Rabu, 12 Oktober 2011
Menyusuri Jejak Nenek Moyang Kita
Oktober 12, 2011
Nenek moyang manusia modern, Homo sapiens, mulai muncul dan tinggal di kawasan Afrika 150.000-200.000 tahun lalu. Mereka mulai bermigrasi ke luar Afrika 70.000 tahun lalu dan menyebar ke seluruh dunia. Pada periode yang lebih kurang sama, 74.000 tahun lalu, terjadi letusan dahsyat Gunung Toba di Sumatera. Mungkinkah kedua peristiwa ini saling memengaruhi?
Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Kejadian yang sudah berlangsung ribuan tahun itu hanya bisa dibuktikan lewat jejak peninggalan mereka. Ironisnya, semua bukti tampaknya terkubur material yang dimuntahkan Gunung Toba.
Paling tidak begitulah kesimpulan Craig Chesner, geolog dari Eastern Illinois University. Letusan terakhir Toba menimbun nyaris seluruh daratan Sumatera mulai dari Samudra Hindia di sebelah barat hingga Selat Malaka di sebelah timur. Ketebalan material rata-rata 100 meter dan di beberapa area bahkan mencapai 400 meter.
Sebagai bandingan, jejak arkeologi yang terkubur letusan Gunung Tambora di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (1815), ditemukan pada kedalaman 3 meter di bawah lapisan piroklastik, batuan apung, abu, dan tanah lempung. Berdasarkan Volcanic Explosivity Index, kekuatan letusan Tambora adalah pada skala 7 dari 8, hanya kalah dari letusan Gunung Toba ribuan tahun sebelumnya.
Untunglah ilmu pengetahuan terus berkembang. Kini, upaya memahami asal-usul manusia modern bisa dilakukan dengan membaca urutan sekuen DNA (deoxyribonucleic acid) atau rantai panjang polimer nukleotida yang mengandung informasi genetik untuk diturunkan.
Selain informasi genetik, DNA juga bisa menginformasikan riwayat kehidupan nenek moyang kita. Di sinilah perubahan dalam tubuh terekam—seiring dengan perubahan pola makan, lingkungan, ataupun aktivitasnya—dan memberikan gambaran bagaimana sebenarnya pola kehidupan yang mereka jalani. Hasil perbandingannya dengan DNA populasi di berbagai tempat lain menggambarkan proses berlangsungnya migrasi dan bagaimana hubungan kekerabatannya.
”Keragaman genetik manusia adalah arsip evolusi manusia selama ribuan tahun yang dapat dieksplorasi dari berbagai disiplin ilmu,” kata Prof dr Sangkot Marzuki, MSc, PhD, DSc, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Maka, ketika digagas studi besar untuk memetakan genetik populasi bangsa Asia tahun 2004, Lembaga Eijkman antusias ikut serta. Dalam penelitian yang berlangsung lima tahun, 93 peneliti dari 40 institusi bergabung dalam penelitian ini. Mereka berasal dari Jepang, Korea, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Taiwan, China, Nepal, India, dan tentu saja Indonesia.
Disebut Konsorsium Pan-Asian SNP (Single Nucleotide Polymorphism), tujuan proyek memang untuk memahami asal-usul keragaman genetik di Asia. Di bawah payung Human Genome Organisation, studi meneliti DNA pada 73 populasi di Asia Tenggara dan Asia Timur dengan sekitar 2.000 sampel darah untuk mendapatkan 50.000 marka (titik data) per sampel.
Marka tersebut adalah single nucleotide polymorphisms (SNPs), suatu tempat pada kromosom yang membedakan individu satu dengan lainnya. Jumlah variasinya, disebut haplotype, mengindikasikan kedekatan dua individu secara genetik. Maka, distribusi haplotype secara geografis akan menunjukkan jejak migrasi, termasuk yang berlangsung pada zaman prasejarah.
Rute selatan
Penelitian sebelumnya—dimuat dalam Proceedings of the National Academy of Sciences (1999)—menyimpulkan bahwa Homo sapiens dari Afrika yang menjadi nenek moyang manusia modern bermigrasi lewat tiga rute: Oseania, Asia yang sebagian lagi berlanjut ke Amerika, dan Eropa. Temuan pada mitokondria DNA yang diwariskan dari kromosom ibu dikonfirmasi dengan filogeni kromosom Y yang hanya ada pada pria.
Selanjutnya studi genetik Konsorsium Pan-Asian SNP yang selesai tahun 2009 menemukan, jalur utama migrasi manusia modern ke Asia adalah melalui Sunda Besar yang sekarang dikenal sebagai kawasan Asia Tenggara. ”Temuan ini melawan arus besar teori migrasi yang menyebutkan bahwa nenek moyang kita berasal dari Asia bagian utara,” kata Sangkot.
Selama ini, migrasi Homo sapiens ke Asia dipercaya berasal dari tempat singgah mereka di kawasan Timur Tengah dan berlangsung dalam dua gelombang. Gelombang terbesar berjalan melintasi stepa Eurasia dan kemudian berbelok ke selatan melalui daratan Asia. Gelombang kedua yang dianggap tidak berperan penting bergerak melewati pesisir selatan memutari India menuju Indonesia, Malaysia, Filipina, sebelum ke Pasifik.
Namun, studi terakhir membuktikan keragaman genetik justru makin berkurang dari selatan ke utara. Sebagian besar kode genetik yang ditemukan di Asia Timur ternyata lebih banyak lagi ditemukan di selatan. Artinya, Homo sapiens bermigrasi ke Asia hanya dalam satu gelombang melalui rute pesisir selatan (Science, 2009).
Tempat persinggahan utama mereka adalah Sunda Besar. ”Dengan demikian, Asia Tenggara-lah sumber geografis utama populasi Asia Timur dan Asia Utara,” ujar Sangkot.
Apabila dikaitkan dengan letusan Toba, temuan itu juga menunjukkan bahwa nenek moyang kita ternyata mampu bertahan dari bencana dahsyat yang berpotensi memusnahkan kehidupan.
”Skenario survival tersebut didukung bukti dari rekam jejak DNA pada populasi di kawasan Wallacea yang menunjukkan campuran gen dengan populasi dari kawasan Sunda Besar. Selain itu, ada temuan fosil dan peninggalan manusia purba di Gua Niah, Sarawak. Dari umurnya, temuan Niah mengindikasikan bahwa mereka tidak musnah karena letusan Toba,” papar dr Herawati Sudoyo, MS, PhD, Deputi Direktur Lembaga Eijkman.
Sumber :
Kompas Cetak
Waspada Komplikasi Difteri
Oktober 12, 2011
Difteri, penyakit yang menyerang saluran napas ini sering dianggap sepele, padahal komplikasi yang ditimbulkan tak ringan. Cegah dengan imunisasi DPT sesuai jadwal.
Menurut dr.Hindra Irawan Satari, Sp.A dari RSCM, difteri ditularkan melalui udara pernafasan, bersin, pilek batuk dan percikan ludah dari orang yang membawa kuman tersebut.
"Difteri bisa menyumbat saluran nafas, sehiungga membutuhkan pemblongan leher agar anak dapat bernafas, selain itu dapat juga menyerang jantung sehinga menyebabkan aliran darah jantung terhambat yang dapat menyabebabkan kematian, yang dapat terjadi pada awal minggu," kata dokter ahli penyakit tropik ini.
Ia menambahkan, komplikasi yang menyebakan kematian adaah sumbatan saluran nafas atas dan hambatan saraf pada jantung. Obat yang diberikan untuk mengatasi difteri adalah antibiotik yang diberikan selama 7-10 hari.
"Bagi keluarga, juga harus diperiksa dan diberi pengobatan pencegahan dengan antibiotik," imbuhnya.
Terapi pengobatan lain yang harus diberikan adalah anti difteri serum untuk menetralkan racun yang beredar dalam tubuh. Cara paling murah dan efektif mencegah penyakit mematikan ini adalah imunisasi DPT (vaksin gabungan melindungi terhadap penyakit Difteri, pertusis dan tetanus).
"Jika imunisasi belum lengkap, segera lengkapi imunisasi untuk mencegah terkenanya penyakit yang sangat menular dan dapat mematikan ini," kata pengajar di Divisi Infeksi dan Pediatri Tropis, Dep Anak FKUI-RSCM ini.
3 Telur Seminggu, Picu Kanker Prostat?
Oktober 12, 2011
Dalam sebutir telur terdapat beragam nutrisi penting mulai dari protein, vitamin, mineral, antioksidan, dan lemak baik. Namun sebuah riset terbaru mengklaim, makan tiga telur dalam seminggu secara signifikan dapat meningkatkan risiko seorang pria meninggal akibat kanker prostat.
Para peneliti menemukan bahwa pria yang mengkonsumsi lebih dari 2,5 butir telur setiap minggunya berpeluang mengidap kanker prostat sebesar 81 persen.
Menurut mereka, kerusakan mungkin disebabkan oleh kandungan sejumlah besar kolesterol atau kolin (nutrisi yang membantu sel berfungsi dengan baik) yang ditemukan dalam telur. Temuan tersebut berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh tim peneliti asal Harvard School of Public Health, Boston, yang meneliti kebiasaan makan 27.000 orang selama periode 14 tahun.
