Pura SakenanPura Sakenan berstatus Dang Kahyangan. Letak pura ini di sebuah pulau kecil bernama Pulau Serangan. Luas daratan pulauini semula sekitar 1.119km2, terletakdi ujung tenggara pulau Bali, yang merupakan bagian dari wilayah Kelurahan Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kotamadya Denpasar. Namun setelah diadakan reklamasi, luas daratan pulu ini menjadi berlipat ganda.
Untuk mencapai lokasi Pura Sakenan, dari pusat kota Denpasar, kita harus menuju arah Selatan menempuh jalan sekitar 10 km. Setelah rekiamasi, Pulau Serangan disatukan dengan daratan Bali oleh jalan dan jembatan. Dahulu, sebelum direklamasi, umat Hindu berjalan kaki melintasi laut, jika air laut sedang surut. Namun jika air laut lagi pasang, kita harus berlayar dengan perahu atau jangolan. Kita menyeberangi lautan melalui sela-sela hutan bakau selama lebih kurang 30 menit. Asyik juga melakukan perjalanan dengan jangolan. Lebih-lebih bagi umat yang belum pernah naik perahu dan tumben tangkil ke Pura Sakenan. Setelah melewati hutan bakau, di sebelah barat kita melihat Pelabuhan Kapal Laut Benoa, dan di sebelah Timur, nun jauh di sana terlihat pula Puiau Nusa Penida. Setelah jaian dan jembatan rampung, semua jenis kendaraan bermotor sudah bisa langsung ke pulau mungil ini. Perahu atau jangolan praktis tak terpakai lagi.
Pura ini terbagi menjadi dua bagian yang sama-sama dikelilingi oleh tembok penyengker. Bagian timur adalah Pura Masceti dan yang di sebelah barat adalah Pura Sakenan. Palinggih-palinggih yang ada di lingkungan Pura Masceti sebagian besar merupakan Pedarman. Sedangkan pada Pura Sakenan hanya terdapat satu persada yaitu Persada Danghyang Dwijendra.
Sejarah dan Arti Nama Serangan
Sebelum menuturkan sejarah Pura Sakenan, nama Pulau Serangan juga cukup menarik untuk diungkap. Ada beberapa versi, mengapa pulau kecil itu bernama Serangan. Dalam babad Dalem Klungkung khususnya ketika menceritakan berlangsungnya pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir, nama Pulau Serangan sering dikait-kaitkan. Dalem Ketut Ngelesir adalah putra bungsu dari Dalem Krcsna Kepakisan. Dalem Ketut bersaudara tiga orang. Yang sulung bernama Dalem Ole, berkeraton di Samprangan. Saudaranya nomor dua bernama Dalem Tarukan.
Dalem Ketut Ngelesir gemar berjudi serta pernah tinggal di Desa Pandak Tabanan. Tatkala di Gelgel terjadi kekosongan pemimpin, Ngurah Kebon Kelapa diutus menjemput Dalem Ketut di Pandak. Ngurah Kebon diiringi para arya antara lain: Arya Kepakisan, Arya Damar, Arya Kenceng, Arya Sentong, Arya Belog, Arya Beleteng, Arya Kutawaringin, Arya Benculuk dan Arya Kinuruhan. Dalem Ketut berhasil ditemui dan dibujuk agar mcnduduki tahta di Gelgel.
Ketika Dalem Ketut Ngelesir kembali bcrtahta di Gelgel, ia digoyang oleh pemberontakan dahsyat. Pemberontakan itu dipelopori Desa Bali Age yang dibantu oleh Desa Kintamani, Kedisan, Abang, Pinggan, Mentig dan Puludu. Oleh karenu pemberontakan ini begilu dahsyat, Dalem Ketut Ngelesir kewalahan. Begitu pula para Arya, abdi Dalem, tak mampu menghadapi pemberontak. Mereka lari, serta masing-masing mencari jalan sendiri untuk menyelamatkan diri. Dalam keadaan ricuh ini, salah seorang arya abdi Dalem yang bernama Arya Kenceng melarikan diri menuju arah selatan, Beliau menyelusuri pantai Pulau Bali bagian selatan serta menceburkan dirinya ke lautan bebas untuk menghindari kejaran musuh.
Berkat kemurahan Hyang Paramakawi, Arya Kenceng dibawa arus dan terdampar di sebuah daratan kecil yang terletak di tengah lautan. Saat terdampar itu, beliau dilihat oleh para pemancing ikan di pulau itu. Para pemancing ikan geger, lalu segera melaporkan penemuun itu kepada Ki Bendesa Mas. Maka berduyun-duyunlah penduduk di pulau itu mengikuti Ki Bendesa Mas selaku pemimpin mereka. Ki Bendesa Mas bertanya tentang identitas dan kenapa sampai begini. Arya Kenceng menyembunyikan identitas dirinya dan memberi jawaban yang sangat diplomatis.
"Aku tidak tahu tentang diriku. Aku tidak ingat apa-apa dan aku merasa dimuntahkan di sini oleh Burung Garuda," jawab Arya Kenceng.
Arya Kenceng tak mau buka kartu, mungkin lantaran takut jika diketahui orang maupun olefi orang-orang Baliage yang mengejarnya, Kelika Arya Kenceng mengaku dimuntahkan oleh Burung Garuda, maka berita itu cepat tersiar dari mulut ke mulut. Berduyun-duyun penduduk menengok Arya Kenceng dengan perasaan iba. Banyak orang di daratan itu menemani Arya Kenceng dimana ia dihempas ornbak. Oleh karena banyak yang sungat kasihan (kaprihangen-Bahasa Bali), tempat terdamparnya Arya Kenceng itu lambat laun disebut "Sira Angen" (artinya "siapa lidak kasiharr). Lambal laun, kata "stra angen" berubah menjadi kata “serangan”. Jika kita memperhalikan bentuk pulaunya, pulau Serangan letaknya miring (sirang-Babasa Bali). Oleh karena bentuknya sirang., lambat laun kata sirang berubah menjadi Serangan.
Dharmayatra Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh
Di dalam Dwijendra Tatwa disebutkan, Danghyang Dwijendra atau lebih dikenal dengan sebutan Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh yang mengadakan Dharmayatra di Pulau Bali, memiliki kaitan erat tentang Pura Sakenan di Serangan.
Pada abad XV, Danghyang Dwijendra telah menjadi bhagawanta Keraton Gelgel Klungkung saat pemerintahan Dalem Waturenggong. Saat itu Danghyang Dwijendra telah menempati asrama di Mas, Gianyar. Asrama itu dihaturkan mertua beliau yang bernama Pangeran Mas bertempat di Mas Gianyar. Danghyang Dwijenda berkumpul dengan kcluarga beliau, salah satunya bernama Ida Pedanda Sakti Mas. Ibunda Ida Pedanda Sakti Mas adalah putra dari Pangeran Mas.
Pada suatu ketika, Danghyang Dwijendra heranjak dari pasramannya di Mas untuk melanjutkan Dharmayatra. Sang Pandita berkeliling mengadakan pembinaan agama Hindu di Bali. Tujuunnya pertama adalah menuju labuhan Masceti. Tiba di Labuhan Masceti, Gianyar, Sang Mahamuni mencium bau harum yang dihembuskan oleh angin di sekitar. Setelah malam tiba, beliau melihat sinar (tejti gumulung) yang warnanya kuning einas di sekitar Labuhan Masceti. Dengan serta merta Danghyang Dwijendra mempersiapkan din untuk meditasi dan ingin mengadakan Pujaastawa Pamuspan. Tatkala Danghyang Dwijendra mulai angranasika akan melakukan muspa, terdengarlah sabda awang-awang yang isinya antara lain sebagai berikut:
"Hai, Danghyang, tidaklah patut Danghyang muspa di sini, sebab Danghyang adalah seorang pandita yang telah purohita dan suci, apalagi yang Danghyang perlukan di dunia ini? Sebaiknya Danghyang mencari kebahagiaan menuju arah Barat Daya Siwa-Ludranya. Di situ Danghyang akan menikmati kehidupan. Lanjutkanlah dharmayatra ini, dan aku akan menyertai perjalanan Danghyang."
Setelah mendengar sabda mantara itu, Danghyang Dwijendra kaget. Sambil berpikir dalam-dalam, beliau melanjutkan perjalanan dharmayatranya dengan menelusuri pantai Pulau Bali bagian selatan. Tibalah Danghyang Dwijendra di Pulau Serangan. Orang-orang Serangan sangat terperanjat melihat seseorang datang ke pulau tersebut. Apalagi, Danghyang Dwijendra mempergunakan baju jubah warna hijau muda terbuat dari kain sutra. Sang Pandita lalu berdialog dengan orang-orang Serangan. Setelah mengetahui bahwa yang datang adalah Ida Pedanda Sakti Waru Rauh, betapa gembiranya Ki Bendesa Mas di Serangan. Ki Bendesa sangat gembira, karena yang datang itu adalah menantu Pangeran Mas di Desa Mas. Pangeran Mas adalah nabe-nya Ki Bendesa Mas di pulau Serangan yang berasal dari Desa Mas. Danghyang Dwijendra disambut gembira oleh orang-orang Serangan di bawah pimpinan Ki Bendesa Mas di Serangan. Beliau kemudian diajak mampir serta dihaturkan santapan di rumah Ki Bendesa Mas.
Setelah mendengarkan petuah-petuah keagamaan dari Danghyang Dwijendra, Ki Bendesa Mas berkata, "Paduka Danghyang, lebih baik tinggalkan saja pasraman di Desa Mas. Kami mohon untuk menetap di Pulau Serangan. Kami mohon bimbingan agama Hindu. Selain itu, kami mohon tirta yang merupakan amerta bagi kami semuanya di sini."
Mendengar pernyataan Ki Bendesa Mas ini, Danghyang Dwijendra menjawab, "Aku kemari adalah untuk menyelamatkan agama Hindu. Bukan di sini saja. Bahkan aku sampai ke arah timur, sedapat-dapatnya sesuai dengan perintah mertuaku dari Daha pada waktu aku didiksa sebagai pandita."
Jadi, pada dasarnya Danghyang Dwijendra menerima permohonan itu. Apalagi beliau telah mengambil putri Pangeran Mas sebagai istrinya serta telah menurunkan putra Sawiji Pedanda Sakti Mas. Danghyang Dwijendra lalu mengambil Sekar Sumpang di atas gegelungnya lalu diberikan kepada Ki Bendesa. Katanya, "Ini pakai ganti diriku, simpanlah ini baik-baik, Sungsung dan kalau mungkin di kemudian hari buatkanlah Istadewata (palinggih). Aku merestuinya dan kalau kalian membuatkan Istadewata, buatlah dua buah. Satu untuk diriku dan satu lagi untuk Ida Betara Masceti. Sebab kedatanganku kemari diikuti oleh Bhatara Masceti. Sekar Sumpang inilah pakai dasarnya semoga Anda semuanya di sini mendapat suka sadia rahayu saketurunan nanti."
Semenjak itulah Ki Bendesa Mas di Serangan membangun dua buah pelebahan pura. Yang di lokasi timur disebut Pura Masceti, dan yang di sebelah barat merupakan Istadewata Danghyang Dwijendra alias Pedanda Sakti Wawu Rauh yang kemudian disebut Pura Sakenan. Kedua pura ini berstatus Dang Kahyangan Jagat.
Setelah Danghyang Dwijendra mengakhiri Dharmawacana tentang keagamaan di hadapan orang-orang di Pulau Serangan khususnya terhadap Ki Bendesa Mas, beliau meminta diri untuk melanjutkan Dharmayatra ke pesisir pantai bagian Barat. Tibalah beliau di Desa Kelan Tuban, Kedatangan beliau didengar oleh para kadang wargi (keturunan Pangeran Mas yang ada di Kelan). Danghyang Dwijendra diajak mampir dan dimohon marerepan (menginap). Sang Pandita disuguhkan santapan ala kadarnya. Perlu diketahui, semenjak Danghyang Dwijendra mengambil putri Pangeran Mas di Desa Mas dan membuahkan seorang putra bernama Ida Pedanda Sakti Mas, semua keluarga besar serta keturunan Pangeran Mas menyatu bhakti kepada keturunan beliau, khususnya terhadap keturunan Ida Pedanda Sakti Mas. Sebab Pedanda Sakti Mas adalah merupakan kwangi oleh para Bendesa Mas di seluruh Bali,
Di tempat kadang wargi-nya inilah Danghyang Dwijendra memberikan wejangan keagamaan kepada orang-orang di Kelan. Di situ Danghyang Dwijendra menceritakan bahwa dirinya baru datang dan bertemu dengan para kadang wargi dan orang-orang Serangan, Sang Pandita menceritakan bahwa di situ beliau akan disungsung di kemudian hari. Para kadang wargi-nya di Kelan juga menghendaki agar Danghyang Dwijendra menetap di desa Kelan, sama permintaannya dengan Ki Bendesa Mas di Serangan. Namun beliau menolak dengan halus. "Perjalananku masih panjang, dan swadharmaku belum selesai," kata Sang Pandita.
Namun sebagai gantinya, Danghyang Dwijendra memberikan sebuah "Lontar-tutur" kepada pemuka Bendesa Mas di Kelan untuk dipelajari dan disungsung. Oleh karena itulah di tempat Danghyang Dwijendra marerepan (menginap) dibuatlah istadewata (palinggih) oleh para kadang wargi-nya yang disatukan lokasinya dengan palinggih leluhur Bendesa Mas di Kelan yang disebut Paibon, Pura ini sekarang disebut Pura Parerepan. Oleh karena di Pura Parerepan ini Danghyang Dwijendra juga distanakan, maka pura ini juga disebut dengan narna "Pura Parerepan Sakenan". Saat ini Pura Parerepan di Kelan diemong oleh desa adat. Pemangkunya adalah keturunan Pangeran Mas. Di lokasi Pura Parerepan Sakenan di Kelan terdapat palinggih-palinggih seperti :
1. Palinggih Pedanda Sakti Wawu Rauh
2. Bhatara Sri Rambut Sedana
3. Bhatara Gunung Agung
4. Pangrurah
5. Palinggih Paibon (leluhur Bendesa Mas di Kelan)
Patirtan atau odalan di Pura Sakenan, Pulau Serangan jatuh pada hari Saniscara Kliwon (Tumpek) Uku Kuningan. Sedangkan odalan di Pura Parerepan Sakenan di Kelan jatuh pada hari : Redite Wage Uku Kuningan (tujuh hari sebelum petirtan di Pura Sakenan Serangan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar