Senin, 16 September 2019

Sejarah Tampak Siring Pura Tirta Empul

September 16, 2019
Nama Tampak Siring berasal dari kata Tampak yang berarti telapak dan Siring berarti miring. Usana Bali salah satu lontar yang menceritakan tentang sejarah Tampak Siring Bali. Telapak yang ada dalam nama tempat wisata ini, diceritakan sebagai telapak dari raja yang bernama Mayadenawa.
Mayadenawa diceritakan seorang raja sakti, tapi memiliki sifat jahat dan beraggapan dirinya adalah seorang dewa. Karena bersifat jahat, maka Dewa Indra mengirim pasukan beliau, untuk menghancurkan Mayadenawa. Mayadenawa kalah perang melawan Dewa Indra dan Mayadenawa lari kehutan. Untuk menghilangkan jejak, Mayadenawa berjalan dengan memiringkan kakinya ke tengah hutan.
Walaupun Mayadenawa berusaha menghilangkan jejak, tapi usahanya melarikan diri gagal. Sebelum berhasil ditangkap oleh pasukan dewa Indra, Mayadenawa menciptakan mata air beracun. Dengan mata air beracun, Mayadenawa berhasil membunuh sebagian dari pasukan dewa Indra, yang mengejar Mayadenawa.
Untuk mengatasi mata air beracun dari Mayadenawa, Dewa Indra menciptakan mata air penawar racun. Mata air ini yang bernama Tirta Empul (air suci), oleh karena itu Pura yang memiliki mata air ini disebut dengan nama pura Tirta Empul. Hutan yang digunakan untuk Mayadenawa melarikan diri, dengan posisi kakinya dimiringkan inilah yang sekarang menjadi kawasan wisata Tampak Siring.

Istana Presiden Indonesia – Tempat Wisata Di Bali

Selain pura, di tempat wisata ini terdapat istana kepresidenan yang didirikan oleh presiden pertama Indonesia, IR Soekarno sebagai tempat peristirahatan beliau saat berkunjung ke Bali. Istana Tampak Siring di bangun dari tahun 1957 – 1960.
Pembangunan istana kepresidenan Tampaksiring dilakukan secara perlahan-lahan dan mengalami tahapan. Artiktek yang mendesain istana kepresidenan adalah RM Soedarsono. Bangunan awal yang di bangun pada tahun 1957 adalah wisma Merdeka dan wisma Yudistira.

