PURA LUHUR BATUKARU
Pura Luhur BatukaruPura ini terletak di kaki Gunung Batukaru, Desa Wongaya Cede, Penebel, Tabanan. Letak pura sekitar 3 kilometer dari Desa Wongaya Gede dan sekitar 22 kilometer dari Kota Tabanan atau 42 kilometer di sebelah barat laut Kota Denpasar. Untuk menuju pura dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini, kita dapat menjangkau dengan mudah, karenajalan raya menuju ke sana sudah lumayan bagus. Pura dengan lingkungan hutan yang sejuk dengan suhu udara berkisar antara 24-32 derajat Celcius (siang hari) dan 18-22 derajat Celsius (malam hari) memiliki curah hujan yang cukup tinggi yakni rata-rata 1.899 mm pertahun.
Pura Luhur Batukaru merupakan salah satu pura dengan status sebagai tempat pemujaan seluruh umat Hindu atau yang lebih dikenal dengan Kahyangan Jagat. Pura ini juga menjadi bagian dari Pura Sad Kahyangan di Bali dengan fungsi sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Mahadewa. Selain sebagai tempat pemujaan Hyang Mahadewa, dalam beberapa lontar disebutkan pula Pura Luhur Batukaru sebagai stana Hyang Tumuwuh.
Upacara piodalan (pujawali) di pura ini berlangsung setiap enam bulan sekali atau setiap 210 hari, tepatnya hari Kamis (Whraspati), Umanis, Dungulan — sehari setelah hari raya Galungan. Pada hari itu, selalu dipadati umat Hindu dari berbagai pelosok Bali. Belakangan ini, sejak Galungan, umat sudah banyak yang pedek tangkil ke pura ini. Selama piodalan Ida Bhatara nyejer hingga tiga hari. Pengempon pura ini terdiri atas desa-desa pakraman yang berada di sekitarnya yakni Desa Pakraman Wongaya Gede (empat banjar pakraman –Wongaya Kaja, Wongaya Kangin, Wongaya Kelod, dan Bendul), Keloncing, Bengkel, Sandan, Amplas, Batukambing, Penganggahan dan Tengkudak (Banjar Pakraman Tengkudak dan Den Uma). Sedangkan pangemong/penanggung jawab pelaksanaan upacara adalah Jro Kebayan.
Sejarah Pura
Kapan berdiri dan siapa yang membangun Pura Luhur Batukaru hingga kini belum diperoleh data secara pasti. Pasalnya, sampai saat ini sumber-sumber tertulis yang mengungkap keberadaan pura yang terletak di kaki Gunung Batukaru ini sangat minim. Akibatnya, untuk memperkirakan kapan didirikannya pura ini harus juga berdasarkan sumber-sumber atau bukti tak tertulis. Beberapa sumber tak tertulis seperti peninggalan purbakala yang diperkirakan berasal dari masa tradisi megalitik terdapat di dalam pura, dijadikan acuan untuk memperkirakan waktu pendirian pura ini.
Dalam buku Pura Luhur Batukaru terbitan Dinas Kebudayaan Bali, Oktober 1994, disebutkan AJ. Bernet Kempres pernah melaporkan adany a temuan berupa menhir di lereng Gunung Batukaru pada ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut Setelah dilakukan penelitian beberapa waktu lalu, laporan Bernet Kempres tersebut terbukti kebenarannya.
Buktinya? Di halaman dalam (jeroan) terdapat beberapa menhir dan onggokan batu. Onggokan batu yang dimaksudkan tersebut, oleh krama pangempon Pura Luhur Batukaru disebut Palinggih Kampuh. Dalam buku setebal 92 halaman tersebut juga ditulis bahwa Palinggih Kampuh itu merupakan medium pemujaan roh suci golongan Kebayan/Kubayan yang telah berjasa bagi masyarakat setempat.
Pada zaman megalitik, segala bidang kehidupan masyarakat berpusat pada penghormatan dan pemujaan arwah nenek moyang alau arwah pemirnpin yang disegani. Kepercayaan kepada roh leluhur umum pada saat itu. Masyarakat percaya bahwa arwah roh leluhur itu berdiam di puncak gunung dan bukit yang memiliki kekuatan gaib yang diyakini dapat menolak bahaya dan memberikan kesejahteraan. Agar kesejahteraan tersebut bisa terpelihara dengan baik maka hubungan dengan dunia arwah dijaga dengan baik, salah satunya dengan mendirikan bangunan-bangunan megalitik seperti menhir sebagaimana yang dijumpai di Pura Luhur Batukaru,
Pendiri Pura Batukaru
Sementara untuk bukti tertulis — prasasti dan purana — mengenai keberadaan Pura Luhur Batukaru sangat minim. Bahkan, purana yang secara khusus mengupas keberadaan pura yang memiliki hawa sejuk ini sama sekali tidak ditemukan. Namun, ada beberapa sumbcr tertulis yang memuat secara selintas keberadaan Pura Luhur Batukaru ini, baik berupa lontar maupun sumber kepurbakalaan lainnya.
Ketut Soebandi dalam bukunya Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali menyebutkan, lontar-lontar yang memuat secara selintas keberadaan pura ini antara lain Babad Pasek, Usana Bali, Babad Pasek Toh Jiwa, serta Babad Buleleng. Sedangkan dalam buku Pura Luhur Batukaru menyebutkan beberapa lontar lainnya, seperti Raja Purana Gajah Mada, Padma Bhuwana, Kusuma Dewa, Sang Kulputih, Babad Pasek Kayu Selem, Widisastra, Empu Kuturan, Dewa Purana Bangsul, juga memuat sekilas tentang keberadaan pura ini. Daiam hubuflgannya dengan sejarah pendirian pura ini, sejumlah lontar menyebutkan, Pura Luhur Batukaru didirikan oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha, sebagaimana tertulis dalam lontar Usana Bali. f
Sementara mengenai data kepurbakalaan, di Pura Luhur Batukaru terdapat peninggalan berupa area, candi, serta beberapa pusaka, seperti tombak^Sebuah area kuno juga ditemukan di pura ini, yakni di Beji. Area seperti ini juga ditemukan di Pura Tegeh Koripan di Gunung Penulisan, Kintamani.
Melihat coraknya, area semacam itu diperkirakan merupakan peninggalan periode Bali Kuno sekitar abad X-XII. Melihat hasil-hasil temuan itu, dan dipadu dengan sumber-sumber tertulis lainnya, Pura Luhur Batukaru ini dapat diduga berdiri pada abad XI. "Jadi berdasarkan data epigrafis tersebut, dapat memberikan petunjuk hah wa Pura Luhur Batukaru dibangun pada zaman pemerintahan Raja Cri Masula-Masuli berkuasa di Bali," tulis I Ketut Soebandi.
Di pura ini ada beberapa upacara khusus yang mungkin tidak ada di pura lain. Salah satu kegiatan yang khusus ditemukan di pura ini yakni upacara marebu kulak. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh warga pekandelan (pengempon pura) yang baru menempuh hidup baru (nikah). Kegiatan ini diawali dengan upacara di Pura Pengakan Pasek dan dilanjutkan dengan naik turun anak tangga di Bale Agung. Setiap umat yang mengikuti kegiatan ini diharuskan berpasangan. Bila sang istri hamil (tidak boleh ke pura) bisa digantikan oleh orang lain {biasanya keluarga dekat). Sebelum melaksanakan kegiatan ini, pasangan yang baru menikah tidak boleh naik di Bale Agung (jaba tengah).
Belum "Ketus"Gigi
Selain kegiatan itu, ada pula satu larangan khusus yang hanya berlaku di Pura Luhur Batukaru. Larangan itu, yakni tidak boleh mengajak anak kecil yang belum ketus (tanggal) gigi pertama masuk Pura Luhur Batukaru. Bila dikaitkan dengan sastra agama, larangan ini tentu tidak sesuai. Namun, bagi masyarakat di Wongaya Gede, sama sekali tidak ada yang berani mencoba untuk melanggar larangan itu. Pasalnya, bila anak yang belum ketus gigi diajak ke pura ini diyakini akan mendapat kesulitan. '
Tidak masuk akal memang. Namun, demikianlah faktanya. Bahkan, dalampangeling-eling di pura ini disebutkan "…salting riin tan kaledangang ngaranjing ka jeroan janma sane durung maketus, riantuk sering kacapatan manggih pakeweh…". Terjemahan bebas bahasa Bali itu kurang lebih begini: "….dari dulu anak-anak yang giginya belum tanggal tidak diperkenankan memasuki pura karena sering menemui kesusahan."
Ketidakberanian warga pangempon/pengemong melanggar larangan ini bukannya tanpa aiasan. Mantan prajuru Banjar Pakraman Wongaya Bendul Ketut Suwirja (aim) pernah menuturkan kepada Bali Post seputar peristiwa yang terkait dengan larangan ini. Dikatakannya, pada saat piodalan di tahun 2002 lalu, seorang pemedek yang berasal dari luar desa pengempan* pedek tangkil bersama keluarganya. Tidak terkecuali, anak yang diperkirakan masih berumur empat tahun juga ikut. Melihat ada anak kecil diajak orangtuanya, salah seorang pecalang pura setempal menanyakan apakah giginya sudah tanggal atau tidak. Jawabnya, tidak. Karena itu, sang pecalang meminta agar anak kecil tersebut tidak diajak masuk kejeroan.
Sayang, orangtua dari anak tersebut bukannya menuruti permintaan pecalang tadi Sambil sedikit marah-marah, mereka tidak rnenerima alasan sang pecalang pura, Tak mau ribut-ribut dengan pemedek, pecalang itu mempersilakan mereka masuk bersama anaknya yang giginya belum tanggaL Apa yang terjadi? Sesampai di Pura Beji, sesaat menjelang panca sembah digelar, tanpa sebab, anaknya menangis sambil menjerit-jerit. Tak seorang pun bisa menghentikan tangis anak itu. Semua pemedek lainnya terperangah.
Kemudian orangtua anak kecil itu memilih untuk keluar jeroan Pura Beji bersama anaknya. Sesampai di pinggir kolam, sebelah selatan Pura Beji, tangis anak kecil itu mendadak berhentL Melihat kejadian itu, ayah dari anak kecil itu akhirnya memilih kembali kc jaba sisi dan menunggu anggota keluarganya di wantilan yang terletak Aijaba sisi Pura Luhur Batukaru. .
Kejadian ini merupakan salah satu bukti, mengapa larangan itu hingga kini tak berani dilanggar oleh warga pengempon. Memang tidak ada sumber yang bisa menjelaskan tentang hal ini.Semuanya memang misteri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar