dirahasiakan. Tetapi untuk megetahui, secara samar-samar dapat
dipahami melalui cerita bali Kuno tentang: I Dongding, yang menceiterakan
Balian Baik dan Balian Jahat.
Biasanya pada jaman Bali Kuna, ketika ingin menidurkan anak
atau cucunya, diawali dengan cerita. Ceritanya seperti dibawah ini.
I Dongding, adalah anak pertamanya Men Dongding. Dongding
yang sudah berumur 10 tahun, dan ketika itu ibunya sedang hamil tua. Ayahnya
adalah seorang petani. Ketika ayahnya sedang bekerja di sawah, maka Ibu
Dongding perut mendadak sakit. Maka dipanggilah anaknya, yang bernama I
Donding. ”Dongding-Dongding, mai ja malu, kesini sebentar”. Maka datanglah I
Donding dekat ibunya, ibunya berkata; ”perut ibu sedang sakit tolong carikan
ibu Balian untuk membantu kelahiran. Cari balian yang rumahnya beratap Ijuk
adalah Balian Baik, dan jangan cari Balian yang rumahnya bertap Alang-Alang dia
adalah balian Jahat. Sebab Balian tersebut rumahnya berdampingan, jangan sampai
salah ya nak!, demikian ibunya menuyuruh. Maka I Donding datang kerumah Jero
Balian, tetapi setalah sampai didepan rumah Balian ia lupa. Rumah atap
Alang-alang apa Ijuk? Tetapi akhirnya dalam kebingungan I Donding memilih yang
bertap alang-alang. Kemudian Donding mengetuk pintu, sdambil berkata: ”Jro
Balian... Jro Balian....Jro Balian” Jro Balian menyapa, ”nyen to kauk-kauk?”
siapa itu memanggil-magil. ”Tiang cucun Dadonge I Donding!”, ketika melihat
wajah Nenek Renta Tua, yang berwajah Cinging, berpakian poleng hitam putih
kumat. I Donding merasa dirinya salah mencari Balian, dan bulu kuduknya meriding.
”Men kenken cening tumben ngalih dadong mai? (kenapa kamu tumben kesini.)
Demikian kata Jro Balian Nenek Renta tersebut, kemudian I Donding menjelaskan,
”Dadong orahina nulungin mementiange sedeng beling gede” (Dadong diseruh
membatu melahirkan ibu saya). ”Ya... kalau begitu dimana rumahmu?. Disitu
didekat bale Banjar, tiga rumah keutara. Nenek tidak tahu jaklannya, silahkan
kamu menangkat ayam Nenek yang berwana merah, dan cabut bulunya sebagai
petunjuk jalan.
Ringkas cerita, setelah sampai dirumah dan kebetulan juga
Bapaknya sudah datang dari sawah, maka I Dongding mengatakan sudah mencari
Balian yang rumahnya beratap Alang-alang. Ibu dan Bapaknya kaget, ibunya
berkata; ”bah... Donding-dongding.... sing buwungan suba meme jani mati. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, I Dongding disuruh menyapu bulu ayam sudah
dtebarkan tadi, setelah itu mereka membagi tugas. Ibu-nya Donding bersembunyi
dibwah ketungan, (tempat menumbuk padi. Ayah dan I Donding bersembunyi di
Menten (Balu Utara), kemudian di pintu dapur dipasang talenenan (tempatt
memotong daging) dan di Gebeh (tempat air) ditaruh ular. Kemudian dengan
jalan yang tersiok-siok akhirnya ia datang kerumahnya Dongding, dan
memanggil-mangil tidak ada yang menjawab. Akhirnya dia duduk di atas ketungunan,
sambil mencari kutu dirambutnya. Setiap kutu yang diperoleh di pencat dan
bersuara ”Klepit”, kemudian Ibu Donding duduk dibawah ketungan, dia tertawa.
Akhirnya dia ketahuan oleh Jro Balian yang Cingimg. ”Ye... memen Dongding dini
mengkeb, mai-mai tulunga melahirkan”, (Hai....Ibu Dongding disini ngumpet,
mari-mari aku tolong untuk melahirkan). Ibu Dongding dengan rasa takut,
akhirnya keluar dari temat persembunyian. Dengan sigap Jro Balian, dengan
rambut gimbal yang tak teurus membantu melahirkan. Begitu lahir bayi yang
dikandung, langsung digendong dan dibelai-belai sambil tertawa.
Durga Taweng
Durga Taweng
Tanpa berkata panjang lebar akhirnya anak dan Ibu-nya Donding dimakan bersama satu persatu, dan sisa tulangnya dibiarkan disamping ketungan. Karena perut yang kenyang, kemudian dia kedapur mencari air. Baru dibuka pintunya, kepalanya di bentur oleh talenan, kemudian baru dibuka tempat airnya, dia dipatuk oleh ular. Akhirnya Jro Balian, meningal karena di patuk ular. Kemudian I Donding dan Bapaknya keluar dari Bale Meten, sambil membawa celurit dan Alu. Ketika itu mereka berdua melihat seekor anjing, datang dari timur laut sambil melangkahi tulang belulang Ibu dan anak yang baru lahir tersebut. Akhirnya mereka dapat hidup kembali, seperti sedia kala.
Dari cerita di atas dapt dilihat ciri-ciri, orang yang
mempelajari Ilmu pengeliyakan adalah: 1). Berpakian kumat, artinya pakiannya
jarang dicuci dalam keseharian hidupnya, 2). Berwajah Cinging, artinya suka
mengganggu atau aji Wegig, 3). Rambut gimbal, artinya jarang berkeramas, 4).
Menggunakan ayam merah (biying), artinya memuja Dewa Brahma, dalam ajaran yang
disebarkan melalui emosional yang sering disebut Dewi Durga, 5). Bersuara
klipit, artinya memiliki banya kutu besar-besar, akibat rambutnya tidak pernah
dicuci. Pada umumnya penbgeliyakan adalah seperti di atas, tapi tidak semua
ciri-ciri ini tidak berlaku semua pengeliyakan, karena banyaknya jenis-jenis
pengeliyakan, seperti disebutkan di atas bahwa Ni Calonarang dapat berubah wujud
sampai 1000 kali, artinya paling tidak ada 1000 ciri, dan setiap perubahan
minimal ada 5 ciri (ww).
Penulis : I Wayan Watra, FIAK-UNHI
Tanggal : 2012-08-05
TAKSU
MAJALAH
KEBUDAYAAN BALI ISSN:1907-834X
Langganan:
Postingan (Atom)