Sumber

Sejarah Candi Tebing Gunung Kawi

September 16, 2019
Di sisi utara Gianyar, terdapat sebuah situs arkeologi yang menakjubkan. Di antara areal persawahan bertingkat dengan sistem irigasi tradisional subak, terdapat 10 candi yang dipahat pada dinding tebing batu pasir.
Situs bersejarah bernama Candi Tebing Gunung Kawi ini termasuk dalam wilayah Banjar Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar.
Candi Tebing Gunung Kawi diperkirakan telah dibangun sejak pertengahan abad ke-11 Masehi, pada masa dinasti Udayana (Warmadewa). Pembangunan candi ini diperkirakan dimulai pada masa pemerintahan Raja Sri Haji Paduka Dharmawangsa Marakata Pangkaja Stanattunggadewa (944-948 Saka/1025-1049 M) dan berakhir pada pemerintahan Raja Anak Wungsu (971-999 Saka/1049-1080 M).
Dalam Prasasti Tengkulak yang berangka tahun 945 Saka (1023 Masehi), terdapat keterangan di tepi Sungai Pakerisan terdapat sebuah kompleks pertapaan (kantyangan) bernama Amarawati. Para arkeolog berpendapat, Amarawati mengacu pada kawasan tempat Candi Tebing Gunung Kawi ini berada.
Secara tata letak, kesepuluh candi tersebar di tiga titik. Lima di antaranya berada di sisi timur Sungai Tukad Pakerisan, sementara sisanya tersebar di dua titik di sisi barat sungai. Lima candi yang berada di sisi timur sungai dianggap sebagai bagian utama dari kompleks Candi Tebing Gunung Kawi.
Di sebelah utara dari sisi barat Sungai Tukad Pakerisan, terdapat empat candi yang berderetan dari utara hingga ke selatan dan menghadap ke arah sungai. Sedangkan, satu candi lainnya berada di sisi selatan, kurang lebih berjarak 200 meter dari keempat candi tadi.
Menurut sejarah, Raja Udayana dan permaisuri Gunapriya Dharmapatni memiliki tiga anak, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Sang sulung, Airlangga, kemudian diangkat menjadi Raja Kediri menggantikan kakeknya, Mpu Sendok.
Saat Udayana wafat, tahta diserahkan kepada Marakata – yang kemudian diteruskan kepada Anak Wungsu. Kompleks Candi Tebing Gunung Kawi awalnya dibangun oleh Raja Marakata sebagai tempat pemujaan bagi arwah sang ayah, Raja Udayana.
Di antara kesepuluh candi di kawasan ini, diperkirakan bangunan pertama yang dibangun adalah candi yang posisinya paling utara dari rangkaian lima candi di timur sungai. Hal ini didasari atas tulisan “Haji Lumah Ing Jalu” beraksara kadiri kwadrat pada bagian atas gerbang candi.
Tulisan ini bermakna 'sang raja dimakamkan di jalu (Sungai Tukad Pakerisan)' yang mengindikasikan candi inilah yang dibangun sebagai tempat pemujaan arwah Raja Udayana. Keempat candi lainnya di rangkaian ini diduga kuat dibangun untuk permaisuri dan anak-anak Raja Udayana.
Sementara, empat candi yang berada di sisi barat, menurut arkeolog Dr. R. Goris, kemungkinan merupakan kuil (padharman) yang didedikasikan bagi keempat selir dari Raja Udayana. Sedangkan, satu candi lainnya yang posisinya lebih ke selatan diduga dibangun untuk salah seorang pejabat tinggi kerajaan setingkat perdana menteri atau penasihat raja.
Dari beberapa referensi sejarah pada zaman tersebut, keberadaan candi ini dapat dikaitkan dengan sosok Empu Kuturan. Empu Kuturan adalah utusan Raja Airlangga untuk adiknya, Raja Anak Wungsu. Di kemudian hari, Empu Kuturan diangkat menjadi penasihat utama raja dan memiliki peran penting dalam perkembangan Kerajaan Bedahulu.
Keseluruhan kompleks candi ini difungsikan sebagai pura, sarana peribadatan keluarga kerajaan oleh Raja Anak Wungsu. Yang menarik, di sekitar candi Hindu ini terdapat sejumlah ceruk yang diidentifikasi oleh para arkeolog sebagai tempat meditasi umat Buddha/vihara.
Ceruk-ceruk ini dipahat pada dinding tebing, sama seperti candi-candi Hindu di sekitarnya. Keberadaan kompleks candi Hindu yang berdampingan dengan pertapaan Buddha ini menunjukkan Kerajaan Bedahulu ketika itu telah menerapkan toleransi dan harmoni dalam kehidupan beragama.

Sumber

Sejarah Pura Lempuyang Luhur

September 16, 2019
Sejarah Pura Lempuyang Luhur 

Ada beberapa versi yang menyebutkan tentang keberadaan dan sejarah Pura Lempuyang Luhur, nama Lempuyang berasal dari kata “lampu” yang artinya sinar dan “hyang” berarti sebutan untuk Tuhan, sehingga berarti sinar suci tuhan yang terang benderang, seperti juga letaknya pada sisi Timur pulau Bali yang mana awal dari matahari terbit yang memberikan penerang bagi kehidupan di bumi, sesuai dengan Pura Sad Kahyangan di Bali, posisi sebelah Timur adalah Dewa Iswara dengan senjata Bajra, simbol warna putih dalam bentuk sinar untuk memberikan penerangan.

Asal-usul nama Lempuyang ada yang menyebutkan kalau lempuyang adalah jenis tanaman yang digunakan untuk bahan atau bumbu memasak, hal tersebut terkait juga dengan nama-nama banjar (dusun) yang ada di sekitar Pura Luhur Lempuyang menggunakan nama jenis tanaman tersebut seperti Bajar Gamongan dan Bangle. Ada yang menyebut juga sejarah nama Lempuyang berasal dari kata “empu” atau memomong yang diartikan menjaga, dan itu berkaitan dengan sumber yang menyebutkan bahwa Hyang Pasupati mengutus ketiga putra beliau untuk menjaga Bali Dwipa dari segala guncangan dan bencana alam, sehingga pulau Bali tersebut bisa stabil.

Sejarah tentang keberadaan Pura Lempuyang Luhur ini, seperti dikutip dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul, yang disebutkan; bahwa Sang Hyang Parameswara atau Sang Hyang Pasupati membawa potongan Gunung Mahameru dari Jambhu Dwipa (India), kemudian potongan puncak Gunung Mahameru dibagi menjadi 3 buah bagian besar dan juga bagian-bagian kecil lainnya, tiga bagian besar tersebut puncaknya menjadi Gunung Agung, bagian tengahnya menjadi Gunung Batur dan Gunung Rinjani di Lombok. kemudian bagian-bagian kecil dari Gunung Mahameru tersebut menjadi gunung Lempuyang, Gunung Tapsahi, Siladnyana, Pengelengan, Beratan, Nagaloka, Batukaru, Pulaki, Bukit Rangda, Puncak Sangkur, Teratai Bang, Andhakasa, Padang Dawa, Seraya dan Uluwatu.

Dalam lontar tersebut juga dinyatakan bahwa Sang Hyang Parameswara menugaskan putra beliau yaitu Sang Hyang Agni Jaya Sakti turun ke Bali dengan tujuan untuk menjaga kesejahteraan Bali, kemudian Sang Hyang Agni Jaya Sakti berstana di Pura Luhur Lempuyang, berikut juga dengan dewa-dewa yang lain. Pura Lempuyang luhur memang memiliki status penting akan keberadaan pura di Bali sama seperti keberadaan pura Besakih. Lontar Bali kuno juga menyatakan tiga buah pura besar di Bali tersebut adalah pura Besakih, Ulun Danu Batur dan pura Lempuyang.

Jadi Pura Luhur Lempuyang adalah tempat persembahyangan seluruh umat Hindu di Bali apapun kasta, warna atupun keturunan orang tersebut, sepanjang mereka adalah umat Hindu. Karena itu orang Hindu Bali tidak boleh lupa akan keberadaan Pura Lempuyang Luhur, sesuai dengan bhisama Sang Hyang Agni Jaya yang tertulis dalam lontar Brahmanda Purana, wajib minimal dalam sekali seumur hidup untuk bisa sembahyang di Pura Lempuyang Luhur ini. Jro mangku pengempon Pura Lempuyang Luhur juga mengatakan bagi mereka yang ingin mulai belajar ilmu pengetahuan, apalagi tentang kerohaniawan agama Hindu akan baik sekali untuk sembahyang dan mohon restu di Pura Lempuyang Luhur.

Pengemong dari Pura Lempuyang Luhur adalah krama Pemaksan desa Purayu dan Jumenang. Di pura ini ada tirtha Pingit yang berasal dari air suci dari dalam batang pohon bambu. Untuk mereka yang melakukan upacara-upacara besar, mereka nunas (memohon) tirta Pingit tersebut di Pura Lempuyang Luhur.

Akses atau jalur menuju Pura Lempuyang Luhur

Pura Lempuyang Luhur, berada di puncak gunung Lempuyang terdapat banyak pura di kawasan Gunung Lempuyang tersebut. Pada saat anda menuju atau menapaki jalan menuju puncak, maka anda akan bertemu sejumlah pura, sesuai jalur atau rute searah yang anda lalui. Ada 4 jalur atau rute menuju Pura Lempuyang Luhur. Rute yang populer adalah dari desa Purwayu yang mana pada jalur ini ada juga pura Penataran Agung Lempuyang yang menjadi salah satu objek wisata populer di wilayah Karangasem yang juga dikenal sebagai “the Gate of Heaven” karena keindahan pemandangan alam dari pura tersebut.

Setelah pura Penataran Agung Lempuyang, pura Telaga Mas, dan dari pura Telaga Mas ini anda akan menapaki sekitar 1.750 anak tangga, ketemu dengan Pura Pasar Agung Lempuyang baru terakhir Pura Lempuyang Luhur. Akses jalan lainnya bisa juga dari Br. Batu Gunung, Desa Bukit melewati Pura Angrekasari, melewati lokasi Tirta Suniamerta, kemudian Tirta Jagasatru, Tirta Manik Ambengan, ketemu Pura Penataran Silawana Hyangsari, Tirta Sudamala, Tirta Empul, Pura Windusari, Pura Pasar Agung dan terakhir Pura Lempuyang Luhur.

Akses atau jalur yang ketiga jalur melalui Banjar Gamongan, melewati Pura Lempuyang Madya, terus naik ke Pura Telaga Sawang, Pura Pasar Agung baru kemudian Pura Lempuyang Luhur. Akses jalan ke-4 bisa melalui Banjar Jumenang, desa Bukit, Karangasem melewati Pura Penataran Kenusut, Pura Pasar Agung (penyawangan) dan naik ke Lempuyang Luhur. Anda bisa memilih rute-rute yang diinginkan sesuai keperluan persembahyangan anda di sejumlah pura yang akas dilewati. Dan juga bisa mempertimbangkan dan membandingkan akses ke puncak dengan jarak yang lebih dekat.

Sejumlah pantangan atau Larangan di Pura Lempuyang Luhur

Sesuai dengan keyakinan umat dan juga arahan dari Jro Mangku, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan yang merupakan pantangan ataupun larangan bagi mereka yang ingin bersembahyang ataupun hanya wisata ke Pura Lempuyang Luhur, berikut infonya;
  • Sarana persembahyangan tidak boleh menggunakan sarana pisang emas.
  • Tidak boleh mengajak anak yang sedang menyusui atau yang belum tanggal gigi.
  • Dilarang memakai perhiasan dari emas.
  • Pantang berbicara kasar, tidak sopan dan bilang “lelah” atau “capek”.
  • Larangan bagi mereka yang sedang haid dan cuntaka (ada keluarga meninggal).
  • Pantangan membawa daging babi.
Demikian sejumlah pantangan dan larangan yang perlu diperhatikan, jika hendak tangkil (datang) sembahyang ke Pura Lempuyang Luhur, dan hendaknya sejak awal ada niat bersembahyang hati dan pikiran kemudian perkataan dan perbuatan harus disucikan, agar semua berjalan dengan baik dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Sumber

Sejarah Pura Segara Rupek

September 16, 2019
Pura Segara Rupek 
 
Menjaga Bali dari Segara Rupek
TAK banyak yang tahu, ujung terjauh Bali di bagian barat bukanlah di Gilimanuk, melainkan di Segara Rupek. Dalam peta Pulau Bali, lokasi Segara Rupek ini tepat berada di ujung hidung Pulau Bali. Ini termasuk wilayah Kabupaten Buleleng. Dari sinilah sesungguhnya jarak dekat antara Bali dengan Jawa dan di sinilah secara historis menurut sumber-sumber susastra-babad, kisah pemisahan Bali dengan Jawa dimulai, sehingga Bali menjadi satu pulau yang utuh dan unik.
Bisa dimengerti apabila tak banyak orang tahu betapa penting dan strategis keberadaan Segara Rupek bagi Bali. Untuk mencapai Segara Rupek relatif tidak mudah, bila hendak menempuh jalan darat satu-satunya jalan yang bisa ditempuh mesti melewati jalan menuju ke Pura Prapat Agung dan dari lokasi Pura Prapat Agung ini masih harus dilanjutkan lagi menempuh perjalanan darat sekitar 5 km menelusuri hutan lindung Taman Nasional Bali Barat (TNBB).
Kondisi sarana, prasarana dan infrastruktur yang belum memadai demikian kiranya turut pula mempengaruhi Segara Rupek tidak mendapat perhatian semestinya, baik dari kalangan tokoh masyarakat Bali, bahkan juga dari kalangan pemimpin di Bali. Di Segara Rupek hingga kini belum ada pelinggih sebagai tonggak atas suratan sejarah, padahal lokasi ini jelas-jelas menjadi babakan dan tonggak penting dalam sejarah Bali.
Berdasarkan sumber susastra maupun berdasarkan keyakinan spiritual, saya menemukan bahwa lokasi Segara Rupek sudah sepatutnya diperhatikan sekaligus di-upahayu. Yang ada sejauh ini masih kurang layak. Menurut lontar Babad Arya Bang Pinatih, Empu Sidi Mantra beryoga semadi memohon kerahayuan seisi jagat kehadapan Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Baruna Geni, Danghyang Sidimantra dititahkan untuk menggoreskan tongkat beliau tiga kali ke tanah, tepat di daerah ceking geting. Akibat goresan itu air laut pun terguncang, bergerak membelah bumi maka daratan Bali dan tanah Jawa yang semula satu itu pun terpisah oleh lautan, lautan itu dinamakan Selat Bali.
Guna lebih mempertebal rasa bakti sesuai dengan sumber susastra, dan ikut juga mayadnya ngastitiang kerahayuan jagat Bali, bahkan seluruh wilayah Indonesia maka: ngatahun awehana uti; nista, madya, utama ayu jawa pulina mwang banten bali pulina suci linggih dewa, paripurna nusantara. Artinya: setahun sekali dilakukan upacara pakelem, banten dirgayusa bumi, tawur gentuh pada hari Anggara Umanis, Wuku Uye.

Sumber : *I Nyoman Laba/Balipost

Jumat, 18 April 2014

Makna Hari Suci Siwaratri

April 18, 2014




Perayaan Hari Suci Siwaratri bagi umat Hindu merupakan kegiatan keagamaan rutin tahunan yang dirayakan setiap Purwaning Tilem sasih kepitu. Terakhir untuk tahun 2009 dirayakan tepat pada malam pergantian tahun ke tahun 2010. Siwaratri sendiri memiliki makna malam perenungan dosa.
Perayaan Siwaratri pada awalnya dikenal dari Kisah Seorang pemburu bernama Lubdaka. Suatu hari saat melakukan perburuan, ia sama sekali tidak mendapatkan buruan. Lubdaka tidak membawa makanan ataupun minuman. Oleh karena hari sudah menjelang malam maka ia memutuskan untuk memanjat sebuah pohon yang dikenal dengan pohon Billa di tepi telaga. Tujuannya adalah agar tidak dimakan oleh hewan buas.. Hari pun menjelang malam, Lubdaka tidak berani tidur karena takut terjatuh, maka ia terjaga semalaman sambil memetik satu persatu daun billa agar tidak mengantuk.
Malam itu ternyata bertepatan dengan purwaning tilem sasih kepitu. Saat itu adalah saat dimana Dewa Siwa melakukan Tapa Bratha. Saat memetik daun billa tersebut, daunnya berjatuhan dan mengenai lingga siwa. Maka saat itu Lubdaka secara tidak langsung melakukan pemujaan terhadap siwa.Sekian lama waktu berjalan, Lubdaka pun meninggal karena sakit. Saat dia meninggal, Atmanya (Rohnya) menuju sunia loka, bala tentara Sang Suratma (Malaikat yang bertugas menjaga kahyangan) telah datang menjemputnya. Mereka telah menyiapkan catatan hidup dari Lubdaka yang penuh dengan kegiatan Himsa Karma (memati-mati). Namun pada saat yang sama pengikut Siva pun datang menjemput Atma Lubdaka. Mereka menyiapkan kereta emas. Lubdaka menjadi rebutan dari kedua balatentara baik pengikut Sang Suratma maupun pengikut Siva. Ketegangan mulai muncul, semuanya memberikan argumennya masing-masing. Mereka patuh pada perintah atasannya untuk menjemput Atma Sang Lubdaka.
Saat ketegangan memuncak Datanglah Sang Suratma dan Siva. Keduanya kemudian bertatap muka dan berdiskusi. Sang Suratma menunjukkan catatan hidup dari Lubdaka, Lubdaka telah melakukan banyak sekali pembunuhan, sudah ratusan bahkan mungkin ribuan binatang yang telah dibunuhnya, sehingga sudah sepatutnya kalo dia harus dijebloskan ke negara loka.
Siva menjelaskan bahwa; Lubdaka memang betul selama hidupnya banyak melakukan kegiatan pembunuhan, tapi semua itu karena didasari oleh keinginan/niat untuk menghidupi keluarganya. Dan dia telah melakukan tapa brata (mona brata, jagra dan upavasa/puasa)  salam  Siva Ratri/Malam Siva, sehingga dia dibebaskan dari ikatan karma sebelumnya. Dan sejak malam itu Dia sang Lubdaka menempuh jalan hidup baru sebagai seorang petani. Oleh karena itu Sang Lubdaka sudah sepatutnya menuju Suarga Loka (Sorga). Akhirnya Sang Suratma melepaskan Atma Lubdaka dan menyerahkannya pada Siva. (Kisah ini adalah merupakan Karya Mpu Tanakung, yang sering digunakan sebagai dasar pelaksanaan Malam Siva Ratri). Untuk cerita lengkapnya bisa baca disini.
Begitulah kisah sang Lubdaka yang menjadi dasar pelaksanaan perayaan Siwaratri. Kalau melihat kisah tersebut, kebanyakan masyarakan melakukan penafsiran yang salah tentang malam Siwaratri. Malam siwaratri di anggap sebagai malam penghapusan dosa. Dalam Agama Hindu Dosa kita tidak akan bisa dihapuskan karena kita mengenal akan adanya hukum Karmaphala. Ingatkah kalian bahwa sang Pandawa pun tak luput dari dosa, mereka sempat di jebloskan di neraka.
Malam Siwaratri sebenarnya merupakan suatu malam perenungan atas perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan selama ini agar kita bisa intropeksi diri. Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan laku brata :
Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang bertandang kerumah dan menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut, menyebabkan orang menjadi tersinggung. Maunya melakukan tapa mona brata, justru malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel dan sakti hati. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke hutan atau ketempat yang sunyi, jauh darikeramaian.
Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Jadi disini ditekankan tidak diharuskan untuk berpuasa/tidak makan dan minum semalam suntuk. Melainkan pengendalian dalam hal makan dan minum. Umat dibebaskan untuk melaksanakan bratanya, mau puasa ya silahkan, tidakpun tidak apa-apa. Hanya saja brata itu berlaku untuk seterusnya.
Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting adalah begadang demi dia (Siwa). Bukan begadang main gaple atau nonton TV. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma Santhi, pergi saling menungjungi kerumah sahabat, handai toland sambil bermaaf-maafan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Malam Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan peleburan kepapaan dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia memiliki kepapaan, karena dibelengu oleh nafsu-nafsu indrianya/raganya.
Jadi sangat dianjurkan bagi Umat Hindu untuk melakukan Bratha Siwaratri sehari sebelum Purnamaning sasih Kepitu. Yang tujuannya mengurangi kepapaan dan nafsu-nafsu indria yang dimiliki oleh manusia. Dalam hubungannya dengan pengendalian nafsu indria, ada 7 kegelapan yang harus dikendalikan yang disebut Sapta Timira yang terdiri dari: Surupa (mabuk karena rupawan/rupa tampan atau cantik), Dhana (mabuk karena kekayaan), Guna (mabuk karena kepandaian), Kasuran (mabuk karena kemegahan), kulina (mabuk karena keturunan bangsawan), Yowana (mabuk karena keremajaan), Sura (mabuk karena minuman keras).
Makna Siwaratri adalah agar manusia menyadari bahwa kita dipengaruhi oleh 7 kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi secara jasmani dan rohani dengan meningkatkan pengetahuan dan pengamalan ajaran kerohanian.
Yang paling penting sekali adalah berkat dari Sang Hyang Siwa sendiri. Beliaulah yang akan menghapus kepapaan, ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri. Mungkin ribuan orang akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang mendapat hukuman. Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Sang Hyang Sada Siwa) menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak membenci malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti itu.
Itulah keutamaan beliau, tidak membenci siapapun, walaupun penjahat kelas kakap yang dibenci jutaan manusia. Beliau tetap berbelas kasih. Bersedia mengampuni, asal umat-Nya dengan tulus iklas berserah diri, pasrah total kehadapan-Nya.
Beliau sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-Nya. Maka sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri ini kepada siapa saja. Karena pintu tobat dan pengampunan pada hari itu terbuka lebar-lebar.
