Rabu, 30 November 2011

Rata-rata Pria Indonesia Ganti Pasangan Seks Lima Kali

November 30, 2011
Sexual Wellbeing Global Survey yang diadakan Durex mengungkapkan fakta bahwa rata-rata pria di Indonesia berganti pasangan seks sebanyak lima kali, sedangkan wanita hanya dua kali.
Survei itu juga menyebutkan, sebanyak 13 persen pria Indonesia tidak setia terhadap pasangannya. Angka ini lebih tinggi dari jumlah pria tidak setia di Amerika Serikat (10 persen) dan Inggris (8 persen).

Selain itu, penelitian ini juga menyebutkan bahwa 1 dari 5 orang Indonesia yang sedang menjalin hubungan mengaku tidak mengetahui apakah pasangan mereka pernah menderita infeksi menular seksual (IMS). Fakta-fakta ini yang menyebabkan risiko penularan penyakit menjadi semakin tinggi.

"Kebanyakan pasangan merasa tabu untuk menanyakan kepada pasanganya, apakah si pasangan punya penyakit menular. Terutama untuk pasangan yang akan menikah, menanyakan penyakit menular dianggap tidak sopan," ujar konsultan masalah seksual, dr Boyke Dian Nugraha SpOG, dalam jumpa pers di kawasan Senayan, Jakarta, Rabu (30/11/2011).

Dengan tingginya angka ketidaksetiaan dan ketidakjujuran pasangan seksual akan penyakit yang diderita, penularan pun tidak terhindarkan. Boyke tak heran jika Indonesia memiliki tingkat penyebaran HIV/AIDS tercepat di Asia tenggara. Selain itu, Boyke juga mengaku tidak heran jika ada data dari BKKBN yang menyebutkan bahwa angka aborsi di Indonesia mencapai 2,3 juta kasus per tahun.

Ditambah lagi, survei ini juga mengungkapkan bahwa 7 dari 10 orang tidak menggunakan pelindung saat pertama kali melakukan hubungan seksual.
Sexual Wellbeing Global Survey adalah survei yang dilakukan Durex di 39 negara selama 15 tahun terakhir. Indonesia baru tahun ini dikutsertakan dalam survei karena mempertimbangkan jumlah pengguna Durex yang cukup besar di Indonesia.
Durex menyurvei sebanyak 29.003 pria dan wanita berusia 18 tahun, baik yang sudah menikah ataupun belum. Di Indonesia, jumlah responden yang dilibatkan mencapai 1.015 orang.

"Melihat tingginya tingkat penyebaran HIV/AIDS di Indonesia, Durex berkomitmen untuk membangun kesadaran masyarakat Indonesia yang lebih baik melalui sexual wellbeing. Komitmen ini kami wujudkan dengan memasukkan Indonesia dalam Sexual Wellbeing Global Survey tahun ini," ujar General Manager Reckitt Benckiser Indonesia Ratanjit Das.

Selain melakukan survei, Durex bekerja sama dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) juga mendukung pemerintah dalam peringatan Hari AIDS Sedunia yang diselenggarakan di Jakarta, Minggu (27/11/2011).

Robot ini bisa menyelinap di celah sempit

November 30, 2011
Ilmuwan dari Universitas Harvard menciptakan robot lunak yang bisa menyelinap di celah sempit. Hasil pengembangan ini dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.

George M Whitesides adalah seorang pakar kimia yang memimpin proyek ini. Ia mengatakan bahwa pembuatan robot ini diinspirasi oleh alam, terutama oleh cumi-cumi, bintang laut, dan hewan lunak lain.

"Kemampuan robot lunak ini untuk mendeformasi diri dan memungkinkannya bergerak di tempat di mana robot tradisional tidak bisa," kata Matthew Walter, pakar robot Massachusets Institute of Technology, Amerika Serikat.

Robot yang dikembangkan itu memiliki panjang 12,7 sentimeter dan empat kaki yang bisa dikontrol dengan memompa udara ke alat geraknya secara manual ataupun melalui komputer. Robot ini bisa bergerak dengan merangkak ataupun merayap.
Dalam uji coba, robot berhasil menyelinap di panel kaca yang ukuran celahnya tak sampai 2 cm. Robot juga telah 15 kali diuji untuk menyelinap di celah sempit dan hanya butuh kurang dari semenit untuk melakukannya.
Aplikasi robot lunak di dunia nyata masih menghadapi tantangan. Robot harus terhubung oleh sumber daya dan ilmuwan harus mencari cara untuk mengintegrasikannya.
Selain itu, ilmuwan masih harus berusaha meningkatkan kecepatan gerak robot. Robot ini diharapkan juga bisa beroperasi di daerah lumpur, kerikil, hingga di atas pakaian.

"Ada banyak tantangan untuk mengaktifkan robot lunak dan tak ada solusi yang mudah," kata Barry Trimmer, pakar neurobiologi dari Universitas Tufts, seperti dikutip Associated Press, Selasa (29/11/2011).

Carmel Majidi, peneliti robot dari Laboratorium Mesin Lunak di Universitas Carnegie Mellon, mengatakan, penelitian ini sangat inovatif. "Ini konsep yang sederhana, tetapi akan memiliki gerakan yang hampir serupa dengan makhluk hidup," ujarnya.

Oral Seks Beresiko Tularkan HIV/AIDS

November 30, 2011
Meski Human imunodeficiency virus (HIV) juga ditemukan dalam air ludah, tetapi jumlahnya sangat sedikit untuk bisa menyebabkan infeksi. Sampai saat ini belum ditemukan kasus penularan melalui air ludah. Akan tetapi seks oral yang dilakukan dalam kondisi lesi (luka) di mulut mesti diwaspadai.
"Jika mulut sariawan atau sedang mengalami jenis luka lainnya lalu terjadi seks oral maka penyebaran virus mungkin terjadi, termasuk penularan HIV/AIDS, meski risikonya hanya 5 persen," kata dr.Boyke Dian Nugraha, Sp.OG dalam acara pengumuman hasil survei global mengenai perilaku seksual yang diadakan Durex di Jakarta (30/11).
Ia menjelaskan, selain kontak mulut dengan alat kelamin, ciuman mulut pun beresiko menularkan penyakit jika ada lesi di sekitar mulut sampai kerongkongan. "Apalagi kalau jenis ciumannya dalam seperti french kiss," imbuhnya.
Apabila mulut yang berada dalam kondisi bersih dan sehat, maka cairan sperma atau ludah yang tertelan tidak bisa menularkan HIV/AIDS. "Virusnya akan mati oleh asam lambung," paparnya.
Hubungan seksual, baik melalui anal, oral, atau genital, yang dilakukan tanpa menggunakan kondom dengan orang yang kemungkinan terinfeksi HIV berpotensi tinggi menularkan HIV/AIDS.. Dalam hal ini, menurut Boyke resiko penularannya sekitar 70 hingga 80 persen.
Sedangkan jarum suntik memiliki resiko penularan sebesar 10 hingga 20 persen, dan sisanya adalah penularan dari ibu kepada janinnya. "Karena resikonya paling kecil, ibu yang mengidap HIV/AIDS masih bisa minum obat atau diinseminasi sehingga anaknya tidak tertular

20 Persen Flora yang baru Terindentifikasi

November 30, 2011
Indonesia kaya akan keragaman flora. Namun, dari sekian banyak yang diketahui, saat ini baru ada 8.000 jenis yang sudah teridentifikasi. Jumlah tersebut diperkirakan baru 20 persen dari jumlah flora yang ada di Indonesia.
"Dari jumlah total yang dimiliki 4 kebun raya LIPI, yakni Bogor, Cibodas, Purwodadi, dan Bali, ada 4.000 sampai 6.000 yang belum teridentifikasi. Itu adalah nomor koleksi, bukan jenis," kata Mustaid Siregar, Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan LIPI.
Dihubungi Rabu (30/11/2011), Mustaid mengatakan bahwa dari sejumlah nomor koleksi, ada beberapa jenis yang kemungkinan merupakan spesies yang sama. Analisis morfologis dan mungkin molekuler dibutuhkan untuk identifikasi koleksi itu.
Menurut Mustaid, saat ini diperlukan keberpihakan pemerintah pada riset eksploratif seperti taksonomi. Ia menilai, keberpihakan pemerintah saat ini sangat minim sebab kegiatan riset dipusatkan pada bidang-bidang yang aplikatif.
"Pemerintah untuk bidang riset prioritasnya adalah riset yang applied. Padahal, riset eksploratif seperti taksonomi ini sangat dibutuhkan. Kita perlu mendata kekayaan kita. Coba kalau kita mau bicara Protokol Kyoto dan benefit sharing, inventarisasi itu penting," kata Mustaid.
Salah satu yang diperlukan saat ini adalah ahli taksonomi. Jumlah taksonom masih sangat minim sehingga kesulitan melakukan penelitian. Diperlukan pula pengembangan koleksi flora sebab banyak koleksi yang bermanfaat untuk identifikasi berada di luar negeri.

cacing Caenorhabditis Tumbuh Normal di Luar Angkasa

November 30, 2011
 

Jenis cacing Caenorhabditis elegans beberapa saat lalu dikirim ke luar angkasa sebagai bagian proyek mempelajari efek gravitasi nol pada manusia. Cacing itu dipilih karena memiliki 20.000 gen yang sama serta otot dan sistem saraf yang hampir serupa dengan manusia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa caing tersebut berhasil survive di luar angkasa, di International Space Station. Tak hanya itu, cacing yang pendek itu juga berhasil memproduksi 24 generasi selama berada di luar angkasa.
Setelah dibekukan dan kembali dibawa ke Bumi untuk diteliti, cacing juga menunjukkan perkembangan normal. Tim Universitas Nottingham, Inggris, yang melakukan penelitian itu juga mengatakan bahwa cacing punya pola makan dan reproduksi normal.
Hasil penelitian ini bisa memberi pencerahan pada ilmuwan tentang efek gravitasi nol pada manusia. Selama ini, kondisi gravitasi nol diduga menyebabkan gangguan pada otot akibat pengurangan level protein myosin yang menguatkannya.
Bagi Dr Nathaniel Szewczyk, pimpinan studi ini, hasil penelitian juga punya nilai lebih. Jika manusia berpikir tentang menghuni Mars, maka manusia bisa mulai menggunakan cacing ini sebagai kelinci percobaan untuk meneliti efek ketika makhluk hidup Bumi hidup di Mars.
"Sementara ini terdengar seperti fiksi ilmiah, beberapa ilmuwan yakin bahwa kita nanti bisa menghuni planet lain, dan kita perlu melakukannya jika manusia ingin mencegah kepunahan," jelas Szewczyk seperti dikutip Daily Mail, Rabu (30/11/2011).
"Karena tingginya biaya misi manusia dan tingginya tingkat kegagalan ketika menjalani misi ke Mars, kami mengusulkan cacing ini sebagai model tes yang murah untuk penelitian dampak biologis perjalanan jauh luar angkasa," imbuh Szewczyk.
Szewczyk memulai eksperimen pada cacing itu pada tahun 2009. Saat itu, ia mengirimkan cacing ke luar angkasa dan membiarkannya hidup selama 4 hari. Setelahnya, cacing dibekukan untuk dipelajari ketika dikembalikan ke Bumi.