Hasil penelitian tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara jumlah daging yang dikonsumsi dengan risiko tumor. Tetapi jumlah kematian yang tinggi akibat kanker justru ditemukan pada mereka yang mengaku banyak mengonsumsi telur.
Sumber :
the times of india
Cacingan pada Anak dapat Mengancam Kecerdesan Anak
Oktober 12, 2011
Infeksi kecacingan masih menjadi penyakit yang sering menjangkiti balita. Anak-anak bisa saja tidak mengalami gejala apa-apa, tetapi penderita yang mengalami infeksi serius bisa menyebabkan kurang gizi yang berdampak langsung pada kecerdasannya.
Prof. Saleha Sungkar, Ketua Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Indonesia mengungkapkan, gejala awal cacingan sulit dideteksi dan bisa jadi tidak terlihat. Bahkan menurutnya, anak yang terlihat sehat belum tentu bebas dari cacingan.
"Cacingan banyak menyerang anak-anak terutama cacing gelang, cambuk dan cacing kremi," katanya dalam acara seminar ilmiah Waspada Infeksi Kecacingan di Jakarta, Rabu (12/10/11).
Ia menambahkan, kecacingan pada anak bisa dialami siapa saja dan bisa berdampak pada perkembangan fisik, kecerdasan, serta menurunkan daya tahan tubuh anak sehingga mereka mudah terkena penyakit lainnya.
Gejala-gejala umum balita yang menderita kecacingan antara lain lemas, pucat, sering mengantuk, kehilangan selera makan, serta diare.
Meski prevalensi infeksi kecacingan di Indonesia tiap tahun terus menurun, namun menurut Drs. Saktiyono, Msc. Kepala Sub Direktorat Filariasis dan Kecacing, Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Kementerian Kesehatan mengatakan, hingga saat ini kecacingan masih menjadi satu masalah di Indonesia.
"Apabila penyakit ini menyerang anak-anak dapat menurunkan prestasi belajar dan kualitas SDM. Padahal anak-anak ini adalah generasi penerus bangsa," katanya.
Salah satu cara untuk mencegah infeksi kecacingan adalah mengupayakan lingkungan yang bersih dan sehat. Selain itu biasakan untuk memasak makanan dan minuman sampai matang sebelum dikonsumsi. Pengobatan anticacing yang membunuh parasit diperlukan jika hasil pemeriksaan feses dan fisik menunjukkan anak positif kecacingan.
Sumber : Kompas healt
Kesalahan Umum Saat Diet
Oktober 12, 2011
Sudah berdiet, tetapi tubuh tetap gemuk? Mungkin ada yang salah dengan diet Anda. Dr.Amanda Sainbury-Salis, penulis buku Weight-Loss Plant Works, mengidentifikasi kesalahan yang sering dilakukan orang yang menjalani diet. Selain tidak cermat memonitor rasa benar-benar lapar, dia juga menemukan bahwa orang yang gagal diet biasanya:
1. Tidak mengonsumsi sayur dan buah dalam jumlah memadai.
Orang yang gagal diet biasanya baru merasakan kepuasan setelah mengonsumsi makanan tinggi kalori. Untuk menyiasatinya, tambahkan sedikit minyak zaitun atau mentega dalam makanan. Segera setelah Anda mendapatkan kembali sinyal lapar, Anda akan belajar bahwa minyak zaitun dan mentega tidak hanya membuat makanan lebih lezat, tapi juga meningkatkan nilai kepuasannya.
2. Banyak mengudap dan mengasup minuman tinggi kalori.
Meski ukurannya kecil, camilan biasanya menggemukkan, seperti halnya alkohol. Terutama alkohol, sering salah memberikan sinyal bahwa tubuh sedang kelaparan.
3. Konsumsi makanan itu-itu saja.
Tubuh paling tidak membutuhkan 30 jenis makanan yang berbeda dalam seminggu untuk memasok kebutuhan akan nutrisi. Bila diet yang dijalankan mengurangi salah satu jenis nutrisi, tubuh seperti mendapat perintah untuk terus makan sampai mendapatkan jenis nutrisi yang dibutuhkan.
4. Diet terlalu sempurna.
Menuruti semua jenis makanan yang dilarang, dapat membuat kita pada kondisi makan sebanyak-banyaknya bila menjumpai makanan tersebut. Sebaiknya tetap konsumsi dalam porsi kecil.
5. Tidak melakukan aktivitas fisik dalam jumlah cukup.
Paling baik adalah berolahraga moderat, dengan porsi 60-90 menit, setiap hari. Pilih jalan kaki tergopoh-gopoh yang bisa dilakukan setiap saat. (GHS/est)
Sumber :
Langganan:
Postingan (Atom)