Ada lagi disebutkan keutamaan brata Siwaratri dalam lontar “Siwaratrikalpa” buah karya Mpu Tanakung, bahwa jika seseorang mampu melaksanakan laku ; upawasa, mona brata dan jagra pada hari itu, yang tujuannya memuja Sang Hyang Sada Siwa, serta memohon pengampunan-Nya maka dosanya akan terhapus. Dan beliau (Mpu Tanakung) juga mengisyaratkan bahwa brata Siwaratri melebihi semua jenis yajna. Untuk itulah, seseorang jangan berputus asa jika sudah terlanjur melakukan kesalahan. Karena Siwaratri bisa dilaksanakan dimana saja (di rumah, di Pura, di tempat sunyi, bahkan di Lembaga Pemasyarakatan / Penjara). Justru disinilah mungkin ( di Lemaga Pemasyarakatan) brata Siwaratri itu dilaksanakan lebih khusuk.
Yang mungkin menjadi pertanyaan kita selama ini adalah apa sebenarnya tujuan pelaksanaan Mono bratha, Upasawa, dan Jagra. Secara singkat tujuan dari ketiga bratha Siwaratri itu adalah sebagai berikut:
1) Monobrata pada hari suci Siwaratri diarahkan untuk mengucapkan nama Tuhan didalam lubuk hati secara terus menerus, misalnya ; “Om Namah Siwa Ya, Om Namah Siwa Ya,…. Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya. . .dan seterusnya.
Ada kebiasaan umat yang membawa tasbih atau genitri. Ada juga yang tidak membawa apa-apa. Yang penting adalah nilai kekhusukannya.Tapa monbrata tujuannya adalah sangat luhur dan mulia, terutama sekali untuk mengekang nafsu marah dan angkara murka. Sebab kata-kata yang kasar bisa melukai perasaan orang lain sampai bertahun-tahun.Maka orang yang dikuasai oleh nafsu murkanya, tak dapat tidak niscaya ia melakukan perbuatan jahat, sampai akhirnya dapat membunuh guru, dan sanggup ia membakar hati seorang saleh, yaitu menyerang dia dengan kata-kata yang kasarTambahan pula orang yang dikuasai oleh nafsu murka, sekali-kali tidak tahu akan perkataan yang keliru dan yang benar, sekali-kali mereka tidak mengenal perbuatan yang terlarang dan yang menyalahi dharma serta sanggup mereka mengatakan sesuatu yang tidak layak untuk dikatakan.
Maka monobrata diusahakan sekali untuk dilaksanakan meski tidak hanya pada hari Suci Siwaratri saja. Karena begitu besar manfaatnya, bagi pembentukan sifat dan karakter seseorang. Hakekatnya yang disebut nafsu murka, adalah musuh didalam diri kita ; jika ada orang yang dapat menghilangkan nafsu murka itu, maka ia pun akan disegani, dipuji dan dihormati selama ia ada di dunia.
2) Kemudian laku upawasa yaitu berpuasa tidak makan dan minum adalah untuk menunjang jalannya brata monobrata. Supaya konsentrasi seseorang yang menjalankan laku ini tidak pecah. Mengistirahatkan kerja usus, lambung dan kerongkongan serta mulut pada hari suci itu, untuk tujuan pemujaan. Berpuasa secara fisik dan mental menjadikan tujuan itu terpusat kesatu arah. Apalagi disertai dengan japam (pengulangan mantra), sehingga meditasi itu menjadi khusuk.
3) Mejagra yaitu begadang semalam suntuk, dalam tradisi India ada diistilahkan dengan “Akanda Bhajan”. Yaitu mengidungkan nama-nama suci Tuhan selama 24 jam secara terus menerus, sambung menyambung.
Begitupun halnya dengan mejagra, begadang semalam suntuk sambil mengidungkan nama-Nya di dalam hati secara terus menerus. Makna dari mejagra ini adalah, agar seseorang senantiasa terjaga selama hidupnya, dengan kata lain tidak lupa diri (mabuk) tidak dikuasai oleh 7 (tujuh) nafsu kemabukan itu.