Senin, 16 September 2019
Sejarah Tampak Siring Pura Tirta Empul
September 16, 2019
Nama Tampak Siring berasal dari kata Tampak yang berarti telapak dan
Siring berarti miring. Usana Bali salah satu lontar yang menceritakan
tentang sejarah Tampak Siring Bali. Telapak yang ada dalam nama tempat
wisata ini, diceritakan sebagai telapak dari raja yang bernama
Mayadenawa.
Walaupun Mayadenawa berusaha menghilangkan jejak, tapi usahanya melarikan diri gagal. Sebelum berhasil ditangkap oleh pasukan dewa Indra, Mayadenawa menciptakan mata air beracun. Dengan mata air beracun, Mayadenawa berhasil membunuh sebagian dari pasukan dewa Indra, yang mengejar Mayadenawa.
Untuk mengatasi mata air beracun dari Mayadenawa, Dewa Indra menciptakan mata air penawar racun. Mata air ini yang bernama Tirta Empul (air suci), oleh karena itu Pura yang memiliki mata air ini disebut dengan nama pura Tirta Empul. Hutan yang digunakan untuk Mayadenawa melarikan diri, dengan posisi kakinya dimiringkan inilah yang sekarang menjadi kawasan wisata Tampak Siring.
Istana Presiden Indonesia – Tempat Wisata Di Bali
Selain pura, di tempat wisata ini terdapat istana kepresidenan yang didirikan oleh presiden pertama Indonesia, IR Soekarno sebagai tempat peristirahatan beliau saat berkunjung ke Bali. Istana Tampak Siring di bangun dari tahun 1957 – 1960.Pembangunan istana kepresidenan Tampaksiring dilakukan secara perlahan-lahan dan mengalami tahapan. Artiktek yang mendesain istana kepresidenan adalah RM Soedarsono. Bangunan awal yang di bangun pada tahun 1957 adalah wisma Merdeka dan wisma Yudistira.
Sumber
Sejarah Candi Tebing Gunung Kawi
September 16, 2019
Di sisi utara Gianyar, terdapat sebuah situs arkeologi yang
menakjubkan. Di antara areal persawahan bertingkat dengan sistem irigasi
tradisional subak, terdapat 10 candi yang dipahat pada dinding tebing
batu pasir.
Situs bersejarah bernama Candi Tebing Gunung Kawi ini termasuk dalam wilayah Banjar Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar.
Candi Tebing Gunung Kawi diperkirakan telah dibangun sejak pertengahan abad ke-11 Masehi, pada masa dinasti Udayana (Warmadewa). Pembangunan candi ini diperkirakan dimulai pada masa pemerintahan Raja Sri Haji Paduka Dharmawangsa Marakata Pangkaja Stanattunggadewa (944-948 Saka/1025-1049 M) dan berakhir pada pemerintahan Raja Anak Wungsu (971-999 Saka/1049-1080 M).
Dalam Prasasti Tengkulak yang berangka tahun 945 Saka (1023 Masehi), terdapat keterangan di tepi Sungai Pakerisan terdapat sebuah kompleks pertapaan (kantyangan) bernama Amarawati. Para arkeolog berpendapat, Amarawati mengacu pada kawasan tempat Candi Tebing Gunung Kawi ini berada.
Secara tata letak, kesepuluh candi tersebar di tiga titik. Lima di antaranya berada di sisi timur Sungai Tukad Pakerisan, sementara sisanya tersebar di dua titik di sisi barat sungai. Lima candi yang berada di sisi timur sungai dianggap sebagai bagian utama dari kompleks Candi Tebing Gunung Kawi.
Di sebelah utara dari sisi barat Sungai Tukad Pakerisan, terdapat empat candi yang berderetan dari utara hingga ke selatan dan menghadap ke arah sungai. Sedangkan, satu candi lainnya berada di sisi selatan, kurang lebih berjarak 200 meter dari keempat candi tadi.
Menurut sejarah, Raja Udayana dan permaisuri Gunapriya Dharmapatni memiliki tiga anak, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Sang sulung, Airlangga, kemudian diangkat menjadi Raja Kediri menggantikan kakeknya, Mpu Sendok.
Saat Udayana wafat, tahta diserahkan kepada Marakata – yang kemudian diteruskan kepada Anak Wungsu. Kompleks Candi Tebing Gunung Kawi awalnya dibangun oleh Raja Marakata sebagai tempat pemujaan bagi arwah sang ayah, Raja Udayana.
Di antara kesepuluh candi di kawasan ini, diperkirakan bangunan pertama yang dibangun adalah candi yang posisinya paling utara dari rangkaian lima candi di timur sungai. Hal ini didasari atas tulisan “Haji Lumah Ing Jalu” beraksara kadiri kwadrat pada bagian atas gerbang candi.
Tulisan ini bermakna 'sang raja dimakamkan di jalu (Sungai Tukad Pakerisan)' yang mengindikasikan candi inilah yang dibangun sebagai tempat pemujaan arwah Raja Udayana. Keempat candi lainnya di rangkaian ini diduga kuat dibangun untuk permaisuri dan anak-anak Raja Udayana.
Sementara, empat candi yang berada di sisi barat, menurut arkeolog Dr. R. Goris, kemungkinan merupakan kuil (padharman) yang didedikasikan bagi keempat selir dari Raja Udayana. Sedangkan, satu candi lainnya yang posisinya lebih ke selatan diduga dibangun untuk salah seorang pejabat tinggi kerajaan setingkat perdana menteri atau penasihat raja.
Dari beberapa referensi sejarah pada zaman tersebut, keberadaan candi ini dapat dikaitkan dengan sosok Empu Kuturan. Empu Kuturan adalah utusan Raja Airlangga untuk adiknya, Raja Anak Wungsu. Di kemudian hari, Empu Kuturan diangkat menjadi penasihat utama raja dan memiliki peran penting dalam perkembangan Kerajaan Bedahulu.
Keseluruhan kompleks candi ini difungsikan sebagai pura, sarana peribadatan keluarga kerajaan oleh Raja Anak Wungsu. Yang menarik, di sekitar candi Hindu ini terdapat sejumlah ceruk yang diidentifikasi oleh para arkeolog sebagai tempat meditasi umat Buddha/vihara.
Ceruk-ceruk ini dipahat pada dinding tebing, sama seperti candi-candi Hindu di sekitarnya. Keberadaan kompleks candi Hindu yang berdampingan dengan pertapaan Buddha ini menunjukkan Kerajaan Bedahulu ketika itu telah menerapkan toleransi dan harmoni dalam kehidupan beragama.
Sumber
Situs bersejarah bernama Candi Tebing Gunung Kawi ini termasuk dalam wilayah Banjar Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar.
Candi Tebing Gunung Kawi diperkirakan telah dibangun sejak pertengahan abad ke-11 Masehi, pada masa dinasti Udayana (Warmadewa). Pembangunan candi ini diperkirakan dimulai pada masa pemerintahan Raja Sri Haji Paduka Dharmawangsa Marakata Pangkaja Stanattunggadewa (944-948 Saka/1025-1049 M) dan berakhir pada pemerintahan Raja Anak Wungsu (971-999 Saka/1049-1080 M).
Dalam Prasasti Tengkulak yang berangka tahun 945 Saka (1023 Masehi), terdapat keterangan di tepi Sungai Pakerisan terdapat sebuah kompleks pertapaan (kantyangan) bernama Amarawati. Para arkeolog berpendapat, Amarawati mengacu pada kawasan tempat Candi Tebing Gunung Kawi ini berada.
Secara tata letak, kesepuluh candi tersebar di tiga titik. Lima di antaranya berada di sisi timur Sungai Tukad Pakerisan, sementara sisanya tersebar di dua titik di sisi barat sungai. Lima candi yang berada di sisi timur sungai dianggap sebagai bagian utama dari kompleks Candi Tebing Gunung Kawi.
Di sebelah utara dari sisi barat Sungai Tukad Pakerisan, terdapat empat candi yang berderetan dari utara hingga ke selatan dan menghadap ke arah sungai. Sedangkan, satu candi lainnya berada di sisi selatan, kurang lebih berjarak 200 meter dari keempat candi tadi.
Menurut sejarah, Raja Udayana dan permaisuri Gunapriya Dharmapatni memiliki tiga anak, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Sang sulung, Airlangga, kemudian diangkat menjadi Raja Kediri menggantikan kakeknya, Mpu Sendok.
Saat Udayana wafat, tahta diserahkan kepada Marakata – yang kemudian diteruskan kepada Anak Wungsu. Kompleks Candi Tebing Gunung Kawi awalnya dibangun oleh Raja Marakata sebagai tempat pemujaan bagi arwah sang ayah, Raja Udayana.
Di antara kesepuluh candi di kawasan ini, diperkirakan bangunan pertama yang dibangun adalah candi yang posisinya paling utara dari rangkaian lima candi di timur sungai. Hal ini didasari atas tulisan “Haji Lumah Ing Jalu” beraksara kadiri kwadrat pada bagian atas gerbang candi.
Tulisan ini bermakna 'sang raja dimakamkan di jalu (Sungai Tukad Pakerisan)' yang mengindikasikan candi inilah yang dibangun sebagai tempat pemujaan arwah Raja Udayana. Keempat candi lainnya di rangkaian ini diduga kuat dibangun untuk permaisuri dan anak-anak Raja Udayana.
Sementara, empat candi yang berada di sisi barat, menurut arkeolog Dr. R. Goris, kemungkinan merupakan kuil (padharman) yang didedikasikan bagi keempat selir dari Raja Udayana. Sedangkan, satu candi lainnya yang posisinya lebih ke selatan diduga dibangun untuk salah seorang pejabat tinggi kerajaan setingkat perdana menteri atau penasihat raja.
Dari beberapa referensi sejarah pada zaman tersebut, keberadaan candi ini dapat dikaitkan dengan sosok Empu Kuturan. Empu Kuturan adalah utusan Raja Airlangga untuk adiknya, Raja Anak Wungsu. Di kemudian hari, Empu Kuturan diangkat menjadi penasihat utama raja dan memiliki peran penting dalam perkembangan Kerajaan Bedahulu.
Keseluruhan kompleks candi ini difungsikan sebagai pura, sarana peribadatan keluarga kerajaan oleh Raja Anak Wungsu. Yang menarik, di sekitar candi Hindu ini terdapat sejumlah ceruk yang diidentifikasi oleh para arkeolog sebagai tempat meditasi umat Buddha/vihara.
Ceruk-ceruk ini dipahat pada dinding tebing, sama seperti candi-candi Hindu di sekitarnya. Keberadaan kompleks candi Hindu yang berdampingan dengan pertapaan Buddha ini menunjukkan Kerajaan Bedahulu ketika itu telah menerapkan toleransi dan harmoni dalam kehidupan beragama.
Sumber
Sejarah Pura Lempuyang Luhur
September 16, 2019
Sejarah Pura Lempuyang Luhur
Ada beberapa versi yang menyebutkan tentang keberadaan dan sejarah Pura Lempuyang Luhur, nama Lempuyang berasal dari kata “lampu” yang artinya sinar dan “hyang” berarti sebutan untuk Tuhan, sehingga berarti sinar suci tuhan yang terang benderang, seperti juga letaknya pada sisi Timur pulau Bali yang mana awal dari matahari terbit yang memberikan penerang bagi kehidupan di bumi, sesuai dengan Pura Sad Kahyangan di Bali, posisi sebelah Timur adalah Dewa Iswara dengan senjata Bajra, simbol warna putih dalam bentuk sinar untuk memberikan penerangan.
Asal-usul nama Lempuyang ada yang menyebutkan kalau lempuyang adalah jenis tanaman yang digunakan untuk bahan atau bumbu memasak, hal tersebut terkait juga dengan nama-nama banjar (dusun) yang ada di sekitar Pura Luhur Lempuyang menggunakan nama jenis tanaman tersebut seperti Bajar Gamongan dan Bangle. Ada yang menyebut juga sejarah nama Lempuyang berasal dari kata “empu” atau memomong yang diartikan menjaga, dan itu berkaitan dengan sumber yang menyebutkan bahwa Hyang Pasupati mengutus ketiga putra beliau untuk menjaga Bali Dwipa dari segala guncangan dan bencana alam, sehingga pulau Bali tersebut bisa stabil.
Sejarah tentang keberadaan Pura Lempuyang Luhur ini, seperti dikutip dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul, yang disebutkan; bahwa Sang Hyang Parameswara atau Sang Hyang Pasupati membawa potongan Gunung Mahameru dari Jambhu Dwipa (India), kemudian potongan puncak Gunung Mahameru dibagi menjadi 3 buah bagian besar dan juga bagian-bagian kecil lainnya, tiga bagian besar tersebut puncaknya menjadi Gunung Agung, bagian tengahnya menjadi Gunung Batur dan Gunung Rinjani di Lombok. kemudian bagian-bagian kecil dari Gunung Mahameru tersebut menjadi gunung Lempuyang, Gunung Tapsahi, Siladnyana, Pengelengan, Beratan, Nagaloka, Batukaru, Pulaki, Bukit Rangda, Puncak Sangkur, Teratai Bang, Andhakasa, Padang Dawa, Seraya dan Uluwatu.
Dalam lontar tersebut juga dinyatakan bahwa Sang Hyang Parameswara menugaskan putra beliau yaitu Sang Hyang Agni Jaya Sakti turun ke Bali dengan tujuan untuk menjaga kesejahteraan Bali, kemudian Sang Hyang Agni Jaya Sakti berstana di Pura Luhur Lempuyang, berikut juga dengan dewa-dewa yang lain. Pura Lempuyang luhur memang memiliki status penting akan keberadaan pura di Bali sama seperti keberadaan pura Besakih. Lontar Bali kuno juga menyatakan tiga buah pura besar di Bali tersebut adalah pura Besakih, Ulun Danu Batur dan pura Lempuyang.
Jadi Pura Luhur Lempuyang adalah tempat persembahyangan seluruh umat Hindu di Bali apapun kasta, warna atupun keturunan orang tersebut, sepanjang mereka adalah umat Hindu. Karena itu orang Hindu Bali tidak boleh lupa akan keberadaan Pura Lempuyang Luhur, sesuai dengan bhisama Sang Hyang Agni Jaya yang tertulis dalam lontar Brahmanda Purana, wajib minimal dalam sekali seumur hidup untuk bisa sembahyang di Pura Lempuyang Luhur ini. Jro mangku pengempon Pura Lempuyang Luhur juga mengatakan bagi mereka yang ingin mulai belajar ilmu pengetahuan, apalagi tentang kerohaniawan agama Hindu akan baik sekali untuk sembahyang dan mohon restu di Pura Lempuyang Luhur.
Pengemong dari Pura Lempuyang Luhur adalah krama Pemaksan desa Purayu dan Jumenang. Di pura ini ada tirtha Pingit yang berasal dari air suci dari dalam batang pohon bambu. Untuk mereka yang melakukan upacara-upacara besar, mereka nunas (memohon) tirta Pingit tersebut di Pura Lempuyang Luhur.
Setelah pura Penataran Agung Lempuyang, pura Telaga Mas, dan dari pura Telaga Mas ini anda akan menapaki sekitar 1.750 anak tangga, ketemu dengan Pura Pasar Agung Lempuyang baru terakhir Pura Lempuyang Luhur. Akses jalan lainnya bisa juga dari Br. Batu Gunung, Desa Bukit melewati Pura Angrekasari, melewati lokasi Tirta Suniamerta, kemudian Tirta Jagasatru, Tirta Manik Ambengan, ketemu Pura Penataran Silawana Hyangsari, Tirta Sudamala, Tirta Empul, Pura Windusari, Pura Pasar Agung dan terakhir Pura Lempuyang Luhur.
Akses atau jalur yang ketiga jalur melalui Banjar Gamongan, melewati Pura Lempuyang Madya, terus naik ke Pura Telaga Sawang, Pura Pasar Agung baru kemudian Pura Lempuyang Luhur. Akses jalan ke-4 bisa melalui Banjar Jumenang, desa Bukit, Karangasem melewati Pura Penataran Kenusut, Pura Pasar Agung (penyawangan) dan naik ke Lempuyang Luhur. Anda bisa memilih rute-rute yang diinginkan sesuai keperluan persembahyangan anda di sejumlah pura yang akas dilewati. Dan juga bisa mempertimbangkan dan membandingkan akses ke puncak dengan jarak yang lebih dekat.
Sumber
Ada beberapa versi yang menyebutkan tentang keberadaan dan sejarah Pura Lempuyang Luhur, nama Lempuyang berasal dari kata “lampu” yang artinya sinar dan “hyang” berarti sebutan untuk Tuhan, sehingga berarti sinar suci tuhan yang terang benderang, seperti juga letaknya pada sisi Timur pulau Bali yang mana awal dari matahari terbit yang memberikan penerang bagi kehidupan di bumi, sesuai dengan Pura Sad Kahyangan di Bali, posisi sebelah Timur adalah Dewa Iswara dengan senjata Bajra, simbol warna putih dalam bentuk sinar untuk memberikan penerangan.
Asal-usul nama Lempuyang ada yang menyebutkan kalau lempuyang adalah jenis tanaman yang digunakan untuk bahan atau bumbu memasak, hal tersebut terkait juga dengan nama-nama banjar (dusun) yang ada di sekitar Pura Luhur Lempuyang menggunakan nama jenis tanaman tersebut seperti Bajar Gamongan dan Bangle. Ada yang menyebut juga sejarah nama Lempuyang berasal dari kata “empu” atau memomong yang diartikan menjaga, dan itu berkaitan dengan sumber yang menyebutkan bahwa Hyang Pasupati mengutus ketiga putra beliau untuk menjaga Bali Dwipa dari segala guncangan dan bencana alam, sehingga pulau Bali tersebut bisa stabil.
Sejarah tentang keberadaan Pura Lempuyang Luhur ini, seperti dikutip dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul, yang disebutkan; bahwa Sang Hyang Parameswara atau Sang Hyang Pasupati membawa potongan Gunung Mahameru dari Jambhu Dwipa (India), kemudian potongan puncak Gunung Mahameru dibagi menjadi 3 buah bagian besar dan juga bagian-bagian kecil lainnya, tiga bagian besar tersebut puncaknya menjadi Gunung Agung, bagian tengahnya menjadi Gunung Batur dan Gunung Rinjani di Lombok. kemudian bagian-bagian kecil dari Gunung Mahameru tersebut menjadi gunung Lempuyang, Gunung Tapsahi, Siladnyana, Pengelengan, Beratan, Nagaloka, Batukaru, Pulaki, Bukit Rangda, Puncak Sangkur, Teratai Bang, Andhakasa, Padang Dawa, Seraya dan Uluwatu.
Dalam lontar tersebut juga dinyatakan bahwa Sang Hyang Parameswara menugaskan putra beliau yaitu Sang Hyang Agni Jaya Sakti turun ke Bali dengan tujuan untuk menjaga kesejahteraan Bali, kemudian Sang Hyang Agni Jaya Sakti berstana di Pura Luhur Lempuyang, berikut juga dengan dewa-dewa yang lain. Pura Lempuyang luhur memang memiliki status penting akan keberadaan pura di Bali sama seperti keberadaan pura Besakih. Lontar Bali kuno juga menyatakan tiga buah pura besar di Bali tersebut adalah pura Besakih, Ulun Danu Batur dan pura Lempuyang.
Jadi Pura Luhur Lempuyang adalah tempat persembahyangan seluruh umat Hindu di Bali apapun kasta, warna atupun keturunan orang tersebut, sepanjang mereka adalah umat Hindu. Karena itu orang Hindu Bali tidak boleh lupa akan keberadaan Pura Lempuyang Luhur, sesuai dengan bhisama Sang Hyang Agni Jaya yang tertulis dalam lontar Brahmanda Purana, wajib minimal dalam sekali seumur hidup untuk bisa sembahyang di Pura Lempuyang Luhur ini. Jro mangku pengempon Pura Lempuyang Luhur juga mengatakan bagi mereka yang ingin mulai belajar ilmu pengetahuan, apalagi tentang kerohaniawan agama Hindu akan baik sekali untuk sembahyang dan mohon restu di Pura Lempuyang Luhur.
Pengemong dari Pura Lempuyang Luhur adalah krama Pemaksan desa Purayu dan Jumenang. Di pura ini ada tirtha Pingit yang berasal dari air suci dari dalam batang pohon bambu. Untuk mereka yang melakukan upacara-upacara besar, mereka nunas (memohon) tirta Pingit tersebut di Pura Lempuyang Luhur.
Akses atau jalur menuju Pura Lempuyang Luhur
Pura Lempuyang Luhur, berada di puncak gunung Lempuyang terdapat banyak pura di kawasan Gunung Lempuyang tersebut. Pada saat anda menuju atau menapaki jalan menuju puncak, maka anda akan bertemu sejumlah pura, sesuai jalur atau rute searah yang anda lalui. Ada 4 jalur atau rute menuju Pura Lempuyang Luhur. Rute yang populer adalah dari desa Purwayu yang mana pada jalur ini ada juga pura Penataran Agung Lempuyang yang menjadi salah satu objek wisata populer di wilayah Karangasem yang juga dikenal sebagai “the Gate of Heaven” karena keindahan pemandangan alam dari pura tersebut.Setelah pura Penataran Agung Lempuyang, pura Telaga Mas, dan dari pura Telaga Mas ini anda akan menapaki sekitar 1.750 anak tangga, ketemu dengan Pura Pasar Agung Lempuyang baru terakhir Pura Lempuyang Luhur. Akses jalan lainnya bisa juga dari Br. Batu Gunung, Desa Bukit melewati Pura Angrekasari, melewati lokasi Tirta Suniamerta, kemudian Tirta Jagasatru, Tirta Manik Ambengan, ketemu Pura Penataran Silawana Hyangsari, Tirta Sudamala, Tirta Empul, Pura Windusari, Pura Pasar Agung dan terakhir Pura Lempuyang Luhur.
Akses atau jalur yang ketiga jalur melalui Banjar Gamongan, melewati Pura Lempuyang Madya, terus naik ke Pura Telaga Sawang, Pura Pasar Agung baru kemudian Pura Lempuyang Luhur. Akses jalan ke-4 bisa melalui Banjar Jumenang, desa Bukit, Karangasem melewati Pura Penataran Kenusut, Pura Pasar Agung (penyawangan) dan naik ke Lempuyang Luhur. Anda bisa memilih rute-rute yang diinginkan sesuai keperluan persembahyangan anda di sejumlah pura yang akas dilewati. Dan juga bisa mempertimbangkan dan membandingkan akses ke puncak dengan jarak yang lebih dekat.
Sejumlah pantangan atau Larangan di Pura Lempuyang Luhur
Sesuai dengan keyakinan umat dan juga arahan dari Jro Mangku, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan yang merupakan pantangan ataupun larangan bagi mereka yang ingin bersembahyang ataupun hanya wisata ke Pura Lempuyang Luhur, berikut infonya;- Sarana persembahyangan tidak boleh menggunakan sarana pisang emas.
- Tidak boleh mengajak anak yang sedang menyusui atau yang belum tanggal gigi.
- Dilarang memakai perhiasan dari emas.
- Pantang berbicara kasar, tidak sopan dan bilang “lelah” atau “capek”.
- Larangan bagi mereka yang sedang haid dan cuntaka (ada keluarga meninggal).
- Pantangan membawa daging babi.
Sumber
Sejarah Pura Segara Rupek
September 16, 2019
Menjaga Bali dari Segara Rupek
TAK banyak yang tahu, ujung terjauh Bali di bagian barat bukanlah di Gilimanuk, melainkan di Segara Rupek. Dalam peta Pulau Bali, lokasi Segara Rupek ini tepat berada di ujung hidung Pulau Bali. Ini termasuk wilayah Kabupaten Buleleng. Dari sinilah sesungguhnya jarak dekat antara Bali dengan Jawa dan di sinilah secara historis menurut sumber-sumber susastra-babad, kisah pemisahan Bali dengan Jawa dimulai, sehingga Bali menjadi satu pulau yang utuh dan unik.
Bisa dimengerti apabila tak banyak orang tahu betapa penting dan strategis keberadaan Segara Rupek bagi Bali. Untuk mencapai Segara Rupek relatif tidak mudah, bila hendak menempuh jalan darat satu-satunya jalan yang bisa ditempuh mesti melewati jalan menuju ke Pura Prapat Agung dan dari lokasi Pura Prapat Agung ini masih harus dilanjutkan lagi menempuh perjalanan darat sekitar 5 km menelusuri hutan lindung Taman Nasional Bali Barat (TNBB).
Kondisi sarana, prasarana dan infrastruktur yang belum memadai demikian kiranya turut pula mempengaruhi Segara Rupek tidak mendapat perhatian semestinya, baik dari kalangan tokoh masyarakat Bali, bahkan juga dari kalangan pemimpin di Bali. Di Segara Rupek hingga kini belum ada pelinggih sebagai tonggak atas suratan sejarah, padahal lokasi ini jelas-jelas menjadi babakan dan tonggak penting dalam sejarah Bali.
Berdasarkan sumber susastra maupun berdasarkan keyakinan spiritual, saya menemukan bahwa lokasi Segara Rupek sudah sepatutnya diperhatikan sekaligus di-upahayu. Yang ada sejauh ini masih kurang layak. Menurut lontar Babad Arya Bang Pinatih, Empu Sidi Mantra beryoga semadi memohon kerahayuan seisi jagat kehadapan Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Baruna Geni, Danghyang Sidimantra dititahkan untuk menggoreskan tongkat beliau tiga kali ke tanah, tepat di daerah ceking geting. Akibat goresan itu air laut pun terguncang, bergerak membelah bumi maka daratan Bali dan tanah Jawa yang semula satu itu pun terpisah oleh lautan, lautan itu dinamakan Selat Bali.
Guna lebih mempertebal rasa bakti sesuai dengan sumber susastra, dan ikut juga mayadnya ngastitiang kerahayuan jagat Bali, bahkan seluruh wilayah Indonesia maka: ngatahun awehana uti; nista, madya, utama ayu jawa pulina mwang banten bali pulina suci linggih dewa, paripurna nusantara. Artinya: setahun sekali dilakukan upacara pakelem, banten dirgayusa bumi, tawur gentuh pada hari Anggara Umanis, Wuku Uye.
Sumber : *I Nyoman Laba/Balipost
Jumat, 18 April 2014
Makna Hari Suci Siwaratri
April 18, 2014
Perayaan Hari Suci Siwaratri bagi umat Hindu merupakan kegiatan keagamaan rutin tahunan yang dirayakan setiap Purwaning Tilem sasih kepitu. Terakhir untuk tahun 2009 dirayakan tepat pada malam pergantian tahun ke tahun 2010. Siwaratri sendiri memiliki makna malam perenungan dosa.
Perayaan Siwaratri pada awalnya dikenal
dari Kisah Seorang pemburu bernama Lubdaka. Suatu hari saat melakukan
perburuan, ia sama sekali tidak mendapatkan buruan. Lubdaka tidak
membawa makanan ataupun minuman. Oleh karena hari sudah menjelang malam
maka ia memutuskan untuk memanjat sebuah pohon yang dikenal dengan pohon
Billa di tepi telaga. Tujuannya adalah agar tidak dimakan oleh hewan
buas.. Hari pun menjelang malam, Lubdaka tidak berani tidur karena takut
terjatuh, maka ia terjaga semalaman sambil memetik satu persatu daun
billa agar tidak mengantuk.
Malam itu ternyata bertepatan dengan
purwaning tilem sasih kepitu. Saat itu adalah saat dimana Dewa Siwa
melakukan Tapa Bratha. Saat memetik daun billa tersebut, daunnya
berjatuhan dan mengenai lingga siwa. Maka saat itu Lubdaka secara tidak
langsung melakukan pemujaan terhadap siwa.Sekian lama waktu berjalan,
Lubdaka pun meninggal karena sakit. Saat dia meninggal, Atmanya (Rohnya)
menuju sunia loka, bala tentara Sang Suratma (Malaikat yang bertugas
menjaga kahyangan) telah datang menjemputnya. Mereka telah menyiapkan
catatan hidup dari Lubdaka yang penuh dengan kegiatan Himsa Karma
(memati-mati). Namun pada saat yang sama pengikut Siva pun datang
menjemput Atma Lubdaka. Mereka menyiapkan kereta emas. Lubdaka menjadi
rebutan dari kedua balatentara baik pengikut Sang Suratma maupun
pengikut Siva. Ketegangan mulai muncul, semuanya memberikan argumennya
masing-masing. Mereka patuh pada perintah atasannya untuk menjemput Atma
Sang Lubdaka.
Saat ketegangan memuncak Datanglah Sang
Suratma dan Siva. Keduanya kemudian bertatap muka dan berdiskusi. Sang
Suratma menunjukkan catatan hidup dari Lubdaka, Lubdaka telah melakukan
banyak sekali pembunuhan, sudah ratusan bahkan mungkin ribuan binatang
yang telah dibunuhnya, sehingga sudah sepatutnya kalo dia harus
dijebloskan ke negara loka.
Siva menjelaskan bahwa; Lubdaka memang
betul selama hidupnya banyak melakukan kegiatan pembunuhan, tapi semua
itu karena didasari oleh keinginan/niat untuk menghidupi keluarganya.
Dan dia telah melakukan tapa brata (mona brata, jagra dan
upavasa/puasa) salam Siva Ratri/Malam Siva, sehingga dia dibebaskan
dari ikatan karma sebelumnya. Dan sejak malam itu Dia sang Lubdaka
menempuh jalan hidup baru sebagai seorang petani. Oleh karena itu Sang
Lubdaka sudah sepatutnya menuju Suarga Loka (Sorga). Akhirnya Sang
Suratma melepaskan Atma Lubdaka dan menyerahkannya pada Siva. (Kisah ini
adalah merupakan Karya Mpu Tanakung, yang sering digunakan sebagai dasar pelaksanaan Malam Siva Ratri). Untuk cerita lengkapnya bisa baca disini.
Begitulah kisah sang Lubdaka yang menjadi
dasar pelaksanaan perayaan Siwaratri. Kalau melihat kisah tersebut,
kebanyakan masyarakan melakukan penafsiran yang salah tentang malam
Siwaratri. Malam siwaratri di anggap sebagai malam penghapusan dosa.
Dalam Agama Hindu Dosa kita tidak akan bisa dihapuskan karena kita
mengenal akan adanya hukum Karmaphala. Ingatkah kalian bahwa sang
Pandawa pun tak luput dari dosa, mereka sempat di jebloskan di neraka.
Malam Siwaratri sebenarnya merupakan
suatu malam perenungan atas perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan
selama ini agar kita bisa intropeksi diri. Umumnya Siwaratri
dilaksanakan dengan laku brata :
Mona Brata (pengendalian dalam
kata-kata). Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan
kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan
kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang bertandang kerumah dan
menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut, menyebabkan
orang menjadi tersinggung. Maunya melakukan tapa mona brata, justru
malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel
dan sakti hati. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya
pergi ke hutan atau ketempat yang sunyi, jauh darikeramaian.
Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Jadi
disini ditekankan tidak diharuskan untuk berpuasa/tidak makan dan minum
semalam suntuk. Melainkan pengendalian dalam hal makan dan minum. Umat
dibebaskan untuk melaksanakan bratanya, mau puasa ya silahkan, tidakpun
tidak apa-apa. Hanya saja brata itu berlaku untuk seterusnya.
Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam
suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa
sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting
adalah begadang demi dia (Siwa). Bukan begadang main gaple atau nonton
TV. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma Santhi, pergi saling
menungjungi kerumah sahabat, handai toland sambil bermaaf-maafan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Malam
Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan peleburan kepapaan
dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia memiliki kepapaan,
karena dibelengu oleh nafsu-nafsu indrianya/raganya.
Jadi sangat dianjurkan bagi Umat Hindu
untuk melakukan Bratha Siwaratri sehari sebelum Purnamaning sasih
Kepitu. Yang tujuannya mengurangi kepapaan dan nafsu-nafsu indria yang
dimiliki oleh manusia. Dalam hubungannya dengan pengendalian nafsu
indria, ada 7 kegelapan yang harus dikendalikan yang disebut Sapta Timira yang terdiri dari: Surupa (mabuk karena rupawan/rupa tampan atau cantik), Dhana (mabuk karena kekayaan), Guna (mabuk karena kepandaian), Kasuran (mabuk karena kemegahan), kulina (mabuk karena keturunan bangsawan), Yowana (mabuk karena keremajaan), Sura (mabuk karena minuman keras).
Makna Siwaratri adalah agar manusia
menyadari bahwa kita dipengaruhi oleh 7 kegelapan. Kegelapan itulah yang
harus diterangi secara jasmani dan rohani dengan meningkatkan
pengetahuan dan pengamalan ajaran kerohanian.
Yang paling penting sekali adalah berkat
dari Sang Hyang Siwa sendiri. Beliaulah yang akan menghapus kepapaan,
ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri. Mungkin ribuan orang
akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang mendapat hukuman.
Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Sang Hyang Sada Siwa)
menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak membenci
malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti
itu.
Itulah keutamaan beliau, tidak membenci siapapun, walaupun penjahat
kelas kakap yang dibenci jutaan manusia. Beliau tetap berbelas kasih.
Bersedia mengampuni, asal umat-Nya dengan tulus iklas berserah diri,
pasrah total kehadapan-Nya.
Beliau sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-Nya. Maka
sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri ini kepada siapa
saja. Karena pintu tobat dan pengampunan pada hari itu terbuka
lebar-lebar.
Ada lagi disebutkan keutamaan brata Siwaratri dalam lontar “Siwaratrikalpa”
buah karya Mpu Tanakung, bahwa jika seseorang mampu melaksanakan laku ;
upawasa, mona brata dan jagra pada hari itu, yang tujuannya memuja Sang
Hyang Sada Siwa, serta memohon pengampunan-Nya maka dosanya akan
terhapus. Dan beliau (Mpu Tanakung) juga mengisyaratkan bahwa brata
Siwaratri melebihi semua jenis yajna. Untuk itulah, seseorang jangan
berputus asa jika sudah terlanjur melakukan kesalahan. Karena Siwaratri
bisa dilaksanakan dimana saja (di rumah, di Pura, di tempat sunyi,
bahkan di Lembaga Pemasyarakatan / Penjara). Justru disinilah mungkin (
di Lemaga Pemasyarakatan) brata Siwaratri itu dilaksanakan lebih khusuk.
Yang mungkin menjadi pertanyaan kita
selama ini adalah apa sebenarnya tujuan pelaksanaan Mono bratha,
Upasawa, dan Jagra. Secara singkat tujuan dari ketiga bratha Siwaratri
itu adalah sebagai berikut:
1) Monobrata pada hari suci Siwaratri
diarahkan untuk mengucapkan nama Tuhan didalam lubuk hati secara terus
menerus, misalnya ; “Om Namah Siwa Ya, Om Namah Siwa Ya,…. Om Namah Siwa
Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa
Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya… Om Namah Siwa Ya. . .dan
seterusnya.
Ada kebiasaan umat yang membawa tasbih atau genitri. Ada juga yang tidak membawa apa-apa. Yang penting adalah nilai kekhusukannya.Tapa
monbrata tujuannya adalah sangat luhur dan mulia, terutama sekali untuk
mengekang nafsu marah dan angkara murka. Sebab kata-kata yang kasar
bisa melukai perasaan orang lain sampai bertahun-tahun.Maka
orang yang dikuasai oleh nafsu murkanya, tak dapat tidak niscaya ia
melakukan perbuatan jahat, sampai akhirnya dapat membunuh guru, dan
sanggup ia membakar hati seorang saleh, yaitu menyerang dia dengan
kata-kata yang kasarTambahan pula orang yang dikuasai oleh nafsu murka,
sekali-kali tidak tahu akan perkataan yang keliru dan yang benar,
sekali-kali mereka tidak mengenal perbuatan yang terlarang dan yang
menyalahi dharma serta sanggup mereka mengatakan sesuatu yang tidak
layak untuk dikatakan.
Maka monobrata diusahakan sekali untuk dilaksanakan meski tidak hanya pada hari Suci Siwaratri saja. Karena begitu besar manfaatnya, bagi pembentukan sifat dan karakter seseorang. Hakekatnya yang disebut nafsu murka, adalah musuh didalam diri kita ; jika ada orang yang dapat menghilangkan nafsu murka itu, maka ia pun akan disegani, dipuji dan dihormati selama ia ada di dunia.
Maka monobrata diusahakan sekali untuk dilaksanakan meski tidak hanya pada hari Suci Siwaratri saja. Karena begitu besar manfaatnya, bagi pembentukan sifat dan karakter seseorang. Hakekatnya yang disebut nafsu murka, adalah musuh didalam diri kita ; jika ada orang yang dapat menghilangkan nafsu murka itu, maka ia pun akan disegani, dipuji dan dihormati selama ia ada di dunia.
2) Kemudian laku upawasa yaitu berpuasa
tidak makan dan minum adalah untuk menunjang jalannya brata monobrata.
Supaya konsentrasi seseorang yang menjalankan laku ini tidak pecah.
Mengistirahatkan kerja usus, lambung dan kerongkongan serta mulut pada
hari suci itu, untuk tujuan pemujaan. Berpuasa secara fisik dan mental
menjadikan tujuan itu terpusat kesatu arah. Apalagi disertai dengan
japam (pengulangan mantra), sehingga meditasi itu menjadi khusuk.
3) Mejagra yaitu begadang semalam suntuk, dalam tradisi India ada
diistilahkan dengan “Akanda Bhajan”. Yaitu mengidungkan nama-nama suci
Tuhan selama 24 jam secara terus menerus, sambung menyambung.
Begitupun halnya dengan mejagra, begadang semalam suntuk sambil mengidungkan nama-Nya di dalam hati secara terus menerus. Makna dari mejagra ini adalah, agar seseorang senantiasa terjaga selama hidupnya, dengan kata lain tidak lupa diri (mabuk) tidak dikuasai oleh 7 (tujuh) nafsu kemabukan itu.
Begitupun halnya dengan mejagra, begadang semalam suntuk sambil mengidungkan nama-Nya di dalam hati secara terus menerus. Makna dari mejagra ini adalah, agar seseorang senantiasa terjaga selama hidupnya, dengan kata lain tidak lupa diri (mabuk) tidak dikuasai oleh 7 (tujuh) nafsu kemabukan itu.
Langganan:
Postingan (Atom)